Kamis, 27 Agustus 2020

Nasaruddin Umar: Jejak dan Derap Peradaban Islam: Antara Alkimia dan Kimia

Jejak dan Derap Peradaban Islam

Antara Alkimia dan Kimia

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Ilmuwan Islam di abad pertengahan betul-betul ilmuwan sejati. Dikatakan sejati karena kosmologi berpikir mereka sangat utuh. Disebut utuh karena segalanya dikaitkan dengan Tuhan atau konsep keilmuannya berangkat dari kesadaran tauhid. Kesadaran akan adanya Allah Yang Maha Pencipta dan Mahakuasa selain memberikan motivasi juga memberikan inspirasi cerdas. Allah swt Maha Pencipta atau sumber dari segala-galanya. Ia sadar dan Ia akan melihat diri-Nya maka Ia menciptakan makhluk dari dirinya. Dengan demikian, wujud nyata yang kompleks dalam jagat raya ini, termasuk manusia, adalah divine creations.

 

Para ilmuwan muslim abad pertengahan menyadari betul kenyataan ini. Justru karena kesadaran tauhid ini menginspirasi mereka untuk meneliti relasi antara satu objek dan objek lain dan relasi keseluruhan objek dengan Sang Sumber Objek. Yang banyak ini sesungguhnya adalah wujud partikular dari Zat Yang Mahamutlak. Secara matematika bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin ada bilangan 2, 3, atau 4, dan seterusnya hingga seribu, sejuta, semiliar, sampai triliunan, tanpa kehadiran angka satu. Bukankah angka 2 adalah kelipatan 2 dari angka 1, dan seterusnya, 1 miliar adalah kelipatan semiliar dari angka satu. Tanpa angka satu tidak mungkin ada angka-angka selanjutnya. Jadi penghayatan terhadap wujud Tuhan Yang Maha Esa dan variasi dan diversifikasi makhluk-Nya yang tak terbatas jumlahnya, melahirkan kesadaran matematis.

 

Selain kesadaran tauhid melahirkan matematis, kesadaran tauhid juga melahirkan astronomi dan astrologi. Tidak mungkin dari jumlah planet yang tak terhitung jumlahnya dan berkejar-kejaran dengan kecepatan tinggi di atas relnya masing-masing. Tidak satu pun di antara mereka yang bertabrakan. Bisa dibayangkan seperti apa jadinya planet-planet itu jika terbang tak beraturan. Keteraturan dan keseimbangan makrokosmos melahirkan kesadaran astronomis di dalam benak ilmuwan muslim.

 

Kesadaran tauhid juga melahirkan alkimia dan kimia. Adalah Jabir ibn Hayyan, yang disebut Bapak Alkimia dan Kimia, mencetuskan teori dan menemukan berbagai temuan penting melalui laboratorium kimia yang dibuatnya, pertama kali disebabkan karena hasil kontemplasinya terhadap Tuhan dalam kapasitasnya sebagai praktisi sufi. Kesadaran sufistik inilah yang menginspirasi Jabir Ibn hayyan untuk meneliti. Jika transformasi spiritual sebagaimana dialaminya dalam dunia tasawuf, pasti terjadi juga di dalam dunia materi. Akhirnya ia tergerak untuk meneliti alam. Semula dengan cara-cara sederhana tetapi kemudian menghasilkan sesuatu yang amat berarti baginya dan simetris dengan pengalaman spiritualnya yang dialaminya.

 

Untuk sampai pada kemuliaan jiwa, perlu ada proses penyucian jiwa dalam bentuk penempaan diri untuk tahap demi tahap akan sampai kepada kejernihan dan kebeningan jiwa. Inilah yang disebut Jabir ibn Hayyan dengan proses alkimia. Untuk sampai kepada logam mulia (emas) diperlukan proses penempaan dan pembersihan pada sebuah logam dasar. Proses inilah yang disebut proses kimia. Alkimia adalah transformasi spiritual dan kimia adalah transformasi material. Teori alkimia ditemukan ketika ia sedang menjalani praktik sufistik di bilik meditasi, sedangkan teori kimia lahir ketika ia mencari analogi dari pengalaman spiritualnya di dalam laboratorium. Ilmu alkimia, kimia, matematik, astronomi, dan ilmu-ilmu murni lainnya yang lahir dari tangan-tangan ilmuman muslim adalah divine creations. []

 

DETIK, 12 Juni 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar