Rabu, 02 Juni 2021

(Ngaji of the Day) Pandangan Abu Yusuf al-Kufi soal Status Pajak Ahli Harbi

Suatu ketika Khalifah Harun al-Rasyid bertanya kepada Abû Yûsuf tentang kaum dari ahli harbi (penduduk kafir yang diperangi) dan ahli bâdiyah (penduduk nomaden) ketika menyerah tanpa syarat, bagaimana Islam memandang diri dan status tanah mereka? Pertanyaan dari khalifah ini cukup beralasan sekali sebab tanah ahli al-harbi apabila mereka kalah dalam peperangan, maka tanah tersebut akan menjadi ghanimah, tergantung pada ditinggalkan atau tidaknya oleh sang pemilik.

 

Untuk tanahnya kafir dzimmy, maka status tanahnya jelas. Ia berubah menjadi kharâj. Kafir dzimmy merupakan orang non-Muslimin yang menyatakan tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan bersedia hidup bersama secara damai dengan orang Islam. Namun, kali ini, lokasi tanahnya ada di wilayah perang. Mereka tetap pada keyakinan agamanya, namun menyatakan diri menyerah. Bagaimana status tanah yang dimilikinya? Apakah masuk kharaj ataukah dijadikan sebagai ghanîmah (harta rampasan perang)? Pertanyaan ini seolah menunjukkan kehati-hatian dari seorang pemimpin kepala negara agar dirinya tidak berlaku dhalim kepada rakyat yang dipimpinnya.

 

Jika diberlakukan sebagai tanah kharâj, maka tidak ada dasar ketentuan nashnya, karena dhahir nash menyebut kharaj hanya berlaku untuk kafir dzimmi dan berlaku di wilayah Islam. Bila tanah tersebut disebut ghanimah, namun pemiliknya sudah menyerah.

 

Menjawab pertanyaan khalifah ini, Abû Yûsuf menjelaskan:

 

فإن دمائهم حرام وما أسلموا عليه من أموالهم فلهم وكذلك أرضوهم لهم وهي أرض عشر بمنزلة المدينة حيث أسلم أهلها مع رسول الله وكانت أرضهم أرض عشر وكذلك الطائف والبحران

 

Artinya: “Sesungguhnya darah mereka adalah haram, dan harta yang ada di tangan mereka saat menyerahkan diri maka itu adalah miliknya. Demikian halnya dengan bumi mereka adalah milik mereka. Bumi itu menjadi bumi ‘usyur, menempati derajat yang sama dengan Madinah saat masyarakatnya masuk Islam di masa Rasulullah SAW, dan Rasul menjadikan bumi mereka sebagai bumi ‘usyur. Hal yang sama juga berlaku pada qabilah Thaif dan Bahran.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1979: 62-63)

 

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan bumi usyur oleh Syekh Abû Yûsuf di sini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ungkapannya sebagai berikut:

 

فإن كانت في أرض العشر أدى عنها العشر وإن كانت في أرض الخراج أدى عنها الخراج

 

Artinya: “Jika tanah tersebut terdapat pada bumi ‘usyur maka ditunaikan kewajiban ‘usyur (10 persen) dan jika tanah itu berada di bumi kharâj, maka berlaku baginya hukum kharâj.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1979: 63)

 

Lantas bagaimana dengan status tanah yang dimiliki oleh ahli badiyah? Apakah wajib mengeluarkan kharaj ataukah ‘usyur? Ahli bâdiyah adalah penduduk yang tinggal nomaden, selalu berpindah-pindah tempat guna mencari air dan padang rumput untuk memberi pakan ternaknya. Terhadap ahli bâdiyah ini, Abû Yûsuf dalam kitab yang sama menjelaskan, bahwa:

 

وكذلك أهل البادية إذا أسلموا على مياههم وبلادهم فلهم ما أسلموا عليه وهو في أيديهم وليس لأحد من أهل القبائل أن يبني في ذلك شيئا يستحق به منه شيئا , ولا يحفر فيه بئرا يستحق به شيئا , وليس لهم أن يمنعوا الكلأ ولا يمنعوا الرعاء ولا المواشي من الماء ولا حافرا ولا خفا في تلك البلدة , وأرضهم أرض عشر لا يخرجون عنها فيما بعد ويتوارثونها ويتبايعونها وكذلك كل بلاد أسلم عليها أهلها فهي لهم وما فيها

 

Artinya: “Demikian halnya dengan ahli bâdiyah, apabila mereka pasrah atas mata air dan negaranya, maka hal tersebut dikembalikan kepada mereka. Tidak ada hak bagi seorang pun dari ahli qabilah yang boleh mengganggu miliknya dan menguasai harta mereka. Demikian juga, tidak boleh seorang pun dari ahli qabilah menggali sumur agar bisa dimilikinya, Tidak ada yang boleh melarang mereka atas padang rumput, menggembala dan memberi air hewan ternak mereka. Tidak ada galian dan tidak ada kekhawatiran bagi negara tersebut. Bumi mereka adalah bumi ‘usyur serta tidak dikenai tanggungan kharâj setelahnya. Mereka bisa mewariskan dan bermuamalah jual beli atasnya. Hal ini berlaku untuk semua wilayah yang penduduknya menyerahkan diri dan berlaku atas kepemilikan di atasnya.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1979: 63)

 

Berdasarkan keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa tanah ahli bâdiyah (penduduk nomaden) diterapkan kebijakan yang sama dengan tanah ‘usyur. Para ahli bâdiyah tidak ditarik kharaj. Seluruh hak tanah dan kepemilikan di atasnya diserahkan kembali kepada pemilik asal dan boleh diwariskan, atau diperjualbelikan. Bagaimana dengan perlakuan khalifah terhadap pemeluk agama lain - seperti kaum majusy (penyembah api) – yang menyerah. Bagaimana dengan status kepemilikan tanahnya? Abu Yûsuf al-Kûfi menjelaskan dalam kitabnya sebagai berikut:

 

وأيما قوم من أهل الشرك صالحهم الإمام على أن ينزلوا على الحكم والقسط وأن يؤدوا الخراج فهم أهل ذمة وأرضهم أرض خراج ويؤخذ منهم ما صولحوا عليه ويوفى لهم ولا يزاد عليهم

 

Artinya: “Dan terhadap kaum dari kalangan ahli syirik, maka imam menerapkan prinsip kemaslahatan terhadap mereka mengikut pada hukum dan prinsip keadilan berupa kewajiban kharaj sebagaimana berlaku atas ahli dzimmah. Bumi mereka adalah bumi kharâj dan dipungut dengan proporsi yang disesuaikan dan ditetapkan oleh Imam kepada mereka, tidak lebih.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1979: 63)

 

Berdasarkan keterangan ini, hal yang perlu digarisbawahi dari penjelasan Abû Yûsuf al-Kufi adalah bahwa:

 

1. Status non-Muslimin dari kalangan selain ahli harbi disamakan dengan ahli dzimmi

2. Kepada non-Muslimin dari kalangan selain ahli harbi (Yahudi dan Nashrani) diberlakukan atasnya kewajiban kharaj dan bukan ‘usyur. Jadi berbeda dengan non-Muslimin yang berasal dari ahli harbi yang diberlakukan atasnya ‘usyur.

3. Besarnya kharaj ditentukan secara proporsional menurut kemampuan yang dimiliki oleh mereka menurut hitungan kharaj.

4. Prinsip proporsional didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan dan ditentukan besarannya oleh imam.

 

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, bagaimana ketentuan ini berlaku di kalangan ulama mazhab lain, semisal Al-Maliki, Al-Syafii, dan Hanbali? Apakah juga mengikuti ketentuan yang sama, ataukah ada ketentuan lain yang berbeda? Kita simak pada kajian berikutnya! Wallâhu a’lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar