Menggali Spirit Masa Muda Tokoh NU
Judul : Tokoh Muda NU Inspiratif
Penulis : Mohammad Anwar dkk
Tebal : xxii + 492
Penerbit : Pustaka Compass
Tahun : 2018
ISBN : 9786025245817
Peresensi : Syakir NF, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta. Pernah menjadi Ketua Pimpinan Komisariat (PK) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren, Cirebon.
Pada tanggal 28 Oktober 2019 mendatang, Sumpah Pemuda diperingati untuk ke 91 kalinya. Hampir satu abad lalu, para pemuda-pemudi Indonesia bertekad bulat untuk menjadikan wilayah yang diduduki oleh Belanda itu merdeka dan lepas dari belenggu penjajahan. Tekad itu diikrarkan dengan sumpah yang berisi tiga poin, yakni berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni Indonesia.
Pertemuan para pemuda dari berbagai daerah itu menjadi momentum penting
menumbuhkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Tak ayal, 17 tahun
setelahnya, masyarakat Indonesia betul-betul bisa mewujudkan cita-citanya
selama ratusan tahun tersiksa dengan peperangan, pemerasan, kerja paksa, dan
sebagainya.
Kemerdekaan itu juga tak lepas dari peran serta para tokoh Nahdlatul Ulama.
Tentu kita maklum betul, selepas proklamasi kemerdekaan, sekutu enggan
mengakuinya sehingga menimbulkan peperangan hebat tiga bulan setelahnya, yakni
pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Resolusi jihad yang
dicetuskan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober
menimbulkan semangat perjuangan masyarakat Indonesia memuncak. Dipimpin oleh
Sang Singa Jawa Barat KH Abbas Abdul Jamil, perang tersebut mampu menumpas Sang
Jenderal Inggris, AWS Mallaby.
Lepas dari perjuangan kemerdekaan itu, para kiai yang habis-habisan di medan
perang itu tersebut di masa mudanya tak melupakan hakikatnya sebagai santri.
Dalam buku Tokoh Muda NU Inspiratif, diceritakan bahwa kakek dari KH
Abdurrahman Wahid itu di masa mudanya getol berguru kepada para kiai dari dalam
dan luar negeri. Ulama yang lahir di Gedang pada Selasa Kliwon 24 Zulka’dah
1287 H itu bahkan dikenal sebagai santri kelana karena mengaji dari satu kiai
ke kiai lainnya lintas daerah, hingga ke tanah Hijaz.
Santrinya yang jadi panglima perang 10 November itu juga, KH Abbas Abdul Jamil,
juga diceritakan dalam buku tersebut. Sosok yang dikenal sakti itu juga
mengembara ke beberapa daerah guna menuntut ilmu. Ia pun melengkapi kehausan
akan pengetahuannya itu hingga ke tanah suci.
Dalam buku tersebut, Kiai Abbas disebut sebagai KH Abdullah Abbas. Memang, tak
sedikit sumber yang menyebut demikian. Hal ini tidaklah benar. Kiai Abbas dan
Kiai Abdullah Abbas adalah dua orang yang berbeda. Kiai Abdullah Abbas
merupakan salah satu putra dari Kiai Abbas.
Selain dua kiai tadi, buku tersebut juga mengupas para tokoh NU lainnya dan
ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah lainnya yang berasal dari Bumi Nusantara.
Ada cucu Syekh Nawawi al-Bantani, yakni Syekh Abdul Haq al-Bantani al-Jawi
al-Makki. Sosok yang disebut-sebut sebagai Syekh Nawawi kedua itu wafat di usia
yang masih relatif muda, yakni 38 tahun pada tahun1906 M di Makkah. Tokoh ini maksud
dalam pembahasan bagian pertama tentang Para Perintis Kader Muda di Pesantren
bersama Syekh Yusuf al-Maqassari, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi
al-Bantani, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Soleh Darat, Syekh Mahfudz
al-Tarmasi, dan Syekh Ahmad Khatib Syambas.
Buku tersebut dibagi menjadi lima bagian. Sementara bagian keduanya tentang
Pejuang Bangsa Inspirator Kaum Muda yang membahas tokoh-tokoh perjuangan
sebagaimana yang diceritakan di atas, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Abbas
Abdul Jamil, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul
Arifin, Kiai Amin Sepuh, Kiai Zaenal Mustafa, KH Abdul Wahid Hasyim, KH
Masykur, KH Saifuddin Zuhri, dan lainnya.
Sementara itu, bagian ketiga membahas tentang Para Penjaga Pemuda Kader Bangsa.
Dalam pembahasan ini, terdapat tokoh seperti KH Idham Cholid dan Subchan ZE.
Dua nama ini merupakan tokoh penting bagi perjalanan Nahdlatul Ulama di masa
Orde Lama dan Orde Baru. Kiai Idham sebagai ketua umum sejak tahun 1956 hingga
1984. Sementara Subchan menjadi tokoh penggerak kaum muda Nahdliyin dan kaum
muda Indonesia. di usianya ke-31, ia sudah duduk sebagai Ketua IV PBNU
mendampingi Kiai Idham. Keaktifannya dalam mengelola perusahaan rokok sejak
masa remajanya membawanya sebagai ahli ekonomi di samping pendidikannya
ditempuh di bidang yang digelutinya itu. Ia bahkan pernah mengikuti kursus
program ekonomi di University of California Los Angeles, Amerika Serikat.
Bagian ketiga juga membahas kiprah pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) KH Tolchah Mansoer. Kiai Tolchah muda selain giat belajar pengetahuan
umum dan agama, juga tampil sebagai pejuang kemerdekaan. Ia bahkan ditunjuk
sebagai sekretaris Sabilillah daerah pertempuran Malang selatan. Demi
mempertahankan kemerdekaan, ulama kelahiran 1930 itu rela meninggalkan bangku
sekolahnya. Ia baru melanjutkan lagi sekolahnya selepas perang usai. Tokoh NU
itu juga harus kembali menghentikan studinya guna menjalankan roda organisasi
kaum pelajar Nahdliyin.
Adapun bagian empat buku tersebut membahas tentang tokoh-tokoh yang mengawal
tradisi keilmuan pemuda dari pesantren. Bagian ini membahas intelektual NU di
berbagai bidang, seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Bisri Mustofa, KH Ahmad Sahal
Mahfudz, KH Hasyim Muzadi, Muallim Syafii Hadzami, hingga Prof KH Ibrahim
Hosen.
Sementara bagian terakhir membahas tokoh-tokoh NU yang menggerakkan kader muda
milenial. Dalam bagian ini, dibahas sosok alumni IPNU seperti Sekjen PBNU H
Helmy Faishal Zaini, Ketua Umum IPNU 2000-2003 yang juga Bupati Banyuwangi
Abdullah Azwar Anas, dan H Asrorun Niam Sholeh yang saat ini menjabat sebagai
Deputi II Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Gemar Belajar untuk Kebermanfaatan bagi Sesama
Satu garis besar yang dapat diambil dari 99 tokoh yang dibahas dalam buku tersebut adalah kegemaran mereka belajar dan membaca sejak kecilnya. Hal inilah yang menjadi salah satu kunci mereka tampil di bidangnya masing-masing dan berkiprah sejak usianya masih belia.
Tak hanya itu, mereka juga melihat realitas di sekitarnya dan melakukan gerakan
dalam rangka memberikan sentuhan perubahan ke arah yang lebih baik bagi
lingkungannya. Dengan begitu, sebetulnya mereka juga berupaya untuk menjadi
manusia terbaik, yakni yang banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya.
Dari birokrat hingga politisi dengan kebijakannya, dari ulama hingga para wali
dengan keilmuan dan doanya, dari aktivis hingga para perintis negeri dengan
pergerakannya, semuanya berjuang tak lain dan tak bukan demi melahirkan manfaat
bagi sesama. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar