Suami Mengancam Cerai Istri, Apakah Jatuh Talak?
Sebelum berbicara jauh tentang ancaman talak atau cerai tentu harus dilihat terlebih dahulu bagaimana hakikat ancaman itu sendiri. Setelah itu, baru dilihat apakah ancaman talak dapat menjatuhkan talak atau tidak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2019), kata mengancam berarti (1) menyatakan maksud, niat, atau rencana untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, membahayakan, mencelakakan pihak lain; (2) memberi pertanda atau peringatan mengenai kemungkinan malapetaka yang bakal terjadi.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa mengancam adalah menyampaikan sesuatu yang akan merugikan pihak lain, baik disyaratkan dengan terjadinya sebuah peristiwa maupun tidak. Namun yang jelas sesuatu yang diancamkan belum dilakukan. Mungkin jadi dilakukan, mungkin juga tidak, tergantung pihak yang mengancam dan perkara yang disyaratkan. Boleh jadi, bila sekadar menakut-nakuti, ancaman itu tidak diwujudkan walau sesuatu yang disyaratkan telah terjadi. Berbeda halnya jika ancaman itu sebagai puncak kemarahan. Ancaman itu benar-benar dilakukan oleh si pengancam jika perkara yang disyaratkan telah terjadi. Dengan kata lain, ancaman hakikatnya adalah menyampaikan sesuatu yang akan dilakukan: mungkin jadi dilakukan, mungkin juga tidak.
Karena itu, ancaman tanpa syarat seperti ungkapan, “Saya tampar kamu!” bisa diartikan, “Akan saya tampar kamu!” Sedangkan aktivitas menamparnya belum dilakukan. Mungkin dilakukan, mungkin juga tidak. Begitu pula ancaman yang dipersyaratkan, “Kalau kamu pulang malam lagi, saya tampar kamu!” juga dapat diartikan “Kalau kamu pulang malam lagi, akan saya tampar kamu!”
Bila tujuan si pengancam mengatakan itu adalah menakuti-nakuti pihak yang diancam agar tidak pulang malam lagi, biasanya ia tidak jadi menamparnya walau si terancam pulang malam. Berbeda jika ia mengatakan itu sebagai puncak kekesalannya, tentu ia benar-benar menamparnya jika si terancam pulang malam. Walhasil, terwujudnya atau tidaknya ancaman, kembali kepada si pengancam.
Pertanyaannya, bagaimana dengan ungkapan seorang suami kepada istrinya, “Jika kamu memasukkan laki-laki itu lagi ke rumah, saya cerai kamu!” Apakah ia dapat menjatuhkan talak? Jawabannya, jika itu sebagai ancaman, tentu saja tidak jatuh. Sama halnya, orang yang mengancam akan menampar tadi. Orang yang diancam tidak otomatis tertampar hanya karena si pengancam mengatakan itu. Sebab, ancaman talak di atas dapat diartikan, “Jika kamu memasukkan laki-laki itu lagi ke rumah, akan saya cerai kamu!” Terlebih jika tujuan ancaman itu sekadar menakut-nakuti dan tak bermaksud menjatuhkan talak, si suami tidak jadi menceraikan walau si istri benar memasukkan laki-laki itu lagi ke rumah. Dikecualikan jika ungkapan itu sebagai puncak kemarahan, ia benar mencerainya setelah diketahui istrinya melakukan hal tersebut. Namun, talaknya tetap harus diucapkan lagi, karena yang tadi hanya sekadar ancaman.
Walhasil, ancaman adalah satu ungkapan yang mengacu kepada perbuatan yang dilakukan di masa mendatang, sehingga dapat disisipi kata akan. Dalam bahasa Arab, kata kerja yang bisa disisipi kata akan salah satunya adalah fiil mudhari (dalam bahasa inggris: present continuous atau present future tense, red). Sementara ungkapan talak dengan fiil mudhari tidak dianggap jatuh, sebagaimana petikan berikut.
ألفاظ صريحة: وهي الألفاظ الموضوعة له، التي لا تحتمل غيره، وهي لفظ الطلاق وما تصرَّف منه، من فعل ماض، مثل: طلَّقتك، أو اسم فاعل، مثل: أنت طالق، أو اسم مفعول، مثل: أنت مطلقة. فهذه الألفاظ تدل على إيقاع الطلاق، دون الفعل المضارع أو الأمر، مثل: تطلقين واطلقي.
Artinya: “Ungkapan-ungkapan sharih (tegas) adalah ungkapan-ungkapan yang dibuat untuk tujuan menjatuhkan talak, di mana ia tidak memiliki makna selain makna talak. Ungkapan sharih adalah ungkapan yang mengandung kata talak itu sendiri, fi‘il madhi yang diderivasi dari kata itu, seperti ungkapan thallaqtuki (Saya [telah] menalak/menceraikan kamu); isim fiil bermakna maf‘ul, seperti anti thaliq (Kamu [telah] tertalak); atau ism maf‘ul, seperti anti muthallaqah (Kamu [telah] ditalak). Semua ungkapan itu menunjukkan jatuhnya talak. Namun dikecualikan kata talak dalam bentuk fi’il mudhari seperti tathluqin (Engkau akan tertalak), dan fiil amr seperti Uthluqi (Talaklah engkau!)" (Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa al-Sunnah, [Madinah: Majma Malik Fahd], 1424, jilid 1, hal. 313).
Bahkan, ancaman yang benar-benar diwujudkan pun dinyatakan dengan fiil mudhari. Contohnya ancaman Qabil kepada membunuh Habil.
قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Qabil berkata, 'Aku benar-benar akan membunuhmu!' Habil menjawab, 'Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) orang-orang yang bertakwa',” (QS al-Mai’dah [5]: 27).
Ini artinya ancaman tidak sampai menjatuhkan talak. Sebab, ancaman mengandung makna mustaqbal (masa mendatang) yang biasa diungkapkan dengan fiil mudhari. Sedangkan fiil mudhari bukan redaksi menjatuhkan talak.
Sekilas, ungkapan “Aku cerai kamu!” atau “Jika kamu memasukkan laki-laki itu lagi ke rumah, saya cerai kamu!” seperti ungkapan sharih. Sedangkan ungkapan sharih dihukumi jatuh walaupun tidak disertai niat. Namun, akibat perbedaan sistem bahasa Arab dan sistem bahasa Indonesia, keduanya terlihat sama. Padahal, jika maksudnya sebagai ancaman, mestinya berbunyi, “Akan kucerai kamu!” sebagaimana ancaman dalam bahasa Arab yang diungkapkan dengan fiil mudhari. Sayangnya, dalam bahasa lisan, kata akan seringkali dilesapkan.
Kemudian, jika ingin dianggap ungkapan sharih, ungkapan itu harus berbunyi, “Aku [telah] menceraikanmu.” Namun, dalam bahasa lisan, kata telah seringkali dilesapkan, dan kata menceraikan disingkat menjadi ceraikan. Sehingga tak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa ungkapan yang ini seperti ungkapan kinayah yang talaknya tidak jatuh bila tanpa niat, karena mengandung beberapa kemungkinan makna.
Karenanya, jika ungkapan itu ingin menjadi ungkapan sharih, harusnya berbunyi, “Aku menjatuhkan talak kepadamu bila kamu memasukkan laki-laki itu lagi ke rumah,” tanda bernada ancaman atau pertanyaan. Sulitnya, bahasa lisan itu bisa ditarik kepada makna lain sesuai dengan intonasinya. Contohnya, “Jika kamu begitu lagi, saya cerai kamu!” (diakhiri tanda seru sebagai tanda ancaman). Atau, “Jika kamu begitu lagi, saya cerai kamu.” (diakhiri tanda titik, sehingga mirip ungkapan sharih, “Saya menceraikanmu.”). Atau, “Jika kamu begitu lagi, saya cerai kamu?” (diakhiri tanda tanya, sehingga tak menjatuhkan talak).
Tapi, tak sedikit pula orang yang menganggap bahwa ungkapan “Jika kamu begitu lagi, saya cerai kamu!” ini sebagai ungkapan talak ta’liq sharih, yakni talak yang dipersyaratkan atau digantungkan jatuhnya pada perkara lain. Hal ini tak lain disebabkan oleh kemiripan di atas, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Namun inilah pendapat yang dapat kita pilih saat ini di tengah banyaknya orang yang dengan mudahnya mengumbar ancaman talak. Sebab, jika ancaman talak dianggap menjatuhkan talak, berapa banyak orang yang jatuh talaknya. Padahal, kebanyakan dari mereka sesungguhnya sekadar menyimpan motif mengancam alias menakut-nakuti, bukan benar-benar berencana untuk bercerai.
Hanya saja sebagai bentuk kehati-hatian, agar keluar dari pendapat orang yang mengatakan ungkapan “Saya cerai kamu!” ini sebagai ungkapan sharih, maka sebaiknya para suami lebih arif dan bijak dalam melontarkan kata-kata talak atau cerai. Sebab, dalam urusan nikah, talak, dan rujuk, bercanda atau sendau gurau pun dianggap seriaus (HR Ibnu Majah).
Begitu pula jatuhnya talak orang yang sedang marah:
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
Artinya, “Para ulama sepakat akan jatuhnya talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat kemarahannya” (Syekh Zainuddin al-Maibari, Fathul Mu‘in, (Terbitan: Daru Ihya al-Kutub, hal. 112).
Adapun dalil ancaman talak tidak sampai menjatuhkan talak adalah ayat-ayat Al-Qur’an tentang ancaman Allah. Dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, Allah tidak wajib menjatuhkan perkara yang diancamkan-Nya. Dan itu bukan sebuah cacat, bukan pula sebuah kebohongan bagi-Nya manakala Dia tidak mewujudkan ancaman-Nya.
Berbeda halnya dengan janji. Allah pasti memenuhi janji-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji,” (QS Ali ‘Imran [3]: 9); “(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS al-Rum [30]: 6).
Artinya, Dia akan memberi kebaikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, Dia akan memberikan balasan surga kepada orang-orang mukmin, sesuai dengan janji yang telah disampaikan melalui lisan nabi atau kitab-Nya. Karena itu, kita tidak boleh beranggapan bahwa Allah akan menyalahi janji.
Hal itu tidak pula bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan, Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku, (QS Qaf [50]: 29).
Ayat di atas memberikan kesimpulan bahwa yang dilarang adalah mengubah keputusan tentang ancaman bagi orang-orang kafir atau tentang orang-orang yang dikehendaki Allah tidak mendapat ampunan. (Lihat: Dr. ‘Ali Jumu‘ah, ‘Aqidah Ahl al-Sunnah [Kairo Darul Maqtham], 2011, cet. kelima, hal. 31). []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar