Ilmuan Muslim Populer di Barat (5)
Jalaluddin Rumi
Oleh: Nasaruddin Umar
Maulana Jalaluddin Rumi ibn Bahauddin Muhammad ibn al-Husain al-Khatibi al-Baqri, bernama lengkap lahir di Balkh 6 Rabi'ul Awwal 604 H/30 September 1207 M, dan wafat di Konya pada tanggal 5 Jumadil Tsaniyah 672 H/17 Desember 1273 M. Pada abad ini periode kehidupan sufi mengalami perkembangan pesat, bukan hanya di Asia dan Eropa tetapi juga di India dimana gerakan Bhakti mengalami kemajuan besar. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, khalifah pertama dan ibunya keturunan Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat. Ayahnya pernah menyandang gelar Sultan al-'Ulama ketika menjadi penasehat spiritual Sultan Ala al-Din Kaykubad, di kota Konya, ibukota kekaisaran Seljuk bagian barat.
Masa kecil Rumi tidaklah dijalani dengan penuh perjuangan. Dalam usianya 5 tahun, sudah harus meninggalkan kampung halamannya berpindah-pindah tempat karena kekerasan dan pembantaian yang dilakukan oleh Raja Khawarizm pada kalangan rakyat miskin di Samarkand. Rumi berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya mengikuti sang ayah. Beliau hidup di masa memuncaknya penentangan melawan pengaruh filsafat Yunani. Rumi terlahir dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang menentang keras filsafat. Seperti diketahui keluarga Rumi sangat mengidolakan Imam Al-Gazali, yang juga menentang filsafat Yunani.
Karya-karya Jalaluddin Rumi menghiasi rak-rak buku di
hampir semua took-toko buku besar di Eropa dan AS. Tidak sedikit di antara
karyanya mencapai The Best Seller dan tercetak ulang berkali-kali oleh berbagai
penerbit. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
termasuk bahasa Indonesia. Kini kota tempat wafat dan makamnya di Konya, Turki,
banyak sekali dikunjungi para pengunjung dari berbagai Negara, bukan hanya dari
umat Islam tetapi juga dari umat-umat agama lain selain Islam.
Rumi dikenal bukan hanya sebagai penyair tetapi juga
sebagai tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya hingga saat ini. Ajaran Rumi
diabadikan ke dalam wadah tarekat Maulawiah, yang berpusat di Turki dan kini
semakin berkembang seantero dunia. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar
dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun
l648. Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan
kebenara. Ini artinya Rumi melawan arus pada zamannya yang masih memuja para
filosof Yunani. Akan tetapi karya-karya Rumi yang sebelumnya juga seirama
dengan karya-karya Imam Al-Gazali yang juga tidak fro filsafat Yunani, berhasil
mengalihkan perhatian dunia Islam ke arah tasawuf.
Ia dengan terang-terangan menolak pemikiran Mu'tazila
yang rasional dengan mengatakan: "Orientasi kepada indera dalam menetapkan
segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah.
Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka
menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama
sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya."
Di antara ajaran Rumi ialah mengakomodir seni suara
dan gerak di dalam riyadhanya dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tradisi Rumi ini kini dilembagakan ke dalam Sema, yaitu zikir diiringi alunan
musik dan tari memutar yang biasa juga dikenal dengan tari sufi (whirling darwishes)
yang sudah lama menjadi ciri khas kota ini. Sema bukan sekedar musik dan tari,
bukan pula sekedar hiburan dan tontonan, tetapi lebih merupakan upacara ritual.
Sema diinspirasi oleh Rumi, yang di atas makamnya tertulis kaligrafi besar
al-Imam al-Auliya' (imam para wali). Sema merupakan ungkapan rasa cinta yang
amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih, sehingga sang pencinta dan
Yang Dicintai seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan
musik. Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu. Seruling sendiri
mempunayi falsafah tersendiri. Sebuah seruling baru dapat menghasilkan bunyi
yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan. Sama dengan kalbu, tidak
akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran, dan hanya dengan
kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa) dengan Tuhan. []
DETIK, 24 Juli 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar