Jumat, 21 Agustus 2020

Azyumardi: Wabah Korona; kampus Merdeka (3)

Wabah Korona; kampus Merdeka (3)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Bagaimana bisa ‘kampus merdeka’ bisa terwujud jika misalnya dosen harus disibukkan dengan kewajiban laporan Beban Kerja Dosen (BKD) yang mulai berlaku sejak 2010 dan kian ketat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap akhir semester dosen harus melaporkan kinerja dengan menyiapkan berbagai bukti yang menimbulkan banyak kerepotan menyiapkannya.

 

Celakanya, tunjangan (sertifikasi) dosen tidak diberikan selama laporan BKD belum lolos verifikasi berlapis sejak dari asesor, kepala biro dan wakil rektor, mungkin juga rektor. Para dosen, termasuk professor, kini lazim tidak menerima tunjangan berbulan-bulan; mereka harus hidup dengan gaji pokok sekitar Rp 4 juta atau yang sudah profesor sekitar Rp 7 juta.

 

Penundaan pembayaran tunjangan jelas tidak manusiawi dan bisa disebut zalim. Penundaan tunjangan juga jelas bertentangan ketentuan perburuhan. Juga bertentangan dengan prinsip Islam seperti disebutkan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyerukan kepada majikan: ‘bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringat mereka”. 

 

Bagaimana mungkin ada kampus merdeka? Lihat pula belenggu birokrasi lain seperti Peraturan Kepala BKN No 19/2015 tentang Pendataan Ulang [biasa juga disebut Pendaftaran/Registrasi Ulang] PNS secara elektronik. Setelah lima tahun (2020) tidak jelas hasilnya. Yang jelas merepotkan. Para dosen harus harus menyerahkan kembali tidak hanya ijazahnya, tetapi juga akte kelahiran atau berkas pelantikan pertama kali sebagai PNS. Bayangkan jika dosen itu diangkat 20 atau 30 tahun lalu sebagai PNS atau lahir di masa belum ada akte kelahiran.

 

Birokratisasi kurang masuk akal terlihat pula dalam Surat Edaran MenPAN-RB No 1 tahun 2015, yang mewajibkan seluruh PNS—termasuk dosen—melaporkan kekayaan setiap kali mendapat promosi. Jelas ketentuan ini tidak berjalan; hanya merepotkan. Dosen yang tidak pernah promosi jadi pejabat—yang hidup pas-pasan jika tidak miskin—direpotkan keperluan menyiapkan berkas tidak relevan dengan dunia akademik dan keilmuan.

 

Belenggu birokratisasi teruk lain adalah kewajiban para dosen, beserta PNS lain, mengisi presensi secara elektronik lazimnya dengan sidik jari (finger print) sebagai realisasi Peraturan Pemerintah RI No 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Kewajiban ini bagi staf administrasi dan pejabat perguruan tinggi agaknya tidak masalah karena mereka harus ada di kantor setiap hari kerja. 

 

Tetapi jelas presensi elektronik setiap hari kerja sangat menyulitkan dosen yang tinggal di tempat jauh yang memerlukan waktu berjam-jam  untuk sampai di kampus. Mereka tidak punya ruang kantor pribadi; setelah melakukan finger print datang pukul 08.00 mereka harus luntang lantung menunggu finger print waktu keluar pukul 16.00. Ketentuan ini hanya mendorong para pegawai main ‘kucing-kucingan’.

 

Bagaimana ‘PT merdeka’? Birokratisasi mencengkeram dan memupus kemerdekaan dan otonomi kampus yang menjadi prasyarat bagi PT meningkatkan kualitas sehingga dapat memainkan peran lebih besar bagi negara-bangsa. Jika kita masih berharap PT dapat memainkan peran, tidak bisa lain PT harus merdeka melalui reformasi, debirokratisasi atau bahkan dekolonialisasi. Tanpa itu, PT Indonesia tetap jalan di tempat belaka.

 

Wabah korona harusnya menjadi katalisator ‘PT merdeka’; ‘merdeka belajar’. Wabah korona dapat memberikan peluang mengkonsolidasikan  potensi pembelajaran dan belajar mahasiswa dan masyarakat luas menjadi ‘jaringan belajar’ (learning webs) yang pernah diusulkan Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971); Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) lewat daring di masa wabah korona adalah ‘sekolah tanpa dinding’ (schools without wall)

 

Tanpa harus mengambil mentah-mentah konsep Illich tentang ‘masyarakat tanpa sekolah” yang tidak realistis, gagasannya itu dapat dimodifikasi dengan menciptakan ‘jaringan belajar’ di antara berbagai lembaga pendidikan tinggi formal dan non-formal  dengan segenap potensi kependidikan yang genuine ada dalam masyarakat.

 

Pendekatan ‘jaringan belajar’ dapat dipadukan dengan kerangka Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (bahasa Portugis 1968, bahasa Inggris 1970). Meminjam kerangka Freire, pendidikan tinggi perlu refungsionalisasi untuk memerdekakan dosen dan mahasiswa dari suasana dan iklim tidak merdeka atau bahkan menindas (oppressed).

 

Pendidikan Indonesia, termasuk T tidak memerdekakan dosen dan mahasiswa karena filsafat pendidikan yang outdated.  Filsafat pendidikan yang dianut masih tabularasa yang memandang mahasiswa atau peserta didik lain sebagai ‘kertas kosong’ yang harus diisi dengan berbagai pengetahuan. Padahal generasi sekarang sejak kecil sudah terpapar ke dalam berbagai ilmu pengetahuan lewat gawai dan media instan lain.

 

Oleh karena itulah kurikulum pendidikan kita overloaded sehingga menindas. Ditambah lagi praktek pedagogi pembelajaran ketinggalan zaman. Semua ini memperkuat struktur ilmu, sains-teknologi, sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang menindas. Jauh daripada memerdekakan. []

 

REPUBLIKA, 06 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar