Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (III)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pilihan untuk menentukan bintik-bintik hitam dalam sejarah modern Indonesia tentu berdasarkan pandangan subyektif saya yang bisa saja dikoreksi oleh siapa pun dengan segala fakta yang dikemukakan. Setelah drama Rengasdengklok yang menghebohkan itu, akan saya bicarakan beberapa bintik hitam lain berikut ini.
Kedua, pemberontakan PKI Madiun. Dimulai 18 September 1948, kemudian menjalar ke Jawa Tengah. Saat bangsa dan negara sedang tertatih-tatih menata dirinya di tengah incaran pasukan Belanda yang ingin melumpuhkan republik yang baru berusia setahun jagung itu, PKI pimpinan Muso malah menikam dari belakang. Amat disayangkan seorang Mr Amir Sjarifuddin, tokoh Sumpah Pemuda 1928, mantan menteri dan perdana menteri masa revolusi, terseret oleh provokasi Muso ini. Baik Muso mau pun Amir akhirnya tertangkap dan ditembak mati oleh pasukan AD. Di waktu mudanya, Muso pernah nyantri di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Amir adalah sahabat politik St. Sjahrir dalam faksi sosialis sebelum keduanya pecah kongsi awal 1948.
Pemberontakan Madiun ini banyak membawa korban, terutama di kalangan santri yang memang menjadi musuh utama PKI. Pemberontakan ini ditumpas oleh pemerintah Hatta (dibentuk 29 Januari 1948). Hatta menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin yang menyerahkan mandat pada bulan itu karena oposisi hebat dari Masyumi dan PNI.
Pemerintah Hatta dalam tempo singkat berhasil menumpas habis pemberontakan komunis itu dengan mengerahkan pasukan Siliwangi ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sejak kabinetnya jatuh awal tahun itu, Amir mulai kehilangan keseimbangan untuk akhirnya bergabung dengan Muso, seperti tersebut di atas. Sebuah pilihan politik telah membawa Amir ke ujung karier yang memilukan.
Sebagai agen Moskow, Muso sendiri sebenarnya baru datang ke Indonesia bulan Mei 1948. Hanya dalam tempo empat bulan Muso berhasil menguasai FDR (Front Demokrasi Rakyat), faksi kiri, yang semula dibentuk dan dipimpin oleh Amir Sjarifuddin pada Februari 1948 sebagai perlawanan terhadap kabinet Hatta.
Amir bersama kelompoknya dieksekusi pada 19 Desember 1948 di Karanganyar, Surakarta, atas perintah Gubernur Militer Kol Gatot Soebroto. Tanggal ini persis sama dengan tanggal menyerahnya Bung Karno-Bung Hatta dan beberapa menteri di ibu kota Yogyakarta kepada pasukan Belanda yang membobardir kota ini selama beberapa jam.
Pemberontakan Madiun ini oleh pihak PKI dicoba untuk diputihkan yang dikatakan sebagai akibat provokasi Hatta, tetapi fakta sejarah tidak bisa dibantah. PKI ketika itu lebih setia kepada Moskow, sesuatu yang ditentang oleh Tan Malaka.
Pemerintah Hatta hanya menangkap para pemberontak saja, sedangkan PKI sebagai partai tidak dibubarkan. Maka mulai tahun 1951 di bawah pimpinan DN Aidit, PKI bangkit kembali, sebagaimana nanti akan dibicarakan lagi.
Ketiga, pemberontakan DI/TII. Awal tahun 1960-an saya masih saja sedikit simpati dengan gerakan DI/TII ini. Akan tetapi setelah saya belajar dan melihat kerusakan yang ditimbulkannya atas nama agama, simpati saya buyar sama sekali.
Oleh sebab itu, gerakan ini saya masukkan dalam kategori bintik-bintik hitam. Pemimpinnya adalah para santri yang kemudian menjadi radikal. Ada tiga daerah yang menjadi pusat pemberontakan ini: Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Ada juga gerakan Amir Fatah di Jawa Tengah, 1950-1959, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, tetapi tidak pernah menjadi kuat.
Para pemimpin DI itu adalah SM Kartosoewirjo (1905-1962), Mayor Jenderal (titular) Tengku Muhammad Daud Beureueh (1899-1987), dan Abdul Kahar Mudzakkar (1921-1965). Sesunggguhnya ketiga nama ini semula adalah para pejuang kemerdekaan, tetapi kemudian berubah menjadi pembangkang terhadap Jakarta.
Bagi saya perlawanan ini bukan lagi sebuah dinamika politik, tetapi adalah titik gelap dalam sejarah Indonesia, apa pun dalih yang dipakai untuk membenarkan perbuatan itu. Baik Daud mau pun Kahar kemudian sama-sama berimam kepada Kartosoewirjo.
Saya membaca bahwa dorongan iman para tokoh santri ini lantaran frustrasi tidak lagi dikawal oleh akal sehat dan perhitungan rasional tentang masa depan gerakan mereka yang tidak mungkin menang. Ditinjau dari sisi usia, Daud adalah yang tertua, disusul oleh Kartosoewirjo, dan yang termuda adalah Kahar. Ketiganya datang dari tiga etnisitas yang berbeda: Jawa, Aceh, dan Bugis.
Kartosoewirjo kelahiran Cepu (Jawa Tengah) tetapi punya isteri orang Sunda. Mungkin karena hubungan perkawinan ini, Kartosoewirjo bisa menancapkan pengaruhnya di kalangan masyarakat Sunda yang memang dikenal sebagai kawasan santri.
Dari ketiga tokoh itu, hanya Daud Beureueh yang selamat dari hukuman mati, karena di akhir hayatnya berdamai dengan pemerintah pusat. Dan wafat di Jakarta. []
REPUBLIKA, 29 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar