Jumat, 28 Agustus 2020

Nasaruddin Umar: Jejak dan Derap Peradaban Islam: Integrasi Antara Alkimia dan Kimia

Jejak dan Derap Peradaban Islam

Integrasi Antara Alkimia dan Kimia

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Alkimia yang lebih berfokus kepada transformasi jiwa dan spiritual melalui penafsiran kualitas-kulitas kulitatif-simbolik terhadap fenomena perubahan alam. Sedangkan kimia lebih fokus kepada proses dan transformasi material seperti zat-zat dalam satu keadaan ke keaadaan berbeda. Alkimia dan Kimia sesungguhnya merpakan satu kesatuan yang tak terpisahkan bagi seorang Jabir ibn Hayyan, karena selain ia sebagai sufi ia juga praktisi ilmu-ilmu empiris. Di siang hari habis waktunya melakukan eksperimen di laboratoriumnya dan di malam hari ia menghabiskan waktunya untuk bertakhannus dan bermeditasi, untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT.

 

Kontemplasi dalam shalat lail mengahasilkan pengetahuan besar bahwa untuk mencapai kebeningan, kesucian, dan kemurnian jiwa diperlukan penempaan dan perjuangan yang biasa disebut dalam bahasa tasawuf dengan riyadhah dan mujahadah. Riyadhah dan mujahadah adalah perjuangan secara kontemplatif dengan melibatkan jiwa dan segenap unsur spiritual yang dimiliki untuk mendekatkan diri sampai mencapai puncak kedekatan, yaitu rasa menyatu dengan Tuhan. Siapapun yang sudah sampai di maqam puncak itu pasti ia sudah pernah merasa melewati tahap perjuangan. Dengan kata lain, transformasi spiritual dari kualitas standard sampai kepada kualitas yang lebih baik, pasti memerlukan proses dan proses ini harus dilewati. Semakin tinggi kualitas yang diinginkan semakin kuat pula perjuangan yang harus dilewati. Inilah yang disebut dengan proses Alkimia.


Sehari-hari Jabir ibn Hayyan terus bereksperimen untuk melakukan transformasi sebuah obyek, semisal sebuah batu untuk diproses menjadi batu permata, sebuah logam diproses menjadi logam mulia, kumpulan berbagai zat lalu disintesakan kemudian membentuk zat lain dengan berbagai macam fungsinya. Jabir melakukan eksperimen logam, kristalisasi, pembuatan timah karbonat, penemuan sifat-sifat pertentangan antara sulphur dan air raksa, di dalam laboratorium yang pengap, lalu terciptakah kreasi-kreasi menakjubkan. Ini semua dilakukan melalui proses kimia.


Alkimia dan Kimia dilakukan berbarengan oleh ilmuan Islam membuktikan peran tauhid di dalam diri para ilmuan muslim. Bedanya dengan ilmuan Barat yang hanya menonjolkan studinya pada Kimia , bukan pada Alkimia. Bahkan umumnya mereka menganggap Alkimia sebagai titik-tik lemah Jabir, karena mencampur adukkan sesuatu antara yang sains dengan sesuatu yang non sains. Alkimia dianggap sesuatu yang nothing karena tidak bisa dicerna akal obyektif. Padahal, Alkimia adalah wujud pengetahuan yang diperoleh melalui proses olah batin dan Kimia pengetahuan yang diperoleh melalui proses olah nalar. Para ilmuan Islam tidak mempertentangkan antara satu dan yang lainnya karena semuanya bersumber dari sumber yang sama, Allah SWT.

 

Parsialisasi dunia keilmuan Barat, yang memisahkan antara ilmu-ilmu obyektif dengan ilmu-ilmu subyektif menyebabkan timpangnya ilmu pengetahuan Barat. Alkimia dan kimia seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk mencapai martabat kemanusiaan yang sejati. Pengetahuan yang hanya mengandalkan rasio semata dan menafikan ilmu-ilmu yang bersifat spiritual justru akan menjadikan ilmu pengetahuan itu kehilangan unnsur moral. Akibatnya ilmu penhgetahuan bukannya mengangkap martabat kemanusiaan tetapi malah merendahkan dan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu sendiri. Kita perlu berterima kasih kepada para ilmuan muslim di abad ertengahan karena telah mewariskan sains yang utuh atau ilmu yang bertauhid. []

 

DETIK, 13 Juni 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar