Awal Mula Al-Wala wal Bara dalam Aqidah Islam
Orang yang berkembang dalam tradisi Asy’ariyah (peletak dasar teorisasi teologi Ahlussunnah wal Jamaah, 873 M-935 M) sedikit kesulitan untuk mencari dari mana asal al-wala wal bara ini secara teoritis dalam kaitannya dengan keimanan. Pasalnya, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) tidak memasukkan al-wala wal bara ke dalam aqidah Aswaja.
Secara umum, aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam menurut pandangan
aqidah Aswaja hanya berkaitan dengan sifat Allah, sifat para rasul, takdir,
malaikat, alam kubur, dunia ghaib, syafaat rasul, telaga Al-Kautsar, surga,
neraka, dan alam akhirat, (Zaini Dahlan, tanpa tahun: 1-15) dan (Al-Baijuri,
tanpa tahun: 1-77).
Sayyid Sa‘id Abdul Ghani melalui karyanya, Haqiqatul Wala wal Bara fi
Mu’taqadi Ahlissunnah wal Jamaah sedikit membantu untuk melacak awal mula
kaitan al-wala wal bara dan keimanan. Ia mengutip penjelasan Syekh Ibnu
Taimiyah (661 H/1263 M-728 H/1328 M) atas Surat Al-Mujadalah ayat 22 dalam
kitab Al-Iman.
“Allah mengabarkan bahwa kau (Muhammad) takkan menemukan seorang yang beriman
mencintai mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya karena keimanan menafikan
cinta tersebut sebagaimana satu kutub menafikan kutub lain yang berseberangan
dengannya. Jika terdapat keimanan, maka lawan dari keimanan menjadi tiada,
yaitu menjadikan musuh Allah sebagai teman dekat. Jika seseorang mencintai
musuh Allah dengan hatinya, maka itu menjadi tanda bahwa pada hatinya tidak
terdapat keimanan yang pasti,” (Ghani, 1998 M: 649).
Kami menemukan al-wala wal bara secara teoritis yang paling awal ‘diperkenalkan’ oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri 'Mazhab Wahabi,' (1115 H/1701 M-1206 H/1793 M). Pandangan al-wala wal bara dari Muhammad bin Abdul Wahhab ini diberi anotasi oleh pemuka Wahabi, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) dalam Syarah Ushulut Tsalatsah.
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam buku tersebut menyampaikan doktrin berisi tiga
hal penting yang wajib diperhatikan dan diamalkan oleh seorang Muslim dan
Muslimah.
Pertama, Allah pencipta sekaligus pemberi rezeki. Allah tidak membiarkan
manusia begitu saja, tetapi mengutus para rasul-Nya. Siapa yang mematuhi
mereka, maka ia akan masuk surga. Tetapi siapa yang mendurhakai mereka, ia
masuk ke neraka (Al-Muzammil ayat 15-16).
Kedua, Allah tidak rela disekutukan dalam penyembahan-Nya dengan apa dan
siapa pun termasuk malaikat muqarrabun dan nabi utusan dalam sekutu
(Al-Jin ayat 18).
Ketiga, siapa yang menaati rasul dan mengesakan Allah, maka ia tidak
boleh menjadikan mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya sebagai teman dekat
sekali pun ia kerabat dekat (Al-Mujadalah ayat 22) (Wahab, 2001: 29-35).
Al-Muzammil ayat 15-16:
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا
Artinya, “Sungguh Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.”
Al-Jin ayat 18:
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya, “Sungguh masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Al-Mujadalah ayat 22:
لَا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ
وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan
yang datang dari-Nya. Mereka kelak dimasukkan oleh-Nya ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.
Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sungguh hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.”
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) menambah deretan ayat al-wala wal bara di samping ayat yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4. (Al-Utsaimin, 2001: 34-36).
Ali Imran ayat 118:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا
يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ
أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ
الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."
Surat Al-Ma’idah ayat 51:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ
أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh,
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Surat Al-Ma’idah ayat 57:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ
هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika
kamu betul-betul orang-orang yang beriman."
At-Taubah ayat 23.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ
أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya, Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim.
At-Taubah ayat 24:
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya, “Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Al-Mumtahanah ayat 4:
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ
قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ
لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ
رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu
(siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada
Engkaulah kami kembali".
Menurut Al-Utsaimin, tindakan al-wala (loyalitas terhadap orang-orang
yang menentang Allah) menunjukkan kelemahan iman mereka kepada Allah dan
rasul-Nya. Pasalnya, akal sehat sulit menerima loyalitas seseorang akan sesuatu
yang menjadi musuh kekasihnya. Loyalitas terhadap orang-orang kafir dapat
mengambil bentuk pertolongan dan pembelaan terhadap mereka atas kekufuran dan
kesesatan. Cinta terhadap mereka juga dapat berbentuk tindakan yang menyebabkan
mereka senang. Cinta terhadap mereka dapat berbentuk aneka jalan.
Semua ini dapat menafikan keimanan seseorang sama sekali, atau menafikan
kesempurnaan iman seseorang. Oleh karena itu, seorang Muslim harus memusuhi,
membenci, dan menjauhi mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya meski mereka
adalah kerabat sendiri. Namun demikian, perintah ini tidak menghalanginya untuk
menasihati dan mengajak mereka ke jalan yang benar, (Al-Utsaimin, 2001: 36).
Aqidah al-wala wal bara dengan demikian lebih dekat pada konsep aqidah
yang diperkenalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kalangan Wahabi
sesudahnya. Al-wala wal bara ini yang dalam pandangan kalangan Wahabi
untuk mengukur dan menilai keimanan orang lain, dan tidak jarang menghakimi
orang lain, mengeksklusi bahkan mengeksekusi dan mempersekusi, hingga merundung
(bully) orang lain, sekalipun kerabat dekat dan keluarga sendiri.
Sesungguhnya tidak ada masalah dengan semua ayat di atas dan al-wala wal
bara sebagai perintah agama. Hanya saja letak problematisnya adalah
penempatan al-wala wal bara ke dalam aqidah Islam sebagai alat ukur
keimanan orang lain dan legitimasi untuk praktik eksklusi terhadapnya.
Dengan kata lain, masalahnya terletak pada pemahaman dan pelaksanaannya yang
keliru karena melewati batas. Oleh karena itu, penempatan al-wala wal bara ke
dalam aqidah Islam perlu diuji secara keilmuan dan secara sejarah. Wallahu
a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar