Keberagamaan Halal-Haram
Oleh: Hasibullah Satrawi
HALAL dan haram, dua istilah kunci di kalangan umat
beragama, khususnya umat Islam. Umat Islam harus melakukan hal-hal yang
dihalalkan sekaligus menjauhi hal-hal yang diharamkan. Halal-haram pun menjadi
kunci perilaku keberagamaan umat Islam.
Secara keagamaan, halal-haram sama penting untuk
diketahui oleh umat Islam, yaitu untuk dilakukan dalam konteks halal dan untuk
dijauhi dalam konteks haram. Namun, secara ekonomi dan bisnis halal-haram
menimbulkan sikap berbeda, khususnya di dunia usaha. Halal menjadi daya tarik
secara marketing mengingat status halal akan meyakinkan konsumen untuk membeli
sebuah produk. Sebaliknya, status haram akan membuat konsumen menjauhi (tidak
membeli) sebuah produk, khususnya dari kalangan konsumen yang taat dalam
beragama.
Daya tarik secara marketing seperti ini akhirnya
membuat label halal menjadi kebutuhan dunia usaha. Sedangkan label haram tidak
menjadi kebutuhan mengingat label haram justru membuat konsumen menjauhi suatu
produk. Padahal, secara keagamaan, label haram sejatinya sama pentingnya dengan
label halal untuk diketahui oleh masyarakat.
Karenanya, jangan heran bila banyak produk yang
dipasangi label halal, walaupun produk tersebut bukan makanan atau minuman.
Sebagai contoh, penulis pernah menemukan wajan (tempat penggorengan) yang
diberi label halal. Pun demikian dengan sebagian produk kosmetik. Bahkan
pemerintah belakangan tampak bekerja keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa
vaksin Covid-19 yang dipakai pemerintah adalah halal. Hal ini dilakukan agar
masyarakat (khususnya yang beragama Islam) tidak ragu untuk menggunakan vaksin
Covid-19.
Padahal, sebagai obat dan karena pertimbangan
darurat, kehalalan vaksin tidak menjadi keharusan secara hukum Islam. Karena
untuk kebutuhan obat atau darurat, “yang terlarang” pun diperbolehkan sesuai
kaidah hukum Islam, ad-dharuratu tubihul mahdzurat (darurat membuat yang
terlarang menjadi boleh).
Secara kebahasaan, halal berasal dari bahasa Arab
yang bisa diartikan sebagai “yang boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”.
Sebaliknya, haram juga berasal dari bahasa Arab yang bisa diartikan sebagai
“yang tidak boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”. Dalam Islam, yang
menentukan halal dan haram adalah Tuhan: Allah menghalalkan transaksi jual beli
dan mengharamkan praktik riba (QS Al-Baqarah [2]: 275).
Karenanya, dalam Islam, seorang ulama (biasa disebut
dengan istilah mujtahid) tugasnya bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu,
melainkan hanya menyatakan atau menampakkan (mudzhir) kehalalan atau keharaman
sesuatu yang belum tampak dalam pandangan maupun pengetahuan masyarakat umum.
Ismail Kuksal dalam buku Taghayyurul Ahkam fis Syariah Al-Islamiyah (2000)
menyebut ini dengan istilah penetapan hukum dalam Islam (at-tasyri’ fil islam)
adalah hak Allah (haqqullah). Adapun hak manusia (haqqulbasyar) adalah
ijtihad—atau menampakkan hukum Allah yang ada—(hlm 38).
Secara umum, halal-haram bisa terkait dengan status
dan proses transaksi. Sebagai contoh, minuman keras dan bangkai adalah barang
yang berstatus haram, khususnya untuk diminum atau dimakan. Sebaliknya, air
putih dan nasi adalah berstatus halal. Barang-barang yang berstatus haram
tetaplah haram walaupun sudah melalui transaksi yang dibolehkan seperti jual
beli, terkecuali untuk kebutuhan darurat seperti berobat. Artinya,
barang-barang yang berstatus haram melekat pada dirinya yang tidak akan berubah
karena transaksi apa pun.
Adapun contoh dari halal-haram secara transaksi
adalah jual beli dan riba. Jual-beli adalah contoh dari transaksi yang
dibolehkan dalam Islam. Sedangkan riba adalah contoh dari transaksi yang tidak
diperbolehkan. Semua barang yang berstatus halal (tapi bukan milik sendiri)
bisa menjadi halal manakala telah melalui transaksi yang dibolehkan seperti
jual-beli atau pinjam-meminjam. Sebaliknya, semua barang yang berstatus halal
(tapi bukan milik sendiri) tetap tidak menjadi halal manakala transaksinya
tidak diperbolehkan dalam Islam seperti riba ataupun pencurian.
Di luar konteks hukum Islam di atas, halal-haram tak
jarang juga digunakan untuk konteks sosial-kemasyarakatan. Halal-haram kerap
dijadikan sebagai “kode” untuk merujuk kepada hal-hal yang boleh dilakukan dan
hal-hal yang tak boleh dilakukan, khususnya dalam sebuah pertemuan yang
melibatkan umat Islam dari pelbagai macam suku, bangsa dan bahasa. Adapun
istilah “haram” digunakan untuk hal-hal yang terlarang.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, contohnya, Kerajaan
Arab Saudi kerap memberikan bantuan makanan dan minuman kepada para jamaah
haji. Untuk memastikan bahwa ini bantuan dan boleh dikonsumsi, petugas
distributor biasanya menggunakan istilah “halal”. Halal dalam pengertian ini
tentu berbeda dengan dua pengertian halal-haram di atas. Mengingat halal dalam
konteks ini bermakna barang-barang yang ada boleh dikonsumsi sebagai sebuah
sedekah atau pemberian.
Contoh lainnya, dengan transaksi di antara para pihak
yang saling tidak mengerti bahasa yang digunakan, namun para pihak mengerti
kualitas barang dan jumlah uang yang digunakan. Kondisi seperti ini biasanya
terjadi di sebuah pertemuan yang melibatkan masyarakat dari pelbagai macam
suku, bangsa, dan bahasa yang berbeda-beda (seperti pada saat pelaksanaan
ibadah haji). Setelah selesai transaksi yang ada, kedua belah (atau salah satu)
pihak biasanya menggunakan istilah “halal” untuk menekankan bahwa transaksi
yang ada sudah selesai.
Dalam beberapa waktu terakhir, ada kecenderungan
penggunaan istilah halal-haram secara kurang tepat. Sebagai contoh, label halal
yang diberikan kepada sebuah produk nonmakanan seperti dijelaskan di atas.
Sudah pasti label halal tersebut tidak dimaksudkan bahwa “barang tersebut”
boleh dimakan, mengingat hal tersebut bukan makanan. Sementara pada waktu yang
bersamaan, label halal tersebut tidak berarti bahwa barang tersebut boleh
dimiliki tanpa dibeli (sebagaimana sedekah dalam contoh di Arab Saudi di atas).
Label halal yang ada hanya digunakan sebagai strategi marketing untuk menarik
minat beli dari konsumen.
Dalam perspektif Islam, label yang dibutuhkan
masyarakat sejatinya tak hanya label halal, melainkan juga label haram. Pada
tahap tertentu, label haram bisa jauh lebih dibutuhkan sekaligus lebih mudah
daripada label halal. Dikatakan lebih dibutuhkan karena masyarakat harus
menjaga sekaligus menjauhkan diri dari perkara haram. Dikatakan lebih mudah
karena hal-hal yang diharamkan jauh lebih sedikit daripada hal-hal yang
dihalalkan. Memberikan label terhadap hal-hal yang lebih sedikit jauh lebih
mudah daripada memberikan label terhadap hal-hal yang lebih banyak.
Agama apa pun (khususnya Islam), tidak hanya terkait
dengan hukum halal-haram. Dengan merujuk kepada salah satu hadis Nabi Muhammad
Saw, justru tujuan pengutusan beliau adalah untuk menyempurnakan moralitas
(liutammima makarimal akhlaq). Bahkan, merujuk pada salah satu ayat Alquran,
tujuan pengutusan beliau (dengan membawa agama Islam) adalah sebagai rahmat
bagi alam semesta (wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin, QS Al-Anbiya’ [21]:
107). Tujuan agung ini membutuhkan upaya dan penalaran keberagamaan nyata yang
justru tidak berkembang dalam keberagamaan hitam-putih atau keberagamaan
halal-haram. []
SINDONEWS, 28 Desember 2020
Hasibullah Satrawi | Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar