KH Wahid Hasyim dan Pembaruan Pendidikan Pesantren
Tokoh muda NU putera KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953)
mempunyai pandangan jauh ke depan dan mempunyai cita-cita megadakan
pembaruan-pembaruan dalam lingkungan pesantren. Suatu pembaruan tetapi tidak
menghilangkan esensi atau wujud dengan karakteristiknya.
Menurut catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menjelaskan, pembaruan yang dimaksud hanya terbatas pada atribut yang menyangkut metode efisiensi dan kerapian menggunaka waktu belajar, atau yang menyangkut organisasi pesantren tanpa melenyapkan kepribadian pesantren itu sendiri.
Sebab, pesantren adalah pesantren, ia bukan sekadar sekolah atau madrasah, bukan sekadar asrama belajar, bukan sekadar kampus. Di pesantren diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat pendidikan lain.
Di pesantren bukan pula tempat belajar ilmu, bukan sekadar melakukan berbagai ibadah, tetapi di sana diajarkan nilai-nilai yang paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
KH Wahid Hasyim tidak hanya memiliki jiwa organisatoris tinggi, tetapi mampu menangkap dan menyikapi perubahan zaman untuk memperkuat diplomasi dengan pihak penjajah. Dia juga ikut andil dalam merumuskan dasar negara Pancasila.
Ia merupakan prototipe produk pesantren yang melampaui zamannya, termasuk ketika harus bersilang pendapat dengan ayahnya sendiri dalam menyikapi perlawanan kultural terhadap penjajah. Sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, KH Hasyim Asy’ari dahulu pernah mengeluarkan fatwa haram untuk memakai semua identitas penjajah, termasuk pakaian. Jadi konteksnya melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah.
Fatwa ini diambil Kiai Hasyim Asy’ari agar spirit perlawanan terhadap penjajah tumbuh di dada bangsa Indonesia, terutama para santri. Hal ini cukup efektif karena Belanda maupun Jepang dibuat kocar-kacir sehingga gerak-gerik kalangan pesantren disoroti betul oleh penjajah.
Pakaian yang dilarang oleh KH Hasyim Asy’ari untuk melakukan perlawanan kultural di antaranya celana, jas, dasi. Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga melarang pesantren untuk mempelajari ilmu-ilmu umum, tak terkecuali bahasa Inggris dan Belanda.
Perlu dipertegas di sini bahwa konteksnya melakukan perlawanan kultural. Sehingga penting mendudukkan konteks saat itu ketika masyarakat melihat perkembangan zaman modern dan era milenial saat ini.
Tetapi, melihat perubahan sosial-masyarakat dan kondisi saat itu, KH Wahid Hasyim ingin mereformasi langkah yang sudah dibuat oleh ayahnya. Karena bangsa Indonesia tidak mungkin memahami gerakan-gerakan penjajah jika tidak mengerti bahasa mereka. Sehingga bahasa penjajah juga menurut Kiai Wahid Hasyim perlu dipelajari.
Begitu juga dengan pakaian sebagai sebuah identitas. Untuk keperluan diplomasi, pakaian seperti celana dan jas penting dikenakan agar penjajah lebih bersikap terbuka karena secara kultural identitasnya dipakai.
Tidak ingin terlalu memperdebatkan pendapat anaknya, KH Hasyim Asy’ari justru merasa senang Kiai Wahid Hasyim memiliki progresivitas pemikiran sendiri. Karena langkah tersebut tidak hanya berhenti pada gagasan, tetapi juga dilaksanakan secara nyata, bahkan ketika Kiai Wahid berupaya melakukan diplomasi dengan Jepang untuk membebaskan Kiai Hasyim dari penjara.
Pada tahun 1943 atau setahun setelah Jepang (Nippon) menduduki Indonesia, KH Hasyim Asy’ari dan sejumlah kiai yang mengkomandoi Jam’iyah Nahdlatul Ulama juga ditangkap yaitu KH Mahfudz Shiddiq. Hal ini memantik perlawanan ribuan santri kepada Jepang untuk membebaskan Sang Kiai. Sedangkan KH Wahab Chasbullah dan KH Wahid Hasyim berupaya keras melakukan diplomasi dengan tujuan yang sama.
Berhubung tertangkapnya KH Mahfudz Shiddiq oleh Jepang, pimpinan NU sementara diambil alih sepenuhnya oleh KH Wahab Chasbullah didampingi Kiai Wahid Hasyim. Selama mendampingi Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim berupaya menggerakkan seluruh potensi dan kekuatan pesantren untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.
KH Saifuddin Zuhri (2001) mencatat, Kiai Wahid Hasyim melontarkan maklumat kepada pesantren dan para ‘alim ulama. Seruan tersebut dilakukan untuk memperkuat dan menyolidkan seluruh santri dan para kiai. Maklumat tersebut bernama Mahadi Nashrillah yang terdiri dari tiga pasal:
1. Tazawuru ba’dhuhum ba’dha, artinya: saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan.
2. Tawashaw bil haqqi wa tawashaw bis shabri, artinya: saling memberi nasihat tentang kebenaran dan ketabahan berjuang.
3. Riyadhah Ruhaniyah, artinya: Memperdekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya sambil memperbanyak wirid, hizib, dan doa.
Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 272)
Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.” []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar