Etika Pemilik Utang dalam Islam
Perjalanan kehidupan tidak selalu mulus dengan finansial yang serbakecukupan.
Dalam kondisi terdesak, terkadang seseorang memilih cara berutang sebagai
solusi. Terdapat banyak anjuran baik dari ayat Al-Qur’an maupun hadits yang
menjelaskan tentang keutamaan orang memberi utang karena merupakan bagian dari
menolong orang lain. Bahkan, menagih utang pun ada etika dan aturannya.
Lantas bagaimana dengan orang yang berutang? Pernahkah kita jumpai orang yang berutang bersikap lebih galak dari pemberi utang saat ditagih karena jatuh tempo? Berikut ini adalah beberapa etika yang perlu diperhatikan bagi orang yang berutang.
Pertama, saat hendak berutang, seseorang perlu mempunyai niat yang kuat untuk bisa membayarnya kelak saat jatuh tempo. Hal ini sesuai hadits dari Hurairah:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya” (HR Bukhari: 2387).
Kedua, dalam menjalankan transaksi utang-piutang dengan nominal yang cukup banyak, sebaiknya menghadirkan saksi atau ditulis dengan tandatangan kedua belah pihak supaya jika ada perselisihan antarkedua pihak bisa ditengahi oleh saksi atau tulisan tersebut—walaupun secara normatif dalam masalah ini kedudukan saksi atau tulisan hukumnya tidak sampai wajib menurut kacamata syari’at. Menurut riwayat Ibnu Abbas sebagaimana dikutip banyak ulama, bahwa ayat 282 Surat al-Baqarah tidak menjelaskan tentang kewajiban menuliskan transaksi utang piutang, namun menjelaskan perihal diperbolehkannya akad pesan (salam).
Penyataan Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip oleh As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzab lengkapnya sebagaimana berikut:
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل قد أحله الله في كتابه وأذن فيه فقال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ
Artinya: “Saya bersaksi, sesungguhnya akad salam titanggung sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan dan dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, kemudian Allah Ta’ala berfirman ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya’.” (Ibrahim As-Syirazi, Al-Muhadzab, [DKI], juz 2, hal. 71).
Ketiga, apabila sudah sampai pada waktu jatuh tempo dan mempunyai harta di luar persediaan makanan pokok dia dan keluarganya, utang harus dibayarkan sesuai prinsip dari Nabi bahwa menunda utang bagi orang yang mampu, merupakan sebuah kezaliman.
مِنْ آثَارِ الاِسْتِدَانَةِ وُجُوبُ الْوَفَاءِ عَلَى الْمُسْتَدِينِ عِنْدَ حُلُول الأَجَل، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ} وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَطْل الْغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخاري).
Artinya: “Efek dari hutang piutang, bagi orang yang berutang wajib membayarnya apabila sudah jatuh tempo karena sesuai dengan firman Allah ‘memberikannya dengan baik’ dan berdasar hadits Nabi ﷺ ‘penundaan membayar utang bagi orang yang mampu membayarkannya, merupakan sebuah kedzaliman.’(Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil, cet 2], juz 3, hal. 268).
Keempat, jika sudah jatuh tempo dan belum membayar, dan pemberi utang mencekal supaya tidak pergi jauh, ia wajib mematuhi. Bepergian bisa menimbulkan kekhawatiran kreditur karena ada potensi utang tidak terbayarkan.
Kelima, pemilik utang harus mempersilakan seandainya pemberi utang ingin menginap di rumah atau bahkan mengikutinya ke mana-mana karena dia mendapatkan hak tersebut selama sudah sampai waktu jatuh tempo. Hal ini penting diperhatikan bagi para pemilik utang untuk memberikan ruang penagih, bukan malah membentak penagihnya (creditor). Hal ini tentu tak berlaku bila keduanya berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) karena ada risiko khalwat saat harus penagihnya menginap atau menguntit ke mana saja wanita tersebut pergi. Begitu pula sebaliknya.
Keenam, apabila sudah jatuh tempo, pemilik utang belum kuat membayar sedangkan ia misalnya hutang benda berupa sepeda motor, lalu di rumahnya terdapat aset sepeda motor yang sejenis, maka sepeda motor tersebut boleh ditarik melalui putusan pengadilan.
Apabila utangnya berupa uang atau benda lain, namun di rumahnya tidak ada aset yang sejenis, maka melalui putusan pengadilan, hakim boleh menjualkan paksa dari aset yang dimiliki pemilik utang dengan menyisakan kira-kira cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian menurut mazhab Maliki, Syafii, Hanbali, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang keduanya adalah Murid Abu Hanifah. (Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 3: 268).
Ketujuh, orang yang utang perlu berpikir bagaimana beratnya orang enggan melunasi utang sehingga meninggal dengan masih menyisakan utang. Banyak hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh al-Akwa’ dalam hadits Bukhari. Suatu ketika para sahabat duduk-duduk di samping Nabi ﷺ, tiba-tiba ada jenazah dibawa mendekat ke arah Nabi. Rombongan yang membawa jenazah meminta Nabi, “Ya Rasul, tolong anda shalatkan jenazah ini!”
Nabi bertanya balik “Apakah dia punya utang?.”
“Tidak, ya Rasul.”
“Apakah dia punya warisan?”
“Tidak, wahai Nabi.”
Mendengar jawaban di atas, Nabi lalu menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian Nabi didatangkan jenazah yang lain lagi. Mereka gantian minta Rasulullah menshalatkan jenazah yang mereka bawa. Rasul kemudian menanyakan “Apakah dia punya utang?”
Dijawab rombongan yang membawa jenazah “Iya, ya Nabi”
“Apakah dia punya harta tinggalan?”
“Ada, tiga dinar.”
Lalu Nabi menshalatkan jenazah yang mempunyai utang tapi juga mempunyai harta warisan yang bisa untuk membayar utangnya.
Yang ketiga, Nabi dibawakan jenazah yang lain lagi. Permintaannya sama, mereka minta Nabi menshalatkan. Nabi pun bertanya dengan pertanyaan normatif sebagaimana dua jenazah sebelumnya.
Bedanya, jenazah ketiga ini tidak mempunyai tinggalan warisan tapi malah meninggalkan utang. Kata Nabi “Kalian saja yang menshalati teman kalian ini!”
Sejurus kemudian, Abu Qatadah mengajukan diri. “Ya Rasul, mohon engkau menshalatkan dia! Aku yang menanggung utangnya.”
Mendengar perkataan Abu Qatadah, Nabi pun baru berkenan menanggung utangnya. (HR Bukhari: 2289)
Dalam hadits lain, Nabi bersabda:
من فارق الروح الجسد وهو بريء من ثلاث دخل الجنة من الكبر والغلول والدين
Artinya: “Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti akan masuk surga. Yaitu terbebas dari sombong, khianat, dan utang (HR Ibnu Majah: 2412)
Perlu diketahui, utang yang tidak terbayar ketika masih hidup dan tidak ada yang melunaskannya, besok akan diminta ganti dengan amal baiknya selama di dunia sebesar hitung-hitungan utangnya. Dengan demikian, apabila di antara kita ada yang utang semestinya mengetahui etika-etika orang yang berutang sebagaimana di atas. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Puspanjolo, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar