Mendikbud Harus Hentikan Program POP
Oleh: Fadli Zon
MUNDURNYA Majelis Pendidikan
Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, serta
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak
(POP) milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seharusnya
direspon serius oleh Presiden Joko Widodo. Mundurnya tiga organisasi besar tadi
telah mendelegitimasi program POP, sehingga tak ada alasan bagi pemerintah
untuk meneruskannya.
POP sebelumnya diklaim sebagai program unggulan
Kemendikbud. Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi
para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Dalam program ini, Kemendikbud melibatkan organisasi-organisasi masyarakat
maupun individu yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru
melalui berbagai pelatihan.
Di atas kertas, konsepnya kelihatan bagus. Namun,
konsep yang bagus saja terbukti tidaklah cukup. Ada banyak aspek lain yang
harus dipertimbangkan.
Memperhatikan kontroversi di tengah masyarakat atas
program ini, saya melihat program ini sebaiknya dihentikan saja. Setidaknya ada
lima alasan kenapa program ini perlu dihentikan.
Pertama, payung hukumnya belum jelas. Menurut Komisi X DPR RI,
anggaran POP ini sebenarnya belum disetujui DPR, karena pembahasan mengenai
peta jalan pendidikan dengan Kemendikbud sendiri belum selesai dilakukan.
Kedua, soal kepantasan. Di tengah-tengah pandemi, apakah pantas
Kemendikbud memprioritaskan program ini, yang pagu anggarannya mencapai Rp595
miliar? Di tahun ajaran baru ini kita mendengar di mana-mana banyak siswa kita
ternyata kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), karena keterbatasan
ekonomi, infrastruktur listrik dan telekomunikasi, serta sumber daya lainnya.
Masalah ini menurut saya jauh lebih mendesak untuk dipecahkan Kemendikbud
ketimbang program POP.
Anggaran yang sangat besar itu sebaiknya digunakan
untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah
3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan PJJ berjalan lancar dan semua
siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran.
Ketiga, proses seleksi bermasalah. Sejak awal, seleksi yang
dilakukan Kemendikbud terbukti bermasalah. Saya membaca, awalnya ada organisasi
besar sebenarnya tak ikut seleksi, tapi diminta untuk ikut oleh kementerian dua
hari sebelum penutupan. Ini merupakan hal aneh dan sangat tidak profesional.
Lalu, dalam proses seleksi administrasi, mereka sebenarnya juga tak lolos, tapi
terus diminta ikut dan melengkapi persyaratan oleh panitia. Ada kesan
organisasi massa besar diajak hanya untuk melegitimasi semata program ini.
Keempat, kementerian mengabaikan rekam jejak organisasi yang
terlibat dalam program ini. Basisnya hanya seleksi proposal melalui ‘blind review’, tanpa
mengevaluasi latar belakang dan kompetensi organisasi pengusul. Mestinya para
pejabat di Kemendikbud paham mereka bukan sedang menseleksi artikel jurnal,
atau ‘beauty contest’
gagasan pendidikan, tapi menseleksi program pemerintah, yang kunci
keberhasilannya bukan hanya tergantung pada "bagaimana programnya",
tapi juga pada "apa dan bagaimana organisasi pengusulnya".
Jadi, obyektivitas penilaian atas proposal seharusnya memang bukanlah kriteria satu-satunya dalam seleksi program POP. Terbukti, ada problem etis yang sangat mengusik sesudah identitas para pengusul proposal dibuka.
Kelima, ada dugaan conflict
of interest. Lolosnya Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto
Foundation sebagai organisasi penggerak bukan hanya bermasalah secara etis,
mengingat dua lembaga itu punya afiliasi dengan perusahaan swasta besar, tapi
juga diduga ada conflict of
interest. Beberapa pejabat atau orang dekat Mendikbud diketahui
pernah punya afiliasi dengan dua lembaga yang saat ini banyak dipersoalkan
masyarakat.
Seorang Dirjen yang baru saja diangkat, misalnya,
diketahui pernah bekerja di Sampoerna University dan juga Tanoto Foundation.
Begitu juga dengan salah satu Staf Khusus Menteri, diketahui pernah bekerja
sebagai Corporate Manager di PT HM Sampoerna. Ini tentu saja sangat mengusik
kita.
Jadi, dengan lima catatan tadi, saya kira program
tersebut sebaiknya dihentikan, bukannya diteruskan dengan tambahan evaluasi.
Keluarnya Muhammadiyah, NU dan PGRI cukup jelas sudah mendeligitimasi program
POP. Mundurnya Muhammadiyah dan NU, dua lembaga keagamaan yang memang juga
bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, harus dibaca sebagai
bentuk protes sekaligus ekspresi ketidakpercayaan terhadap Kemendikbud. Kalau
Mendikbud tidak menyadari hal ini, Presiden seharusnya tahu konsekuensinya dan
segera menegur keras menterinya. Pertanyaannya, ini visi misi Presiden yang
dituangkan dalam program oleh Mendikbud atau inisiatif Mendikbud sendiri? []
KORAN SINDO, 25 Juli 2020
Fadli Zon | Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar