Kamis, 27 Agustus 2020

Satrawi: Timur Tengah Pascaledakan Beirut

Timur Tengah Pascaledakan Beirut

Oleh: Hasibullah Satrawi


LEDAKAN superdahsyat yang terjadi di Beirut, Libanon (4/08/2020) masih menjadi pembahasan masyarakat dunia. Tidak hanya karena besarnya ledakan yang terjadi, lebih daripada itu juga karena terjadinya krisis multidimensi yang terjadi di Libanon, wilayah sekitarnya bahkan wilayah Timur Tengah secara umum. Semua krisis yang terjadi akan berdampak langsung terhadap proses pengusutan ledakan yang terjadi, termasuk hasil yang akan diumumkan nantinya.

 

Dalam beberapa waktu terakhir, para elite Libanon acap terpecah dalam menentukan proses pengusutan ledakan yang terjadi. Sebagian pihak menginginkan agar pemerintah Libanon meminta PBB untuk membentuk tim khusus untuk menyelidiki dan mengungkap ledakan yang terjadi.

 

Adapun sebagian lain justru menginginkan kasus ini ditangani sistem hukum yang berlaku di Libanon. Melibatkan pihak luar dalam pengusutan kasus ini sama dengan menihilkan Libanon sebagai sebuah negara yang berdaulat. Demikian kurang lebih salah satu argumen yang disampaikan pendukung opsi kedua yang notabene dari kalangan pemerintah negeri yang dikenal sebagai ‘Swiss’-nya Timur Tengah itu.


Krisis dalam krisis

 

Pro-kontra terkait upaya pengungkapan ledakan sebagaimana di atas menunjukkan bahwa ledakan yang terjadi lebih daripada sekadar krisis keamanan. Ledakan itu mencerminkan adanya krisis di dalam krisis. Dikatakan demikian, karena jauh hari sebelum terjadi ledakan, pelbagai macam krisis telah melanda negara kecil yang dikenal sangat memesona itu. Bahkan krisis yang tak kalah serius juga telah terjadi di negara-negara sekitar Libanon dan beberapa negara di Timur Tengah secara umum.

 

Sebagaimana dimaklumi, dalam beberapa bulan terakhir, Libanon acap dilanda aksi demonstrasi yang dilakukan para pemuda negeri itu. Pada umumnya, para demonstran menyampaikan ketidakpercayaannya kepada otoritas setempat karena dianggap gagal menjalankan pemerintahan yang bersih dan bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 

Ekonomi Libanon dalam beberapa bulan terakhir terus melemah yang ditandai dengan melambungnya harga-harga. Bahkan sebelum terjadinya ledakan, pemerintah Libanon menegaskan ketidakmampuannya untuk membayar utang-utangnya (7/3).

 

Ketika Presiden Perancis, Emmanuel Macron, berkunjung ke Libanon untuk melihat lokasi ledakan (6/8), sebagian pihak menyuarakan agar tidak memberikan bantuan uang kepada pemerintah. Hal itu cukup menjelaskan sejauh mana ketidakpercayaan sebagian masyarakat Libanon terhadap pemerintah yang berkuasa di sana.

 

Sementara secara politik, Libanon masih mengalami kerentanan yang sangat akut. Tak hanya karena dahulu negeri itu dilanda perang saudara dalam waktu yang cukup lama (1975-1990). Lebih daripada itu, karena kuatnya politik golongan di negeri tersebut, baik golongan dalam arti agama maupun aliran atau sekte. Kekuatan politik golongan yang ada tak jarang membajak kepentingan dan ketentuan nasional yang ada.

 

Hal yang tak kalah sensitif, Libanon berbatasan langsung dengan Israel yang notabene menjadi musuh bagi sebagian besar masyarakat dan negara di Timur Tengah. Beberapa hari sebelum terjadinya ledakan, Israel sempat memanaskan mesin perangnya karena terjadinya eskalasi keamanan di perbatasan negeri itu dengan Suriah. Hingga akhirnya Israel menyerang Ibu Kota Suriah, Damaskus.

 

Memanasnya hubungan antara Israel dan Suriah tidak bisa hanya dibaca sebagai krisis antara kedua negara. Mengingat, Suriah selama ini menjadi salah satu poros perlawanan (mihwar al-muqawamah) terhadap Israel yang salah satunya didukung kuat oleh Hizbullah di Libanon. Inilah yang penulis maksud dengan istilah krisis yang terjadi di sekitar Libanon.

 

Belakangan para pihak yang berseteru di atas acap memberikan tuduhan tak langsung kepada musuh masing-masing sebagai pihak yang terlibat dengan ledakan di Beirut. Disebut sebagai tuduhan tak langsung karena tuduhan yang ada tidak secara eksplisit disampaikan para pihak di atas (justru disampaikan melalui pihak-pihak yang tak teridentifi kasi seperti akun media sosial). Sebaliknya, para pihak di atas secara resmi menyampaikan ketidakterlibatannya dengan ledakan yang terjadi.


Timteng rawan

 

Secara lebih luas, krisis dan kerawanan kurang lebih sama sebenarnya juga terjadi di sebagian besar negara Timur Tengah saat ini, baik krisis ekonomi, krisis keamanan, dan juga krisis kepercayaan dari masyarakat kepada otoritas yang berkuasa. Dalam hemat penulis, salah satu faktor utama di balik terjadinya krisis multidimensi di Timur Tengah belakangan ialah Arab Spring yang gagal.

 

Dikatakan demikian, walaupun sudah gagal di tengah jalan, karena Arab Spring sudah terlanjur menggelinding dan memutus ‘urat nadi ketakutan’ masyarakat terhadap otoritas yang berkuasa. Adapun negara- negara yang dilanda Arab Spring seperti Mesir, Libia, Yaman, dan yang lainnya gagal membuktikan terkait dengan terbentuknya pemerintahan yang bersih, demokratis, dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya.

 

Dengan kata lain, terjangan Arab Spring telah berhasil merobohkan tatanan banyak pemerintahan di Timur Tengah, minimal dalam imajinasi masyarakat setempat. Sementara pada waktu yang bersamaan, bayangan mengenai negara yang ideal tidak berhasil ditegakkan Arab Spring. Akibatnya adalah, Timur Tengah pasca-Arab Spring acap menjadi kesewenang-wenangan secara berlipat-lipat (dari sisi pemerintah) daripada sebelum Arab Spring. Bahkan, belakangan Timur Tengah dilanda tren politik intervensi dari satu negara terhadap negara lain.

 

Apa yang saat ini terjadi di Libia dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari tren politik intervensi dari satu negara terhadap negara lain di Timur Tengah. Beberapa negara di Timur Tengah seperti Turki, Uni Emirat Arab, dan Mesir kerap intervensi dalam konflik internal yang terjadi di Libia. Tren politik kurang lebih sama sebelumnya terjadi dalam perang saudara yang terjadi di Yaman, dengan negara-negara yang berada di bawah koalisi Arab Saudi secara terang-terangan melibatkan diri dalam perang yang terjadi di Yaman.

 

Kembali ke persoalan ledakan di Beirut, pada akhirnya ledakan dahsyat itu bersama sejumlah persoalan lain yang mendahului, mengiringi, atau menyertainya adalah cerminan dari persoalan yang kurang lebih sama di banyak negara Timur Tengah saat ini. Yaitu cerminan dari masalah keamanan yang sangat rentan, masalah ekonomi, masalah pemerintahan yang tak lagi dipercaya oleh rakyatnya, dan juga hubungan antarnegara yang rawan saling mengintervensi.

 

Ledakan superdahsyat itu saat ini terjadi di Ibu Kota Libanon, Beirut. Tapi kalau tidak ada perbaikanperbaikan signifikan yang dilakukan pemerintah, bukan tidak mungkin ledakan yang lain juga terjadi di negara lain di Timur Tengah. Semoga tak ada lagi ledakan-ledakan yang lain. Walau bagaimana pun, rakyatlah yang akan semakin dirugikan dengan terjadinya sebuah ledakan, khususnya para korban bersama keluarganya. []

 

MEDIA INDONESIA, 11 Agustus 2020

Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar