Saatnya Menguatkan Jihad Keilmuan dan Kewirausahaan
Oleh: Khofifah Indar Parawansa
BANYAK momen penting di bulan Oktober. Salah satunya Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober. Tentu, banyak makna yang bisa diambil dari momen tersebut. Salah satunya mendorong santri berdedikasi kepada bangsa dan negara.
Sejenak melihat latar belakang munculnya Hari Santri yang ditetapkan kali pertama pada 22 Oktober 2015. Kebijakan pemerintah ini mengenang sejarah yang terjadi 75 tahun lalu. Peristiwa penting yang termasuk rangkaian perjuangan anak bangsa melawan kolonialisme.
Kala itu para konsul Nahdlatul Ulama (NU) dari Jawa dan Madura berkumpul di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya. Mereka berkumpul untuk membahas kaidah tentang kewajiban umat Islam berjihad mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari memiliki peran besar pada pertemuan itu. Hasilnya, satu keputusan yang disebut sebagai Resolusi Jihad Fisabilillah.
Isi resolusi tersebut, antara lain, berperang melawan penjajah itu wajib ain. Artinya, siapa pun yang memiliki kemampuan wajib melaksanakan jihad. Itu berlaku bagi mereka yang berada di lingkaran radius 94 kilometer dari kedudukan musuh.
Seruan jihad fisabilillah terus menggema. Termasuk dari masjid ke masjid. Napas dan semangat jihad terus digelorakan.
Para santri pun terpacu untuk bergerak bersama melawan sekutu. Semangat itu pula yang akhirnya mampu mempertahankan Indonesia dari tangan asing.
Besarnya pengaruh Resolusi Jihad Fisabilillah itu membuat pemerintah menjadikan momen tersebut sebagai hari bersejarah. Yakni, Hari Santri Nasional.
Nah, pertanyaannya, apakah Resolusi Jihad Fisabilillah itu sudah berakhir? Semua bergantung yang memaknai.
Jika santri memaknai jihad dalam skala sempit, Resolusi Jihad Fisabilillah sudah selesai. Sebab, tidak ada lagi penjajah di Indonesia. Sebaliknya, jika santri memaknai jihad dalam arti luas, bisa jadi Resolusi Jihad Fisabilillah itu berlaku untuk selamanya.
Menurut bahasa, jihad diartikan berjuang atau ikhtiar dengan bersungguh-sungguh. Tidak ada konteks yang memaknai jihad itu berupa perang.
Secara prinsip, ikhtiar merupakan kewajiban setiap insan. Ikhtiar untuk cerdas adalah belajar. Ikhtiar untuk mendapat nafkah adalah bekerja dan ikhtiar untuk tetap sehat adalah menjaga kesehatan serta pola hidup bersih dan sehat.
Dari pemahaman tersebut, bisa dimaknai bahwa semangat Resolusi Jihad Fisabilillah itu belum mati. Santri di era milenial patut melestarikan semangat tersebut.
Hanya, objeknya berbeda. Dulu jihad yang ditekankan adalah melawan penjajah. Sekarang jihad santri dikaitkan dengan memerangi kebodohan, kefakiran, kemiskinan, keterbelakangan, termasuk yang sedang berlangsung adalah jihad melawan Covid-19.
Jawa Timur berusaha merevitalisasi semangat jihad itu. Beberapa program mendorong para santri untuk berikhtiar. Yakni, berikhtiar dalam bidang pendidikan, kewirausahaan, dan berbagai bidang lain.
Jihad dalam bidang kewirausahaan, antara lain, diwujudkan pada program one pesantren one product yang sedang berlangsung. Program tersebut memberikan bekal kepada santri agar mandiri di masa mendatang. Mereka memiliki skill dan kompetensi sehingga punya nilai lebih dan sejajar dengan lulusan lainnya.
Ke depan, potensi besar santri dan pesantren makin strategis seiring dengan menguatnya ekonomi syariah secara global. Selanjutnya, santri bisa menjadi ikon keberhasilan satu daerah. Baik keberhasilan bidang pendidikan, kewirausahaan, maupun pembangunan.
Santri di Jawa Timur cukup banyak. Jumlahnya lebih dari 900 ribu yang berasrama di pesantren. Jika ditambah dengan yang tinggal di luar pesantren, jumlahnya di atas 1 juta.
Mereka memiliki potensi yang luar biasa. Hanya, tidak sedikit di antara mereka yang belum mampu memaksimalkan potensi tersebut. Karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menjembatani kelompok santri untuk bangkit dan berdedikasi.
Hari Santri Nasional tahun ini diharapkan mampu membangkitkan gelora santri. Terutama santri di Jawa Timur. Mereka merupakan agent of change. Tantangan yang dihadapi pun semakin kompleks.
Di era 4.0, santri dituntut mampu menjadi bagian dari perkembangan teknologi tersebut. Metode pendidikan dan pengajaran di lingkungan pesantren dituntut untuk menyesuaikan era baru tersebut.
Dulu sangat lekat istilah ngaji sorogan. Bisa jadi, istilah itu tidak selalu relevan di masa mendatang. Sebab, teknologi mewadahi semua bidang.
Kitab kuning tak lagi berbentuk lembaran huruf tanpa harakat alias gundul. Kitab kuning banyak tersaji dalam bentuk digital dan bisa diakses melalui smartphone.
Masih banyak metode pembelajaran di pesantren yang perlu dipertimbangkan untuk disesuaikan dengan masa sekarang. Santri mengemban amanah untuk mewujudkan itu.
Tentu, mewujudkan itu semua tidaklah mudah. Dibutuhkan keseriusan dan kerja keras yang luar biasa. Nah, kerja keras itu merupakan bagian dari ikhtiar alias jihad. Artinya, semangat jihad yang pernah digelorakan 75 tahun lalu akan terus mewarnai hingga sekarang.
Dalam kurun waktu terakhir, pandemi Covid-19 sedang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Virus yang tidak pandang bulu. Santri pun bisa terpapar virus tersebut.
Melawan dan mengantisipasi persebaran virus bisa menjadi bagian dari jihad. Apalagi, obat penangkal virus tersebut belum ditemukan. Santri wajib berjihad untuk melawan dengan cara menerapkan standar protokol kesehatan di lingkungan pesantren.
Tentu, Hari Santri Nasional bukan sekadar seremoni. Hari Santri Nasional tahun ini harus menjadi momentum untuk merenung dan refleksi kritis kehidupan santri, pesantren, dan peran kebangsaan. []
JAWA POS, 21 Oktober 2020
Khofifah Indar Parawansa | Gubernur Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar