Asa Indonesia 75 Tahun
Oleh: Azyumardi Azra
Dirgahayu Indonesia 75 tahun. Umur yang sudah melebihi usia harapan hidup rata-rata warga Indonesia (71,39 tahun pada 2019), bahkan usia rata-rata warga dunia (72 tahun). Dilihat dari rentang usia manusia, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan lagi negara usia muda, melainkan sudah dewasa.
Dalam usia 75 tahun kemerdekaan, semakin susah menemukan generasi Angkatan 45, yaitu mereka yang ikut berjuang jiwa raga menegakkan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Perjuangan mereka berlanjut dalam revolusi kemerdekaan, kemudian melintasi masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Apa yang mungkin dikatakan warga Angkatan 45 yang mengalami Indonesia masa kini? Bagi mereka, Indonesia dewasa ini dalam banyak segi beyond imagination—tidak pernah terbayangkan. Meski masih terbelakang dalam bidang tertentu, pencapaian Indonesia kontemporer tetap membanggakan.
Tanpa harus merinci kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan yang beyond imagination, Indonesia berada dalam posisi penuh harapan dan menjanjikan. Dalam asa itu, Indonesia, menjelang 100 tahun kemerdekaan pada 2045, diyakini menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia.
Itulah proyeksi institusi kredibel semacam Forum Ekonomi Dunia atau PricewaterhouseCooper (PwC). Proyeksi itu dibuat bukan berdasarkan angan-angan ”menggantang asap”. Inilah proyeksi atas dasar kalkulasi dan analisis cermat yang harus disyukuri.
Waktu 25 tahun menuju 2045 tak terlalu lama. Generasi milenial hari ini bakal menjadi saksi hidup apakah asa itu terwujud atau tidak pada 2045. Inilah ”mimpi Indonesia” (Indonesian dream) 25 tahun ke depan.
Lalu datanglah wabah Covid-19 sejak awal Maret lalu yang sampai Agustus ini terus meningkat: belum ada tanda-tanda melandai. Jika negara seperti Jepang, Inggris atau Spanyol kini menghadapi gelombang II Covid-19, entah apa yang terjadi dengan Indonesia jika pelandaian nanti diikuti gelombang II.
Wabah Covid-19 menimbulkan disrupsi dan kekacauan dalam berbagai aspek kehidupan, baik kesehatan, politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun agama. Pandemi Covid-19 menjadi faktor utama setback yang dialami Indonesia dalam usia 75 tahun. Setback yang dampaknya berlangsung bertahun-tahun ke depan jelas membuat semakin sulit mewujudkan ”mimpi Indonesia.
Sementara disrupsi akibat wabah Covid-19 entah kapan bisa teratasi, banyak pencapaian dalam beberapa dasawarsa terakhir menyusut. Tantangan yang dihadapi menjadi berlipat ganda, berjalin berkelindan seperti benang kusut yang tidak mudah diselesaikan. Kerumitan semua masalah memerlukan penanganan simultan.
Menghadapi tantangan dan masalah akibat disrupsi Covid-19 beserta berbagai dampak penyakit politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya yang ditimbulkannya, apa yang semestinya bisa dilakukan?
Jelas tidak ada penyelesaian instan yang dapat menyelesaikan berbagai masalah yang semakin berat dihadapi pemerintah. Sebagai pengendali kekuasaan dan perjalanan negara-bangsa, segenap aparat pemerintah perlu memiliki komitmen, kecepatan, ketegasan, dan kesungguhan dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Untuk itu, para pejabat publik mulai dari tingkat tertinggi sampai level terbawah, sekali lagi, harus memperkuat sense of crisis. Mereka tidak bisa bekerja dalam irama biasa-biasa saja—business as usual.
Mengatasi wabah Covid-19 dan memulihkan ekonomi jelas menjadi prioritas utama pemerintah. Menghadapi kedua masalah berat ini, kalangan pemerintah menyebutnya sebagai harus menyeimbangkan ”rem dan gas”.
Menginjak rem kebebasan warga untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 dan pada saat yang sama menekan gas pemulihan ekonomi jelas tidak mudah. Bukan tidak mungkin keduanya gagal dicapai: pandemi Covid-19 tidak bisa diatasi, tetap meningkat, sementara ekonomi juga tidak bisa dipulihkan.
Pemerintah perlu berbalik kembali untuk lebih dahulu menyelesaikan sumber masalah, yaitu pandemi Covid-19. Pemerintah pusat dan daerah perlu kembali mengintensifkan berbagai cara untuk memutus rantai penyebaran Covid-19: meminimalkan kemunculan episentrum dan kluster baru Covid-19 yang terus berkecambah. Jika Covid-19 bisa direm, barulah usaha pemulihan ekonomi bisa ”tancap gas”.
Jika asa Indonesia 75 tahun masih dapat digelorakan, prasyarat apa yang diperlukan?
Pemerintah jelas memainkan peranan kunci dalam mengatasi berbagai masalah. Namun, untuk mampu mewujudkan peran itu, perlu kinerja istimewa untuk menyelesaikan masalah-masalah berat. Di sini pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai daerah harus kembali melakukan konsolidasi dan revitalisasi.
Dalam konsolidasi pemerintahan, pemerintah pusat juga mesti meninggalkan kecenderungan melakukan resentralisasi. Gejala resentralisasi, misalnya, dilakukan pemerintah pusat lewat deregulasi yang puncaknya adalah dengan pengajuan RUU Cipta Kerja. Bermaksud menghapuskan berbagai regulasi di daerah yang dianggap menghambat investasi, RUU Cipta Kerja mereduksi otonomi daerah yang telah diterapkan 21 tahun terakhir.
Termasuk dalam konsolidasi pemerintah ialah rekonsolidasi dan revitalisasi demokrasi. Meski Indeks Demokrasi Indonesia 2019 naik menjadi 74,92 dari sebelumnya 72,39, sejumlah indikator masih buruk dalam aspek kebebasan sipil, seperti masih adanya ancaman penggunaan kekerasan atas kebebasan berpendapat.
Selain itu, perlu revitalisasi masyarakat sipil yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami marjinalisasi. Masyarakat sipil cenderung tidak lagi mendapat respek dan tempat sepantasnya dari pemerintah dan DPR. Kedua pihak ini dalam sejumlah kasus pengesahan undang-undang, tidak lagi melibatkan masyarakat sipil.
Jika asa Indonesia masih bisa digelorakan, hal ini memerlukan konsolidasi penegakan hukum. Pemberantasan korupsi harus kembali menjadi salah satu agenda pokok. Jangan lagi terulang kasus buron terpidana cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, di mana aparat hukum diduga justru memfasilitasinya. Mereka yang seharusnya menegakkan hukum menjadi ”tongkat membawa rebah”.
Asa Indonesia 75 tahun yang tidak kurang pentingnya adalah penciptaan keadilan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari kenyataan. Ketidakadilan ekonomi yang kian merajalela juga menimbulkan ketidakadilan sosial dan politik, yang dapat memicu keresahan dan gejolak sosial dalam skala luas.
Keadilan ekonomi bisa diwujudkan tidak hanya dengan mengambil kebijakan afirmatif untuk pemberdayaan ekonomi warga miskin, tetapi haruslah juga dengan menghapuskan berbagai struktur ekonomi dan politik tidak adil dan menindas.
Selama struktur-struktur ketidakadilan dan kekerasan ini bertahan, sulit untuk menyalakan asa kejayaan Indonesia 100 tahun menuju 2045. []
KOMPAS, 13 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar