Tidak Mudah Membangun Indonesia (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Mimpi-mimpi para pendiri bangsa dan negara setelah hampir 75 tahun merdeka untuk melihat sebuah Indonesia yang adil dan makmur ternyata masih sangat jauh dari kenyataan. Apakah pada saat 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, seperempat abad lagi, semua mimpi itu akan mendekati harapan, tentu tidak mudah menjawabnya. Tetapi ada sesuatu yang patut disyukuri karena bangsa dan negara kepulauan ini masih bisa bertahan dengan segala dinamikanya, sekalipun pernah diancam perpecahan dalam berbagai periode sejarah modern Indonesia.
Kendala untuk membangun Indonesia berjibun: faktor manusia, faktor kultural, dan faktor geopolitik. Bangsa ini belum pernah berhasil memiliki kepemimpinan nasional yang padu dan kompak dalam arti yang mendekati ideal, bahkan fenomenanya sudah terlihat sejak sebelum kita merdeka. Bahwa mereka itu adalah patriot dan nasionalis tulen yang mencintai bangsa ini dengan kadar yang dalam, tentu sulit untuk dibantah.
Karena cinta yang dalam terhadap bangsa yang baru inilah, pada 1920-an semangat kedaerahan yang semula demikian kental berangsur melemah untuk kemudian melebur menjadi kesadaran yang tinggi dalam wujud kesadaran kebangsaan Indonesia. Proses pembentukan bangsa ini panjang dan berliku. Melalui jendela sejarah nasional dan sejarah daerah, orang akan bisa membaca betapa dinamika kebangsaan itu berjalan.
Untuk menyegarkan ingatan kolektif kita, saya rekamkan selintas corak hubungan antarelite bangsa pada periode yang lebih awal. Kita semua tahu kerja sama antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah berjalan relatif mulus antara tahun 1945-1956. Tetapi sesudah tahun itu perbedaan watak dan pandangan politik antara keduanya semakin sulit disinergikan, sekalipun telah diupayakan beberapa kali. Semuanya gagal, sekalipun hubungan pribadi keduanya tidak pernah putus.
Perbedaan pandangan itu mengkristal pada dua isu utama: masalah demokrasi dan masalah komunisme. Dengan diciptakannya sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) oleh Bung Karno, Bung Hatta menilai telah terjadi penyimpangan yang jauh dari cita-cita demokrasi yang dulu dibayangkan oleh para pendiri bangsa. Kemudian, dalam menghadapi komunisme yang diwakili oleh PKI, antara Bung Karno dan Bung Hatta terdapat perbedaan sikap seperti siang dengan malam. Bung Karno, dengan dalih demi persatuan nasional, PKI harus dirangkul dan dijinakkan.
Bung Hatta berpendapat sebaliknya. PKI tidak dapat dipercaya, apalagi partai ini punya ideologi internasionalisme sebagai bagian dari komunisme internasional. Benturan dua pandangan prolamator ini sampai mereka wafat tidak pernah dapat diakurkan. Perbedaan itu sama-sama mereka bawa ke akhirat.
Sebenarnya bukan hanya perbedaan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Antara Tan Malaka dan Sutan Sjahrir, keduanya dari sub-kultur Minangkabau, juga pernah konflik. Sjahrir bahkan pernah ditangkap tahun 1946. Di belakangnya ada kelompok Tan Malaka. Tetapi kemudian kedua tokoh nasional ini mengalami nasib tragis di akhir hayatnya masing-masing. Tan Malaka dengan alasan yang tidak jelas malah dibunuh tentara di Jawa Timur pada 19 Febrauri 1949. Nasib Sjahrir juga tidak kurang dramatisnya. Dia ditahan selama beberapa tahun pada 1960-an, dan wafat di Switzerland dalam rangka berobat pada 9 April 1966.
Sebenarnya saya tidak begitu enak membuka kembali luka-luka lama ini, tetapi demi sejarah, harus tidak boleh dilupakan, sekalipun mesti dimaafkan untuk jadi pelajaran berharga bagi generasi berikutnya agar lebih arif dan lapang dada dalam mengurus bangsa dan negara ini. Berbeda dengan Tan Malaka dan Sjahrir, Bung Hatta bernasib lebih baik, tidak pernah diperlakukan seburuk itu. Bung Hatta wafat pada 14 Maret 1980 dalam usia 78 tahun. Bung Karno telah lebih dulu wafat pada 21 Juni 1970 dalam usia 69 tahun. []
REPUBLIKA, 21 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar