Kisah Kaum Munafik yang Bermain-main Simbol Islam menurut Al-Qur'an
Di ceritakan oleh Ibnu Abbas RA, suatu ketika ada dari kalangan kaum munafiqin
yang datang kepada Rasulullah SAW. Tersebutlah namanya sebagai Al-Akhnas bin
Syariq At-Tsaqafy.
Ia datang menghadap Rasulullah SAW untuk mempertontonkan keislamannya sambil mencela sahabat Khubaib dan kawannya, membicarakan aibnya, padahal mereka justru yang telah berjuang bersama Rasulillah dengan jalan berdakwah ke masyarakat dan bahkan ia wafat di medan peperangan Ar-Raji’.
Saat itulah, tiba-tiba turun Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 204-205, yang menceritakan hal ihwal kedatangan Al-Akhnas tersebut. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya, “Di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras (204) Apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Surat Al-Baqarah ayat 204-205).
Sebagaimana tafsir riwayat Ibnu ‘Abbas RA, ayat ini khusus membantah mengenai cerita dan celaan dari Al-Akhnas dan justru sebaliknya memuji sahabat Al-Khubaib beserta bala tentaranya yang telah nyata menunjukkan perjuangannya bersama Rasulullah SAW, bahkan mereka rela mati sahid karenanya.
Jika menilik dari zhahir ayat ini, sebenarnya Rasulullah SAW bersama sahabat waktu itu hampir saja terbujuk oleh perkataan dan bujuk rayu al-Akhnas sehingga hampir saja mencela Khubaib dan bala tentaranya. Tidak lain penyebabnya adalah:
1. Al-Akhnas ini pandai dalam memainkan situasi dan kata-kata saat itu. Ia memang seorang orator di kalangannya sehingga kata-kata yang disampaikan seolah mampu membuat takjub dan membius Rasulullah SAW.
2. Bahkan di dalam riwayat Tafsir As-Suddy, kedatangan Al-Akhnas ini bukan datang semata berbekal orang. Ia datang lengkap dengan menampakkan simbol-simbol Islam. Padahal sejatinya tidak dengan batinnya. Perhatikan diksi kalimat yang dipergunakan oleh As-Suddy sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir (w. 774 H) berikut ini:
قال السدي : نزلت في الأخنس بن شريق الثقفي ، جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وأظهر الإسلام وفي باطنه خلاف ذلك
Artinya, “As-Suddy berkata bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Akhnas bin Syariq At-Tsaqafy yang datang menghadap Rasulullah SAW sembari menampakkan/menzhahirkan simbol-simbol Islam ke hadapan beliau, sedangkan sebenarnya hatinya tidaklah demikian.”(Ibnu Katsir, halaman: 32).
Di dalam tafsir ini, As-Suddy menggambarkannya dengan lafal azhhara, sebuah fi’il tsulatsy mazid dengan tambahan huruf hamzah di awalnya yang berfungsi li ta’diyah al-mubalaghah (transitif/menyangatkan dan menunjukkan adanya sesuatu). Yang hendak ditunjukkan adalah simbol-simbol itu, karena bagimana juga, orang munafiq akan senantiasa berbicara berkaitan dengan simbol disebabkan mereka sendiri tidak melaksanakannya.
Istilahnya, membaca maulid saja tidak, tapi berlagak membela maulid. Atau ketika ada seorang membaca dan menyanjung nabi yang tertuang dalam sirah kitab maulid, justru mereka anggap itu amalan sesat, akan tetapi ia justru balik berusaha menyatakan bahwa mereka mencintai nabi dan berperangai seolah membelanya.
Saat disebut asma Nabi SAW dalam mahallul qiyam, mereka justru mengatakan bahwa berdiri saat mahallul qiyam adalah tindakan sesat. Padahal berdiri itu adalah tindakan takzim (penghormatan yang tinggi kepada Nabi, yang dengan namanya saja hati sudah bergetar), namun justru ketakziman itu mereka cap sebagai bentuk kesesatan. Lalu manakah yang sejatinya menghormat kepada nabi dan siapa sebenarnya yang melakukan penistaan?
Begitulah perangai Al-Akhnas saat datang menghadap Baginda Nabi. Ia datang justru sambil membikin kamuflase terhadap kisah Khubaib yang sudah terlebih dulu mengorbankan jiwa dan raga untuk dakwah ke segala penjuru. Namun, kekurangan (aib) yang terdapat pada Khubaib dijadikannya alasan untuk menjatuhkannya. Perhatikan riwayat tafsir dari Ibnu Abbas RA berikut ini:
وعن ابن عباس : أنها نزلت في نفر من المنافقين تكلموا في خبيب وأصحابه الذين قتلوا بالرجيع وعابوهم ، فأنزل الله في ذم المنافقين ومدح خبيب وأصحابه : ( ومن الناس من يشري نفسه ابتغاء مرضاة الله )
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA: Sungguh ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok kecil orang munafik yang menceritakan perihal Khubaib dan bala tentaranya, yaitu mereka yang terbunuh di tanah Raji’. Kelompok kecil ini menyebarkan aib Khubaib (‘Abuhum). Lalu Allah SWT menjawab celaan kaum munafiqin ini dan sebaliknya memuji Khubaib dan bala tentaranya dengan diturunkan-Nya ayat, ‘Di antara sebagian manusia, ada orang yang merelakan dirinya, berjuang mencari keridlaan Allah SWT).’” (Ibnu Katsir: 32).
Diksi yang dipergunakan oleh Ibnu Abbas dalam menggambarkan sosok al-Akhnas ini adalah disampaika dengan ‘abuhum, yang secara lhughawinya bermakna mencari-cari ‘aib. Apakah Khubaib tidak memiliki ‘aib? Sebagaimana manusia pada umumnya, sudah pasti ada, karena Khubaib bukanlah pribadi yang ma’shum (terjaga). Namun, betapa manusia yang punya aib, aib Khubaib adalah bagian yang diampuni oleh Allah SWT disebabkan ia justru sudah menunjukkan amal perbuatan dalam mencari keridlaan Allah SWT.
Aib diri dikalahkan oleh gerak mencari keridlaan itu, sehingga ia benar-benar mendapatkannya, tetapi tidak dengan Al-Akhnas. Allah SWT menggambarkan ciri khas Al-Akhnas ini sebagai:
1. Orang yang keras sekali wataknya dan suka menebar permusuhan, bahkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang saa itu beliau merupakan pemegang hak ri’ayah (penjagaan dan kepemimpinan) atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin ia bisa disebut beriman sementara ia selaku penentang paling keras (aladdul khisham) bagi pemegang ri’ayahnya (pemerintahnya)?
2. Mereka suka berbuat kerusakan. Dalam ayat mereka digambarkan sebagai suka berbuat merusak terhadap tanaman (al-hartsa) dan binatang ternak (al-nasla). Lafadh al-Nasla terkadang juga diartikan sebagai generasi keturunan. Maksudnya, mereka berusaha merusak generasi keturunan (generasi bangsa) dengan menciptakan opini-opini yang dapat merusak pemahaman mereka. Jika dkaitkan dengan keturunan, maka bisa jadi tindakan merusak ini adalah karena mereka menyebarkan tradisi yang menyimpang dari nilai-nilai adab, seperti suka menyebarkan kata bunuh, penggal, umpatan-umpatan tidak beretika, dan lain sebagainya.
Sebagai jawab terhadap tabiat al-Akhnas ini, Allah SWT berfirman di dalam Surat Al-Baqarah ayat 206:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
Artinya, “Saat dikatakan kepadanya (Al-Akhnas), ‘Bertakwalah kepada Allah,’ bangkitlah kesombongannya (Al-Akhnas) yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (Surat Al-Baqarah ayat 206).
Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya. Semoga kita diselamatkan dari kaum bermuka dua, sebagaimana Al-Akhnas. Dalam lahir menampakkan simbol-simbol keislaman, namun secara batin ia justru menjadi pihak yang paling keras dalam menebar permusuhan! Amiiin. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar