Senin, 04 Januari 2021

Satrawi: Keberagamaan Halal-Haram

Keberagamaan Halal-Haram

Oleh: Hasibullah Satrawi


HALAL dan haram, dua istilah kunci di kalangan umat beragama, khususnya umat Islam. Umat Islam harus melakukan hal-hal yang dihalalkan sekaligus menjauhi hal-hal yang diharamkan. Halal-haram pun menjadi kunci perilaku keberagamaan umat Islam.


Secara keagamaan, halal-haram sama penting untuk diketahui oleh umat Islam, yaitu untuk dilakukan dalam konteks halal dan untuk dijauhi dalam konteks haram. Namun, secara ekonomi dan bisnis halal-haram menimbulkan sikap berbeda, khususnya di dunia usaha. Halal menjadi daya tarik secara marketing mengingat status halal akan meyakinkan konsumen untuk membeli sebuah produk. Sebaliknya, status haram akan membuat konsumen menjauhi (tidak membeli) sebuah produk, khususnya dari kalangan konsumen yang taat dalam beragama.


Daya tarik secara marketing seperti ini akhirnya membuat label halal menjadi kebutuhan dunia usaha. Sedangkan label haram tidak menjadi kebutuhan mengingat label haram justru membuat konsumen menjauhi suatu produk. Padahal, secara keagamaan, label haram sejatinya sama pentingnya dengan label halal untuk diketahui oleh masyarakat.


Karenanya, jangan heran bila banyak produk yang dipasangi label halal, walaupun produk tersebut bukan makanan atau minuman. Sebagai contoh, penulis pernah menemukan wajan (tempat penggorengan) yang diberi label halal. Pun demikian dengan sebagian produk kosmetik. Bahkan pemerintah belakangan tampak bekerja keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin Covid-19 yang dipakai pemerintah adalah halal. Hal ini dilakukan agar masyarakat (khususnya yang beragama Islam) tidak ragu untuk menggunakan vaksin Covid-19.


Padahal, sebagai obat dan karena pertimbangan darurat, kehalalan vaksin tidak menjadi keharusan secara hukum Islam. Karena untuk kebutuhan obat atau darurat, “yang terlarang” pun diperbolehkan sesuai kaidah hukum Islam, ad-dharuratu tubihul mahdzurat (darurat membuat yang terlarang menjadi boleh).


Secara kebahasaan, halal berasal dari bahasa Arab yang bisa diartikan sebagai “yang boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”. Sebaliknya, haram juga berasal dari bahasa Arab yang bisa diartikan sebagai “yang tidak boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”. Dalam Islam, yang menentukan halal dan haram adalah Tuhan: Allah menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan praktik riba (QS Al-Baqarah [2]: 275).


Karenanya, dalam Islam, seorang ulama (biasa disebut dengan istilah mujtahid) tugasnya bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, melainkan hanya menyatakan atau menampakkan (mudzhir) kehalalan atau keharaman sesuatu yang belum tampak dalam pandangan maupun pengetahuan masyarakat umum. Ismail Kuksal dalam buku Taghayyurul Ahkam fis Syariah Al-Islamiyah (2000) menyebut ini dengan istilah penetapan hukum dalam Islam (at-tasyri’ fil islam) adalah hak Allah (haqqullah). Adapun hak manusia (haqqulbasyar) adalah ijtihad—atau menampakkan hukum Allah yang ada—(hlm 38).


Secara umum, halal-haram bisa terkait dengan status dan proses transaksi. Sebagai contoh, minuman keras dan bangkai adalah barang yang berstatus haram, khususnya untuk diminum atau dimakan. Sebaliknya, air putih dan nasi adalah berstatus halal. Barang-barang yang berstatus haram tetaplah haram walaupun sudah melalui transaksi yang dibolehkan seperti jual beli, terkecuali untuk kebutuhan darurat seperti berobat. Artinya, barang-barang yang berstatus haram melekat pada dirinya yang tidak akan berubah karena transaksi apa pun.


Adapun contoh dari halal-haram secara transaksi adalah jual beli dan riba. Jual-beli adalah contoh dari transaksi yang dibolehkan dalam Islam. Sedangkan riba adalah contoh dari transaksi yang tidak diperbolehkan. Semua barang yang berstatus halal (tapi bukan milik sendiri) bisa menjadi halal manakala telah melalui transaksi yang dibolehkan seperti jual-beli atau pinjam-meminjam. Sebaliknya, semua barang yang berstatus halal (tapi bukan milik sendiri) tetap tidak menjadi halal manakala transaksinya tidak diperbolehkan dalam Islam seperti riba ataupun pencurian.


Di luar konteks hukum Islam di atas, halal-haram tak jarang juga digunakan untuk konteks sosial-kemasyarakatan. Halal-haram kerap dijadikan sebagai “kode” untuk merujuk kepada hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang tak boleh dilakukan, khususnya dalam sebuah pertemuan yang melibatkan umat Islam dari pelbagai macam suku, bangsa dan bahasa. Adapun istilah “haram” digunakan untuk hal-hal yang terlarang.


Dalam pelaksanaan ibadah haji, contohnya, Kerajaan Arab Saudi kerap memberikan bantuan makanan dan minuman kepada para jamaah haji. Untuk memastikan bahwa ini bantuan dan boleh dikonsumsi, petugas distributor biasanya menggunakan istilah “halal”. Halal dalam pengertian ini tentu berbeda dengan dua pengertian halal-haram di atas. Mengingat halal dalam konteks ini bermakna barang-barang yang ada boleh dikonsumsi sebagai sebuah sedekah atau pemberian.


Contoh lainnya, dengan transaksi di antara para pihak yang saling tidak mengerti bahasa yang digunakan, namun para pihak mengerti kualitas barang dan jumlah uang yang digunakan. Kondisi seperti ini biasanya terjadi di sebuah pertemuan yang melibatkan masyarakat dari pelbagai macam suku, bangsa, dan bahasa yang berbeda-beda (seperti pada saat pelaksanaan ibadah haji). Setelah selesai transaksi yang ada, kedua belah (atau salah satu) pihak biasanya menggunakan istilah “halal” untuk menekankan bahwa transaksi yang ada sudah selesai.


Dalam beberapa waktu terakhir, ada kecenderungan penggunaan istilah halal-haram secara kurang tepat. Sebagai contoh, label halal yang diberikan kepada sebuah produk nonmakanan seperti dijelaskan di atas. Sudah pasti label halal tersebut tidak dimaksudkan bahwa “barang tersebut” boleh dimakan, mengingat hal tersebut bukan makanan. Sementara pada waktu yang bersamaan, label halal tersebut tidak berarti bahwa barang tersebut boleh dimiliki tanpa dibeli (sebagaimana sedekah dalam contoh di Arab Saudi di atas). Label halal yang ada hanya digunakan sebagai strategi marketing untuk menarik minat beli dari konsumen.


Dalam perspektif Islam, label yang dibutuhkan masyarakat sejatinya tak hanya label halal, melainkan juga label haram. Pada tahap tertentu, label haram bisa jauh lebih dibutuhkan sekaligus lebih mudah daripada label halal. Dikatakan lebih dibutuhkan karena masyarakat harus menjaga sekaligus menjauhkan diri dari perkara haram. Dikatakan lebih mudah karena hal-hal yang diharamkan jauh lebih sedikit daripada hal-hal yang dihalalkan. Memberikan label terhadap hal-hal yang lebih sedikit jauh lebih mudah daripada memberikan label terhadap hal-hal yang lebih banyak.


Agama apa pun (khususnya Islam), tidak hanya terkait dengan hukum halal-haram. Dengan merujuk kepada salah satu hadis Nabi Muhammad Saw, justru tujuan pengutusan beliau adalah untuk menyempurnakan moralitas (liutammima makarimal akhlaq). Bahkan, merujuk pada salah satu ayat Alquran, tujuan pengutusan beliau (dengan membawa agama Islam) adalah sebagai rahmat bagi alam semesta (wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin, QS Al-Anbiya’ [21]: 107). Tujuan agung ini membutuhkan upaya dan penalaran keberagamaan nyata yang justru tidak berkembang dalam keberagamaan hitam-putih atau keberagamaan halal-haram.
[]

 

SINDONEWS, 28 Desember 2020

Hasibullah Satrawi | Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar