Jumat, 28 Agustus 2020

Sindhunata: Memelihara Mutiara Kemerdekaan

Memelihara Mutiara Kemerdekaan

Oleh: Sindhunata

 

Menyambut HUT Kemerdekaan Ke-75 RI, manekin-manekin bermasker memenuhi ruang pameran gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Pada tubuh-tubuh manekin itu, perupa Nasirun menorehkan lukisannya. Di tembok terpasang lukisan Nasirun sepanjang 14 meter.

 

Andai bukan di masa pandemi Covid-19, pasti akan banyak penonton mengunjungi pameran istimewa ini. Namun, kali ini tanpa pengunjung. Sepi. Memang disengaja, dengan kesepian itu kali ini peringatan kemerdekaan hendak diperingati.

 

Di hadapan virus korona yang tak kasatmata, kita, raksasa manusia ini, dibuat tak berdaya. Kita diingatkan, diri kita hanya debu, bisa musnah hanya karena terpaan virus korona yang lebih kecil dari seperseribu debu. Sesungguhnya peringatan ini terjadi pada waktu yang tepat sekali. Kita sedang pongah dengan kemajuan dan kemakmuran kita yang seakan tak mengenal batas, sampai kita tega mengisap alam dan membuatnya total rusak.

 

Kita sedang mengagung-agungkan kebenaran diri kita sendiri, membuat politik menjadi dagang sapi, menjungkirkan demokrasi seolah kita masih hidup dalam sistem dinasti. Kita memegah-megahkan agama kita sendiri-sendiri, sampai lupa bahwa setiap manusia, siapa pun dia, adalah sesama, yang sama haknya di hadapan Yang Ilahi.

 

Dengan kepongahan, pengagung-agungan dan pemegahan diri itu, kemerdekaan Indonesia tercinta kita isi. Itulah yang terjadi dalam dekade terakhir ini. Sering itu tak kita sadari, padahal jika itu kita terus-teruskan, kita hanya akan menghantarkan negeri ini pada kehancuran. Betapa keras kepala kita ini!

 

Bahkan, ketika virus korona sudah di ambang mata, kita masih percaya bahwa kita digdaya dan merasa tak mungkin kita dihampirinya. Sekarang kita dimerdekakan dari kesombongan dan perasaan digdaya itu: virus korona mengembalikan kita pada diri kita yang sesungguhnya, debu yang mudah musnah.

 

Nafsu akan kemajuan dan kemakmuran yang eksploitatif terhadap alam dihentikan. Kesombongan politik dibisukan. Apa artinya kehebatan politik jika ia kehilangan ide dan inisiatif untuk menghadapi dan menolong mereka yang sakit? Kemegahan agama pun layu. Gedung-gedung peribadatan sunyi, khotbah-khotbah suci jadi bualan tak berarti di hadapan umatnya yang mengeluh sedihnya hidup yang sulit untuk mendapat sesuap nasi. Inilah sekarang yang mau tak mau harus kita renungkan, kita prihatini, dan kita tirakati, ketika sedang merayakan kemerdekaan kita yang ke-75.

 

Ternyata dengan cobaan virus korona kita dipaksa memaknai kemerdekaan kita bukan melulu sebagai ”kemerdekaan politik”, melainkan sebagai ”kemerdekaan manusiawi” yang membebaskan kita dari egoisme diri, pembenaran diri, dan pemegah-megahan diri. Kita dihadapkan pada tuntutan bahwa kita akan menjadi manusia merdeka jika kita tidak hidup bagi diri kita sendiri lagi, mau memperhatikan sesama, siapa pun dia, betapapun berbeda agamanya dari kita.

 

Betapapun sehat dan selamatnya diri kita, kita diminta untuk peka terhadap mereka yang lemah dan tua. Bahkan, sehat dalam diri kita pun bisa membawa malapetaka buat mereka yang lemah dan tua jika kita tidak berhati-hati dalam menjaga protokol kesehatan yang telah ditetapkan bersama. Kali ini kemerdekaan menjadi sangat sederhana: kita adalah merdeka jika kita dengan bebas bisa memberikan diri kepada sesama dan bersama-sama menjaga keutuhan hidup berbangsa.

 

Perlu direnungkan, mustahil kita merdeka sebagai bangsa jika kita tak bebas sebagai manusia. Jika tidak berhati-hati, kebebasan pribadi itu sedang kita pertaruhkan karena wabah korona ini. Suka atau tidak suka kita sedang berada dalam krisis karena ancaman korona. Kata penulis Volker Resing, virus itu jelas otoriter. Siapa saja dan struktur apa pun tunduk di bawah ancamannya.

 

Memang, pertama-tama kita harus menjaga kesehatan kita untuk menghadapi virus itu. Namun, jangan lupa, kita juga harus melindungi kebebasan masyarakat, demokrasi, dan citra kemanusiaan kita terhadap ancaman otoriter itu. Alasannya, siapa pun dan struktur apa pun, kini rindu akan otoritas yang bisa melindungi.

 

Di masa normal otoritas itu selalu kita kritik. Di masa krisis seperti kini, kita bisa menyerah pada otoritas dengan mudah dan pasrah asal kita merasa otoritas itu bisa melindungi kita. Maklum, pada dasarnya manusia ingin aman, nyaman, dan selamat. Jika ada otoritas yang bisa menjamin itu semua, ia akan pasrah.

 

Risikonya, penyerahan diri itu bisa berlanjut menjadi kenormalan, juga ketika krisis kesehatan ini sudah berlalu. Tanpa disadari kita diam-diam akan terjerumus ke dalam otoritarianisme baru, justru setelah kita keluar dari otoritarianisme virus korona ini. Maka, sekarang pun kita harus menjaga jangan sampai kita kehilangan kebebasan, juga di tengah kita membutuhkan otoritas kuat sebagai penolong.

 

Kita juga perlu mengakui, sekarang kita sedang dilanda kekhawatiran dan ketakutan. Otoritas apa pun bisa memanfaatkan hal itu, bukan untuk menolong, melainkan untuk membelenggu orang pada doktrin-doktrin otoriter atau harapan-harapan palsu. Tak heran, jika dalam sejarah ketika masa krisis menghebat, bisa muncul gerakan-gerakan mesianistis dan radikalisme yang menjanjikan datangnya keadilan dan penyelamat bagai Ratu Adil. Padahal, di balik janji itu sebenarnya bekerja otoritas yang menuntut ketaatan buta.

 

Atau contoh dalam sejarah modern, bisa terjadi negara habis-habisan mengintervensi kehidupan ekonomi. Alasan negara harus menjadi penolong dan penyelamat ketika rakyat berada dalam masa krisis. Jejak-jejak dan bekas-bekas intervensi itu tak mudah dihilangkan ketika nanti keadaan kembali normal.

 

Maka, jika tidak hati-hati, negara bisa jadi terus ikut berbisnis di masa normal nanti. Padahal, tugasnya semula adalah tugas politik dalam menyelamatkan bangsa. Jika nanti politik berkelindan dengan bisnis, itulah wabah yang akan kita derita walaupun kita sudah ditinggalkan oleh virus korona.

Karena itu, betapapun kita membutuhkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan di masa krisis Covid-19 ini, kita harus selalu berusaha, jangan sampai kehilangan kebebasan. Untuk itu, kita mesti berani ambil risiko, tentu risiko yang tidak berkenaan dengan ancaman kesehatan kita.

 

Jika kita terus takut akan risiko, itu adalah tanda kita kehilangan kebebasan kita. Maka, janganlah karena virus lorona ini ketakutan merenggut kebebasan kita. Kebebasan itulah mutiara kemerdekaan yang harus kita pelihara di tengah krisis pandemi Covid-19 ini. []

 

KOMPAS, 18 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar