Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (V)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang pada 15 Februari 1958 oleh Letkol Amad Hussein, sedangkan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) dibentuk di Makassar pada 2 Maret 1957 oleh Letkol Ventje Sumual. Pelopor gerakan anti-Jakarta ini adalah komandan-komandan AD daerah yang didukung elite sipil.
Gerakan ini dipicu ketidakpuasan kepada pemerintah pusat yang dinilai tak memperhatikan pembangunan daerah, di samping semangat anti-PKI, partai yang dipandang telah makin kuat di Indonesia.
Sekalipun dua gerakan ini beroperasi di wilayah terpisah, dalam perjalanannya mereka bersatu melawan Jakarta. Dalam keterangan Jenderal AH Nasution, PRRI/Permesta pernah menguasai sepertujuh wilayah republik, sesuatu yang sangat berbahya bagi kelangsungan Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Untuk PRRI, semula telah diusahakan, antara lain oleh Bung Hatta, agar dicari titik temu dengan Jakarta. Namun, semua upaya itu berakhir buntu.
Solusinya: perang saudara yang sama sekali tidak seimbang dengan korban yang sia-sia di kalangan mahasiswa dan rakyat yang terseret arus sengketa. Secara teori, PRRI/Permesta adalah gerakan tanpa menganut ideologi tertentu.
Modal utama mereka semangat anti-Jakarta, antikomunis, dan protes terhadap pemerintah pusat yang mengabaikan pembangunan daerah. Namun, dalam tempo sekitar tiga tahun, gerakan ini berhasil dilumpuhkan.
Para pemimpinnya, pada awal 1960-an, akhirnya menyerahkan diri karena memang menurut perhitungan akal sehat gerakan ini sejak awal rapuh dan tak punya masa depan. Dilihat dari etnisitas, pendukung PRRI/Permesta jelas tampak suku Minangkabau, Bugis, Maluku, dan ada yang lain. Suku terbesar Jawa dan Sunda di luar pengaruh PRRI/Permesta. Di ujung gerakannya, PRRI/Permesta juga bersatu dengan DI/TII, tetapi semuanya sia-sia.
PRRI/Permesta memang secara militer dan logistik sama sekali tidak siap, berapa pun bantuan senjata dan dolar yang diberikan CIA kepada mereka.
Bantuan Amerika ini bukan berdasarkan kalkulasi kemungkinan menang, tetapi lebih didorong kecemasannya terhadap bahaya PKI di Indonesia dalam perspektif containment policy (politik pembendungan) komunisme dalam iklim perang dingin.
Kelumpuhan gerakan perlawanan daerah ini makin menaikkan posisi Presiden Sukarno dan AD.
PKI yang sudah mendekat dengan Bung Karno, sekalipun dicurigai tentara, juga mendapatkan peluang emas untuk memperbesar radius pengaruhnya dalam politik, buruh, kebudayaan, bahkan di kalangan militer.
Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dengan slogan Nasakomnya makin menguntungkan PKI untuk ancang-ancang menguasai Indonesia. Jika ditengok dampak buruknya akibat pemberontakan ini antara Sulawesi dan Sumatra Barat, bedanya seperti siang dengan malam.
Sumatra Barat jauh lebih parah karena memang episentrumnya di sana. Coba bayangkan, ada tiga tokoh nasional penting yang melibatkan diri dengan PRRI: mantan presiden PDRI dan dua perdana menteri Indonesia tahun 1950-an.
Kebetulan, ketiganya berasal dari partai yang sama, sekalipun partainya sendiri tidak terlibat. Akibat kekalahan PRRI ini masih dirasakan orang Minangkabau sampai hari ini, sekalipun sudah dilampaui selama hampir enam dasawarsa.
Mereka mengidap dan menanggungkan mentalitas kalah sekian lama. Dampak buruk lain dari ekor PRRI/Permesta bagi partai sebagai pilar demokrasi tidak boleh dilupakan.
Sekalipun Masyumi dan PSI sebagai partai tidak terlibat dalam pergolakan daerah itu, Jakarta selalu mengaitkan keduanya dengan perlawanan daerah itu. Dengan dalih itulah kedua partai itu diperintahkan bubar pada akhir tahun 1960.
Masyumi terutama adalah partai yang sangat gigih membela demokrasi dan konstitusi. Dengan menghilangnya kedua partai ini dari panggung politik Indonesia, jalan menjadi makin mulus bagi sistem politik baru yang minus demokrasi itu.
Beberapa pemimpin kedua partai itu yang sama sekali tak turut PRRI/Permesta ditangkap dan ditahan selama beberapa tahun tanpa proses pengadilan. Hamka yang bukan politikus pun dipenjarakan pada 1964, baru keluar dua tahun kemudian setelah rezim berganti.
Saya sendiri yang kebetulan berasal dari daerah itu, tetapi saat pergolakan sedang berada di perantauan, sungguh meyesali meledaknya perang saudara yang menyisakan segudang persoalan bagi pihak yang kalah dan sampai batas tertentu juga bagi Indonesia secara keseluruhan.
Dibandingkan daya tahan juang gerakan DI/TII, PRRI/Permesta jauh berada di bawah. Suku bangsa yang tahan berperang melawan penjajah selama 40 tahun hanyalah Aceh. Suku-suku lain tidak ada yang bisa menandingi.
Adapun Perang Padri (1821-1837), semula berkecamuk pada awal abad ke-19, lebih merupakan perang sesama suku Minang. Satu pihak minta bantuan penjajah, kemudian berubah menjadi perang melawan Belanda. []
REPUBLIKA, 11 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar