Pemerintah Salah Resep, Konstraksi Ekonomi Kita Lebih Buruk dari Prediksi
Oleh: Fadli Zon
PEMERINTAH terbukti lamban
dan salah resep dalam mengantisipasi terjadinya krisis, baik terkait pandemi
maupun eksesnya bagi perekonomian nasional. BPS (Badan Pusat Statistik) sudah
mengumumkan bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) kita pada kuartal II (Q2) kemarin
minus sebesar 5,32%. Angka ini jauh lebih buruk daripada ekspektasi Pemerintah
yang sebelumnya memperkirakan hanya akan minus 4,3 hingga 4,8% saja, dengan
angka batas bawah minus 5,1%. Nyatanya, perekonomian kita merosot lebih buruk
dari itu. Ini adalah peringatan agar kita waspada terhadap narasi optimis yang
selalu didengungkan pemerintah.
Memang, di tengah pandemi Covid-19 resesi adalah
sesuatu yang tak terhindarkan. Semua negara akan mengalaminya. Hanya soal waktu
saja. Namun, di tengah keniscayaan itu, pemerintah kita seharusnya bisa
mengantisipasi agar kerusakan yang paling buruk tidak terjadi. Dan inilah
sepertinya yang gagal diperlihatkan dalam beberapa bulan terakhir.
Meski di atas kertas yang disebut resesi adalah
ketika pertumbuhan ekonomi dilaporkan minus dua kuartal berturut-turut atau
lebih, namun secara de facto saya kira kita saat ini sudah berada di tengah
resesi. Hanya soal waktu saja BPS nanti akan mengumumkan bahwa kuartal III-2020
juga ekonomi kita akan kembali minus. Sebab, sepanjang satu semester kemarin,
pemerintah sudah gagal menetapkan prioritas pekerjaan.
Sejak awal pemerintah memang gagal menetapkan
prioritas. Saat kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia,
awal Maret lalu, dengan alasan ekonomi pemerintah menolak melakukan karantina
wilayah. Padahal, perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi
pandemi. Ujungnya, per hari ini pemerintah bisa dikatakan tak berhasil
menangani keduanya. Kita saat ini menghadapi tekanan besar dari dua jurusan
sekaligus, yaitu pandemi dan resesi ekonomi.
Dari sisi pandemi, data menunjukkan penanggulangan
Covid-19 di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia. Kemampuan kita dalam
melakukan tes, misalnya, hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria. Sebagai
negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, kita sejauh ini baru mampu
melakukan 36 tes per satu juta penduduk. Angka ini hanya lebih baik dari
Ethiopia dan Nigeria, yang masing-masing hanya bisa melakukan 28 dan 24 tes per
satu juta penduduk. Bahkan, dalam hal indeks kematian tenaga medis, posisi
Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Jika penanganan Covid-19 masih
berlangsung seperti sekarang, maka kita terancam bakal mengalami pandemi
berkepanjangan.
Sementara, dari sisi ekonomi, pemerintah juga telah
gagal memperkecil kontraksi ekonomi. Padahal, anggaran Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) kita mencapai Rp695,2 triliun. Lambatnya penyerapan anggaran dan
penyaluran bantuan untuk masyarakat ini merupakan biang keladi kenapa tingkat
kontraksi ekonomi kita lebih buruk dari yang diprediksikan. Padahal, bantuan
untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberikan dorongan
signifikan bagi perekonomian.
Dalam enam bulan terakhir, kesempatan untuk mendorong
perekonomian melalui berbagai stimulus tadi telah disia-siakan. Tak usah
jauh-jauh bicara anggaran kesehatan yang per minggu ini serapannya baru 7,19%
dari total anggaran Rp87,55 triliun, atau realisasi program bantuan UMKM yang
baru mencapai 25,26% dari total anggaran Rp123,47 triliun. Kita bicara mengenai
gaji ketiga belas untuk para pegawai negeri saja.
Anggaran gaji ketiga belas ini kan sebenarnya hampir
bersifat rutin. Namun, dalam satu semester terakhir anggaran ini dibuat
seolah-olah mengambang oleh pemerintah. Ada dan tiadanya jadi tak jelas.
Menurut saya, kebijakan tarik-ulur semacam ini telah memperburuk kontraksi
ekonomi kuartal kemarin. Jangan lupa, anggaran semacam ini punya efek pengganda
ekonomi yang signifikan.
Anggaran ini seharusnya sudah dicairkan sesudah Idul
Fitri kemarin, di bulan Juni atau paling lambat Juli. Namun, hingga lewat Idul
Adha, anggaran ini masih juga belum dicairkan. Kalau saja anggaran ini
dicairkan sesuai jadual, kita mungkin bisa sedikit menahan besaran kontraksi.
Artinya, pada kuartal kemarin pemerintah sudah gagal menjalankan fungsinya menahan agar kontraksi ekonomi ini tak terlalu besar. Pemerintah justru menjadi kontributor bagi pertumbuhan ekonomi negatif, karena lamban dalam penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan. Pertumbuhan belanja pemerintah kemarin minus hingga 6,9%. Padahal di mana-mana Presiden gembar-gembor bikin stimulus.
Merujuk data BPS kemarin, kontraksi sebesar 5,32%
memang harus disikapi waspada. Sebab, penurunan sebesar itu merupakan yang
pertama terjadi sesudah kuartal I 1999. Saat itu, ekonomi Indonesia tercatat
minus 6,13%. Menurut BPS, hanya ada tiga sektor yang tumbuh positif pada
kuartal kemarin, yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan
air. Sektor lainnya mengalami kontraksi.
Menghadapi ancaman resesi ini, menurut saya
pemerintah seharusnya melakukan terobosan. Resep lama sudah terbukti tak bisa
menyelamatkan kita dari ancaman resesi.
Dalam jangka pendek, ada dua hal yang saya kira harus
segera diperhatikan pemerintah.
Pertama, anggaran stimulus ekonomi sebaiknya difokuskan pada dua
isu, yaitu menumbuhkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Dua
hal ini akan mendorong ekonomi rakyat terus bergerak. Pemerintah juga harus
memperhatikan penyaluran bantuan sebaiknya dilakukan dalam bentuk tunai, bukan
dalam bentuk barang. Tujuannya adalah agar terjadi transaksi ekonomi di tengah
masyarakat, sehingga perekonomian terus bergerak.
Kedua, dari sisi sektoral, anggaran stimulus sebaiknya
diprioritaskan di sektor pangan dan pertanian. Di tengah pandemi, pangan dan
pertanian merupakan isu sektoral yang vital. Kita sama-sama bisa melihat,
meskipun sektor lainnya mengalami kontraksi, dari data BPS kemarin sektor
pertanian justru tumbuh positif 16%. Jadi, ini adalah sektor yang punya daya
tahan.
Kontribusi sektor ini bagi PDB memang “kecil”,
sekitar 13%, dan cenderung terus menurun tiap tahun. Namun, pertanian merupakan
sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 35% angkatan kerja
kita diserap sektor ini.
Di tengah pandemi, saat isu pengangguran, pemutusan
hubungan kerja, dan kemiskinan kian mengancam, sektor-sektor yang bisa menyerap
angkatan kerja seharusnya makin diperhatikan pemerintah. Sektor pertanian bisa
jadi pendorong di saat krisis. Apalagi, sektor pertanian yang kokoh merupakan
prasyarat penting bagi industrialisasi. Industrialisasi di Eropa, Jepang, atau
Korea Selatan, misalnya, bisa terjadi karena ditopang oleh sektor pertanian
yang kuat.
Sekali lagi, pemerintah seharusnya tak lagi bermimpi
akan mencapai hasil berbeda melalui resep yang sama. Sekarang saatnya ganti
resep dan ganti koki khususnya di bidang ekonomi dan kesehatan. Jika koki di
dapur kabinet tak bisa membuat resep lain, tentu hasilnya tak akan sesuai
harapan. Jangan sampai kemarahan Presiden berkali-kali jadi sia-sia, dan rakyat
yang menjadi korban. []
KORAN SINDO, 07 Agustus 2020
Fadli Zon | Anggota DPR RI, Alumnus Studi Pembangunan LSE (London School of Economics, Inggris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar