Senin, 10 Agustus 2020

Buya Syafii: Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (II)

 

Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (II)

Oleh: Ahmad Syafii Marif

 

Lokasi desa Rengasdengklok berada dalam kecamatan Rengasdengklok, kabupaten Karawang, Jawa Barat. Bung Karno dan Bung Hatta ditempatkan di rumah Djiauw Kie Siong, di pinggir sungai Citarum, berjarak sekitar 81 km dari Jakarta. Sengaja agak panjang masalah ini ditulis karena terjadi pada detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan yang sangat kritikal. Coba bayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi atas diri Bung Karno dan Bung Hatta, apa jadinya bangsa dan negara ini.

 

Sebelum proses penculikan berlaku pada 15 Agustus malam, ada ancaman Wikana (kelompok Sukarni) kepada Bung Karno dalam catatan Bung Hatta: “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman Kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.” Karena tak tahan diperlakukan begitu, Bung Karno sampai naik darah dengan hentakan ini: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”

 

Menghadapi sikap Bung Karno dengan suara tinggi itu, Wikana terperanjat dan gemetar, lalu berkata: “Maksud kami bukan membunuh Bung Karno, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam  ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-orang Ambon dan lain-lain.” (Lihat Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 445.  Situasi memang mendidih sekali. Bung Karno dan Bung Hatta lebih mengedepankan akal sehat dan pertimbangan rasional karena pasukan Jepang masih siaga, sedangkan para pemuda tampaknya hanyut dalam emosi dan eforia proklamasi kemerdekaan. 

 

Bagi pemuda, semuanya harus berjalan dengan serba cepat, sementara Bung Karno dan Bung Hatta membaca situasi dari sisi lain. Untung ada Mr. Achmad Soebardjo (mantan tokoh PI di negeri Belanda) yang bisa menengahi antara Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok pemuda. Selain itu, Soebardjo juga dipercaya oleh pihak Jepang, khususnya Laksamana Muda Tadashi Maeda yang simpati dengan kemerdekaan Indonesia. Maeda inilah yang memberikan fasilitas kantornya di Jakarta untuk digunakan dalam kegiatan persiapan proklamasi.

 

Bung Karno dan Bung Hatta disertai Fatmawati dengan bayi Guntur yang baru berusia sembilan bulan sore hari pada 16 Agustus meninggalkan Rengasdengklok menuju Jakarta karena revolusi yang diteriakkan para pemuda itu adalah isapan jempol belaka. Sesampainya di Jakarta Bung Karno dan Bung Hatta bersama anggota PPKI bersidang untuk persiapan proklamasi pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di rumah Bung Karno, Pegangsaan Timur 56. Semuanya berjalan relatif lancar. 

 

Dengan rancangan proklamasi ini, ketegangan antara pemuda dan Bung Karno-Bung Hatta menjadi redup, sehingga bintik-bintik hitam seakan terlupakan. Sewaktu Bung Hatta meminta agar yang menandatangi Teks Proklamasi adalah semua yang hadir, tokoh penculikan Rengasdengklok Sukarni justru memandang tidak perlu. Inilah rekaman Bung Hatta tentang pernyataan Sukarni dengan suara lantang itu: “Bukan kita semuanya yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatangani atas nama rakyat Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.” (Lihat Memoir, hlm. 455).

 

Ucapan Sukarni ini disambut dengan gegap gempita oleh hadirin, tetapi Bung Hatta kecewa, seperti terbaca dalam kalimat ini: “Aku merasa kecewa, karena kuharapkan mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari. Tetapi apa yang hendak dikata?” (Ibid.). Jika usul Bung Hatta diterima, maka jumlah proklamator itu akan sangat banyak. Tetapi, demikian itulah sejarah dibentuk oleh para pelakunya.

 

Lalu, siapa saja pemuda revolusioner yang terlibat dalam drama Rengasdengklok ini? Adalah Benedick Anderson, Indonesianis Amerika, yang mencatat nama-nama itu lebih rinci: Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dan Dr. Sutjipto. (Lihat Benedick Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terjemahan Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 96). Belakangan Chaerul Saleh dan Sukarni dikenal dekat dengan Tan Malaka, pendiri Partai kiri Murba, tetapi anti PKI. Dalam peristiwa Rengasdengklok ini, Tan Malaka belum berperan apa pun, karena dia baru kembali dari perantauan panjang di manca negara. []

REPUBLIKA, 21 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar