Minyak Terkena Air Najis, Bisakah Disucikan?
Benda mutanajjis adalah benda yang aslinya suci, akan tetapi ia terkena najis. Hukum asal dari benda semacam ini adalah bisa kembali suci setelah disucikan, dengan air dan debu. Misalnya, meja yang terkena najis dianggap kembali suci ketika seseorang sudah menyucikannya dengan menyiram air pada bagian yang terkena najis.
Untuk menyucikan benda semacam ini, para ulama menyarankan agar menghilangkan ain al-najasah (unsur fisiknya) terlebih dulu. Setelah itu, baru najis hukmi-nya yang dihilangkan. Najis hukmi ini meliputi warna, rasa, dan bau. Jika sudah tidak terdapat warna, rasa dan bau, maka benda yang terkena najis itu menjadi suci kembali secara mutlak.
Adapun bila ternyata masih tersisa bau saja, beberapa ulama berpendapat masih ditoleransi (ma’fu; dimaafkan) sebab masuk kategori udzur dan masyaqqah (sulit). Konsep seperti ini sangat berguna bagi mereka yang bekerja di lingkungan peternakan. Para pekerja di kandang, umumnya merasa kesulitan dalam menghilangkan wujud bau kotoran yang seolah melekat di tangan dan tubuh mereka. Sekalipun sudah disabun dan digosok-gosok dengan tanah.
Selagi antara benda dan najis pada benda itu sekadar berdampingan (khalath jiwar), masih bisa dipisah (tidak sampai larut), maka benda tersebut hakikatnya bisa disucikan. Lain halnya jika percampurannya bersifat larut (khalath isytirak). Jika benda yang hendak disucikan itu bersifat bisa larut di dalam air, maka najis cair yang mengenainya, dapat menjadikannya sebagai yang tidak suci lagi, dengan ketetapan, bila hal itu terjadi pada air kamar mandi, maka ada batasan 2 qullah. Jika air itu kurang dari 2 qullah kemudian terkena najis, maka air itu menjadi mutanajjis semuanya.
Nah, kedua pola percampuran ini selanjutnya bisa dipergunakan untuk menghukumi suatu kasus, semisal ada minyak goreng yang terkena najis. Jumlah minyak gorengnya banyak. Mau dibuang sayang. Mau disimpan, fisiknya sudah terkena najis. Apakah ada cara untuk menyucikannya?
Air dan minyak itu tidak bisa bersatu. Berbekal konsep khalathah jiwar (campur-tidak larut) dan khalathah isytirak (campur-larut), kita bisa merumuskan jawaban bahwa air dan minyak merupakan khalathah jiwar alias sekadar berdampingan. Jika memakai konsep ini, maka mestinya minyak bisa disucikan dengan metode penyucian sebagaimana sudah termaktub di atas, yaitu (1) menghilangkan najis aini-nya, dan (2) menghilangkan najis hukmi-nya.
Namun, pendapat yang lain juga menyatakan bahwa minyak itu termasuk kategori mai’ (benda cair). Benda cair bertemu benda cair maka tidak bisa disucikan. Pendapat ini merupakan pendapat yang ashah (pendapat yang paling shahih).
Keberadaan dua titik tolak yang berbeda ini menghasilkan hukum yang berbeda pula. Sebagaimana pendapat ini dirangkum dalam keterangan kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadhi al-Minhaj, juz I h. 86, berikut ini:
Pendapat yang mendukung tidak bisa disucikannya, disampaikan dengan redaksi sebagai berikut:
(ولو نجس مائع) غير الماء ولو دهنا (تعذر تطهيره) إذ لا يأتي الماء على كله لأنه بطبعه يمنع إصابة الماء
“Seandainya ada benda cair telah menajiskan benda selain air, kendati benda yang dinajiskan berupa minyak, maka sulit untuk dilakukan penyuciannya, karena air tidak bisa mendatangi air secara sempurna, karena dilihat dari sisi wataknya, benda cair menghalangi sifat pembasuhan oleh air.” (Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadhi al-Minhaj, juz I h. 86).
Adapun pihak yang menyatakannya bisa dibersihkan, disampaikan dengan redaksi sebagai berikut:
(وقيل يطهرالدهن بغسله) قياسا على الثوب النجس وكيفية تطهيره كما ذكره في المجموع أن يصب الماء عليه ويكاثره ثم يحركه بخشبة ونحوها بحيث يظن وصوله لجميعه ثم يترك ليعلو ثم يثقب أسفله فإذا خرج الماء سد إهـ
“Ada satu pendapat lain yang menyatakan bahwa minyak bisa suci dengan cara membasuhnya, dengan qiyas terhadap baju yang terkena najis. Cara penyuciannya sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ adalah dengan jalan menuangkan air pada minyak itu, menambahkannya, kemudian diaduk-aduk dengan kayu atau semisalnya, hingga sampai pada dugaan bahwa air itu sudah bercampur menjadi satu dengan minyak, kemudian didiamkan sesaat hingga air bergerak ke atas (dan minyak mengendap di bawah). Setelah itu, wadah tempat membasuh tadi dilubangi bagian bawahnya (sehingga minyak mengalir keluar). Begitu air yang semula di atas kemudian akan keluar dari lubang, maka lubang itu dibuntu” (Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadhi al-Minhaj, juz I, h. 86)
Pendapat terakhir ini pada dasarnya juga merupakan pendapat yang shahih disebabkan berangkat dari illat (alasan) bahwa antara air dan minyak adalah dua benda yang tidak bersatu. Namun, qaul dhahir juga menyatakan bahwa benda cair tidak bisa disucikan dengan cara apa pun disebabkan illat sifat cairnya.
Lalu, pendapat manakah yang mesti dipakai?
Masing-masing dari kedua pendapat itu, karena berangkat dari illat yang mu’tabar, boleh kita aplikasikan. Tidak bisa kita secara serta merta mengatakan bahwa pendapat kedua sebagai pendapat bathil. Namun, kearifan penggunaan dua pendapat itu bisa kita terapkan di saat kondisi memungkinkan penggunaannya, terutama saat membutuhkan.
Suatu misal, dalam suatu acara, penyelenggara membutuhkan kehadiran minyak goreng yang banyak. Namun, ternyata minyak gorengnya terkena najis. Sudah pasti membuangnya, di satu sisi membuat orang yang punya hajat menjadi semakin sulit, sebab harga minyak goreng juga lumayan mahal. Nah, dalam kondisi itu, kita bisa memakai pendapat sebagaimana pendapat yang disampaikan dalam ibarat terakhir. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar