Selasa, 11 Agustus 2020

Azyumardi: Eskalasi Politik-Sosial

 

Eskalasi Politik-Sosial

Oleh: Azyumardi Azra

 

“The pandemic’s public health and economic consequences are liable to strain relations between governments and citizens…; preserving public order could prove challenging when…populations become increasingly frustrated with the [unsatisfactory] government response to the disease“, International Crisis Group, ‘Covid-19 and Conflict: Seven Trends to Watch’, Brussels, 24 Maret, 2020)

Sedikitnya ada dua arus eskalasi yang berkembang sejak awal Juli—bulan kelima wabah virus korona baru yang menyebabkan Covid-19—di Indonesia. Kedua eskalasi ini perlu dicermati dan diberikan respons tepat dan cepat oleh para pemimpin negeri ini. Sebab, jika tidak, bukan tidak mungkin Indonesia bisa tergelincir ke dalam kesulitan lebih parah.

 

Arus eskalasi pertama adalah peningkatan jumlah warga yang positif Covid-19: suspek, konfirmasi, dan meninggal. Meski banyak daerah (provinsi, kota/kabupaten) telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berulang kali, wabah Covid-19 bukan kian melandai, sebaliknya semakin meningkat.

 

Melihat eskalasi wabah Covid-19, Indonesia menjadi salah satu negara Asia terparah. Kondisi ekonomi juga memburuk: semakin banyak warga menjadi miskin dan kehilangan pekerjaan. Eskalasi kait berkait ini dapat merobek jalinan tenunan solidaritas warga dan meruntuhkan kohesi sosial bangsa.

 

Pandemi Covid-19 yang terus merajalela juga meningkatkan eskalasi politik. Presiden Joko Widodo kecewa dengan kinerja menteri dan lembaga negara. Dalam waktu kurang dari satu bulan sejak 18 Juni, tiga kali ia menyatakan kemarahan. Gertakan Presiden Jokowi akan merombak kabinet (reshuffle) menimbulkan spekulasi di kalangan menteri, parpol, serta masyarakat luas yang menambah eskalasi politik dan sosial.

 

Arus eskalasi kedua ialah peningkatan suhu politik di lingkungan lebih luas. Jika di hari tertentu tak ada aksi unjuk rasa, tidak berarti eskalasi politik berakhir. Eskalasi politik—terbuka atau laten—bisa menimbulkan kegaduhan sewaktu-waktu. Eskalasi politik-sosial ada yang berbau agama dan ada juga yang terkait ekonomi-sosial.

 

Eskalasi politik-sosial terlihat dengan maraknya unjuk rasa sewaktu-waktu di sejumlah kota. Aksi demo terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga terjadi di ibu kota provinsi dan kabupaten atau kota.

 

Meski unjuk rasa tak terjadi setiap hari, cenderung melibatkan massa semakin besar. Massa pengunjuk rasa ada yang berafiliasi dengan ormas atau kelompok Islam seperti FPI atau ”Alumni 212”. Dengan tema berbeda, sejak Kamis (16/7/2020), unjuk rasa juga mulai dilakukan massa buruh.

 

Penyebab eskalasi politik dan sosial—terbuka atau laten—antara lain, kegagalan pemerintah memahami substansi penolakan dan psikologi politik masyarakat. Kegagalan pemerintah memahami hal itu terlihat ketika tiba-tiba pemerintah malah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, RUU HIP tidak lagi dibahas, tetapi DPR masih memasukkan RUU HIP dalam daftar 37 RUU Prolegnas Prioritas 2020.

 

Massa Muslim pengunjuk rasa memprotes RUU HIP yang kontroversial. Penundaan pembahasan RUU HIP oleh pemerintah—bukan menghapus pembahasan—meningkatkan dan kemudian mengendapkan tensi politik di kalangan warga, kelompok, dan ormas. Penolakan juga muncul di RUU BPIP.

 

Ada kekhawatiran, jika RUU BPIP diterima sebagai undang-undang, menjadikan BPIP semacam Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) pada masa Orde Baru. Sangat berkuasa, BP7 memonopoli pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan secara rejimentatif pada berbagai kelompok dan lapisan warga.

 

Bahkan, sebelum wabah Covid-19 merajalela, Kongres Umat Islam Indonesia VII di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, pada 26-29 Februari 2020, merekomendasikan pembubaran BPIP kepada pemerintah. Alasannya Pancasila sudah final, penafsiran Pancasila dari BPIP tidak diperlukan.

 

Sementara itu, massa buruh juga meningkatkan eskalasi politik. Mereka menolak RUU Cipta Kerja (RUU Omnibus Law). Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa setelah kegagalan dialog dengan pemerintah mengenai RUU Cipta Kerja. Organisasi dan serikat buruh menilai RUU itu lebih memihak investor dan pengusaha; buruh kehilangan banyak haknya.

 

Unjuk rasa pecah lagi pada Selasa (21/7). Asosiasi karyawan tempat hiburan Jakarta berunjuk rasa menuntut pembukaan kembali tempat hiburan. Massa karyawan yang lebih dari empat bulan menganggur menyatakan bakal demo lagi dengan massa lebih besar jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

 

Akibatnya, eskalasi politik dan sosial boleh jadi kian menambah eskalasi pandemi Covid-19. Dengan eskalasi berganda—pandemi, politik-sosial dan ekonomi—bisa dibayangkan kesulitan pemerintah menanganinya.

 

Maraknya unjuk rasa dengan massa yang kebanyakan tidak mematuhi protokol kesehatan sangat potensial memunculkan kluster-kluster baru penyebaran wabah Covid-19. Massa yang berkerumun dalam jumlah besar dan tidak memakai masker jelas sangat rawan terinfeksi Covid-19.

 

Akibatnya, eskalasi politik dan sosial boleh jadi kian menambah eskalasi pandemi Covid-19. Dengan eskalasi berganda—pandemi, politik-sosial dan ekonomi—bisa dibayangkan kesulitan pemerintah menanganinya.

 

Seperti diingatkan ICG Brussels yang dikutip di awal, kesulitan politik-sosial dapat terjadi ketika kian banyak warga tak puas pada pemerintah atas penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya. Ketidakpuasan warga ini berganda dengan eskalasi massa unjuk rasa dan warga yang kian frustrasi. Eskalasi dapat mengarah pada keruntuhan tata hukum dan keteraturan sosial; dampaknya bisa katastropik.

 

Mengantisipasi dinamika eskalasi yang semakin tidak kondusif, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

 

Presiden Jokowi sepatutnya bersama DPR menghentikan pembahasan RUU-RUU kontroversial yang terbukti meningkatkan eskalasi politik seperti RUU HIP atau kini diganti RUU BPIP dan RUU Cipta Kerja. Tetap melakukan pembahasan di tengah pandemi Covid-19 dan di masa pascawabah Covid-19 nanti memperlihatkan ketidaksensitifan pemerintah dan DPR.

 

Selanjutnya Presiden Jokowi patut mengonsolidasikan kabinetnya. Jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-11 Juli 2020 yang melibatkan 587 responden di 23 provinsi menemukan 87,8 persen responden tidak puas dengan kinerja menteri dalam menangani pandemi Covid-19. Hanya 9 persen responden yang menyatakan puas. Ketidakpuasan ini laten menjadi sumber eskalasi politik-sosial.

 

Oleh karena itu, kian cepat Presiden Jokowi melakukan konsolidasi pemerintahan, termasuk reshuffle, semakin baik bagi negara-bangsa. Konsolidasi pemerintahan agaknya satu-satunya cara untuk mengatasi ketiadaan sense of crisis dan perasaan ”lagi cuti” work from home sejumlah menterinya. []

 

KOMPAS, 23 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar