Tidak Mudah Membangun Bangsa Ini (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tentang kendala kultural dalam proses pembangunan bangsa ini, saya persilakan saja tuan dan puan membaca karya-karya Koentjaraningrat dan Mochtar Loebis abad yang lalu. Kali ini tidak perlu saya ulangi lagi di sini. Faktor geopolitik perlu sedikit dibicarakan. Karena letak geopolitik Indonesia yang strategis antara dua benua Asia dan Australia, negeri kita cukup rentan untuk menapis pengaruh pihak luar. Apalagi, dengan kekayaan alamnya yang masih tersisa, negara-negara maju selalu mengintai negeri kepulauan ini untuk keuntungan mereka masing-masing. Dan negara kita tidak selalu siaga dalam menghadapi incaran pihak luar itu.
Sekalipun Indonesia secara teori berpegang kepada politik luar negeri yang bebas aktif, dalam kenyataan sejarah, teori itu sering patah di tengah jalan, bergantung pada siapa pemegang kekuasaan di sini. Pernah suatu ketika Indonesia condong ke blok komunis untuk menakuti Barat, pada saat yang lain ditarik pula ke blok kapitalis. Jadi, jika teori das sollen dan das sein, seperti nanti akan kita jelaskan lebih lanjut, gagasan besar politik luar negeri bebas aktif sebagai cerminan sebuah negara yang berdaulat penuh baru berada pada tingkat das sollen. Dalam praktiknya sebagai das sein, sejarah modern Indonesia belum selalu setia kepada gagasan itu.
Namun, kita pun harus sadar bahwa proses kebangsaan kita masih belum rampung, bahkan sampai hari ini. Kebinekaan suku, agama, budaya, adat istiadat, dan bahasa lokal punya nilai plus dan minusnya. Plus, jika kita pandai mengelolanya dengan kearifan kebangsaan yang sabar dan lapang dada sehingga semua unsur kebinekaan itu didorong untuk menjadi mozaik kekuatan yang sangat kaya di taman sari Indonesia yang adil dan makmur.
Sebaliknya, akan menjadi nilai minus, jika sifat tidak sabar dan sempit hati dibiarkan menjadi arus besar yang bisa meluluhlantakkan segala apa yang telah dibangun dengan susah payah selama ini. Di sinilah tantangan terbesar yang sedang dihadapkan kepada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang sudah diterima oleh semua pihak yang punya akal sehat dan kesadaran sejarah yang kuat. Masalahnya sampai sekarang dalam kaitannya dengan Pancasila tetap saja belum beranjak dari ketegangan antara das sollen (cita-cita luhur yang diimpikan) dan das sein (kenyataan telanjang yang sedang berlaku) dalam masyarakat.
Contoh-contoh penting dari ketegangan itu, jika bukan malah benturan, antara das sollen dan das sein dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat berikut ini. Sila kelima Pancasila sebagai des sollen mengatakan: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam perjalanan sejarah sejak proklamasi, inilah das sein yang terlihat jelas di depan mata kita: terpampangnya ketimpangan sosial-ekonomi yang tajam antara kelompok minoritas kaya dan kelompok marginal yang mayoritas. Maka sila kelima ini yang secara teologis merupakan wujud kongkret dari sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam kehidupan duniawi manusia Indonesia masih tergantung di awan tinggi.
Ketimpangan ini jika belum juga dapat diatasi dalam tempo relatif pendek, tidak mustahil ledakan sosial yang bisa menggoyahkan sendi-sendi kebangsaan kita akan berlaku. Pelajaran pahit dari dampak Covid-19 yang menggerus pertumbuhan ekonomi nasional akan makin memperparah ketimpangan sosial itu. Selain itu, perilaku korup yang sudah menggurita dalam sistem birokrasi dan ekonomi kita belum tampak tanda-tanda akan hilang dalam waktu dekat, sekalipun KPK telah beroperasi sejak 2003 yang lalu. Memang mencari orang yang jujur di republik ini sungguh merupakan sesuatu yang sangat mahal. Jumlah orang bertopeng berkeliaran di mana-mana.
Kita teruskan, Pasal 33 UUD 1945 sebagai das sollen dengan bahasa yang terang benderang mengatakan bahwa negara punya kekuasaan mutlak dalam mengola dan memanfaatkan semua kekayaan bumi, air, dan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Apa yang terjadi sebagai das sein? Teriakan agar negara memperhatikan dan melaksanakan Pasal 33 ini sudah diperdengarkan sekian lama oleh banyak pihak dengan bahasa yang keras. Namun, dalam kenyataannya, pasal ini selalu ditorpedo oleh kebijakan negara dengan membiarkan pihak pengusaha, asing, dan domestik, untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam itu. Negara cukup puas dapat bagian dari setoran pajak. Ini jelas keterlaluan. Susah memang, mentalitas manusia bekas terjajah, sering tidak berani mengangkat muka berhadapan dengan pihak asing dalam perundingan bisnis. IMF dan Bank Dunia pernah “mendikte” Indonesia saat krisis moneter tahun 1998. []
REPUBLIKA, 21 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar