Selasa, 18 Agustus 2020

Fadli Zon: Mendikbud Harus Hentikan Program POP

 

Mendikbud Harus Hentikan Program POP

Oleh: Fadli Zon


MUNDURNYA Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seharusnya direspon serius oleh Presiden Joko Widodo. Mundurnya tiga organisasi besar tadi telah mendelegitimasi program POP, sehingga tak ada alasan bagi pemerintah untuk meneruskannya.


POP sebelumnya diklaim sebagai program unggulan Kemendikbud. Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Dalam program ini, Kemendikbud melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.


Di atas kertas, konsepnya kelihatan bagus. Namun, konsep yang bagus saja terbukti tidaklah cukup. Ada banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan.


Memperhatikan kontroversi di tengah masyarakat atas program ini, saya melihat program ini sebaiknya dihentikan saja. Setidaknya ada lima alasan kenapa program ini perlu dihentikan.


Pertama, payung hukumnya belum jelas. Menurut Komisi X DPR RI, anggaran POP ini sebenarnya belum disetujui DPR, karena pembahasan mengenai peta jalan pendidikan dengan Kemendikbud sendiri belum selesai dilakukan.


Kedua, soal kepantasan. Di tengah-tengah pandemi, apakah pantas Kemendikbud memprioritaskan program ini, yang pagu anggarannya mencapai Rp595 miliar? Di tahun ajaran baru ini kita mendengar di mana-mana banyak siswa kita ternyata kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), karena keterbatasan ekonomi, infrastruktur listrik dan telekomunikasi, serta sumber daya lainnya. Masalah ini menurut saya jauh lebih mendesak untuk dipecahkan Kemendikbud ketimbang program POP.


Anggaran yang sangat besar itu sebaiknya digunakan untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan PJJ berjalan lancar dan semua siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran.


Ketiga, proses seleksi bermasalah. Sejak awal, seleksi yang dilakukan Kemendikbud terbukti bermasalah. Saya membaca, awalnya ada organisasi besar sebenarnya tak ikut seleksi, tapi diminta untuk ikut oleh kementerian dua hari sebelum penutupan. Ini merupakan hal aneh dan sangat tidak profesional. Lalu, dalam proses seleksi administrasi, mereka sebenarnya juga tak lolos, tapi terus diminta ikut dan melengkapi persyaratan oleh panitia. Ada kesan organisasi massa besar diajak hanya untuk melegitimasi semata program ini.


Keempat, kementerian mengabaikan rekam jejak organisasi yang terlibat dalam program ini. Basisnya hanya seleksi proposal melalui ‘blind review’, tanpa mengevaluasi latar belakang dan kompetensi organisasi pengusul. Mestinya para pejabat di Kemendikbud paham mereka bukan sedang menseleksi artikel jurnal, atau ‘beauty contest’ gagasan pendidikan, tapi menseleksi program pemerintah, yang kunci keberhasilannya bukan hanya tergantung pada "bagaimana programnya", tapi juga pada "apa dan bagaimana organisasi pengusulnya".

 

Jadi, obyektivitas penilaian atas proposal seharusnya memang bukanlah kriteria satu-satunya dalam seleksi program POP. Terbukti, ada problem etis yang sangat mengusik sesudah identitas para pengusul proposal dibuka.


Kelima, ada dugaan conflict of interest. Lolosnya Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation sebagai organisasi penggerak bukan hanya bermasalah secara etis, mengingat dua lembaga itu punya afiliasi dengan perusahaan swasta besar, tapi juga diduga ada conflict of interest. Beberapa pejabat atau orang dekat Mendikbud diketahui pernah punya afiliasi dengan dua lembaga yang saat ini banyak dipersoalkan masyarakat.


Seorang Dirjen yang baru saja diangkat, misalnya, diketahui pernah bekerja di Sampoerna University dan juga Tanoto Foundation. Begitu juga dengan salah satu Staf Khusus Menteri, diketahui pernah bekerja sebagai Corporate Manager di PT HM Sampoerna. Ini tentu saja sangat mengusik kita.


Jadi, dengan lima catatan tadi, saya kira program tersebut sebaiknya dihentikan, bukannya diteruskan dengan tambahan evaluasi. Keluarnya Muhammadiyah, NU dan PGRI cukup jelas sudah mendeligitimasi program POP. Mundurnya Muhammadiyah dan NU, dua lembaga keagamaan yang memang juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, harus dibaca sebagai bentuk protes sekaligus ekspresi ketidakpercayaan terhadap Kemendikbud. Kalau Mendikbud tidak menyadari hal ini, Presiden seharusnya tahu konsekuensinya dan segera menegur keras menterinya. Pertanyaannya, ini visi misi Presiden yang dituangkan dalam program oleh Mendikbud atau inisiatif Mendikbud sendiri? []

 

KORAN SINDO, 25 Juli 2020

Fadli Zon | Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar