Selasa, 18 Agustus 2020

Haedar Nashir: Tuhan Pun Mencintai Manusia

Tuhan Pun Mencintai Manusia

Oleh: Haedar Nashir

 

Masih ingat perawat meninggal terkait Covid-19 yang jenazahnya ditolak ketua RT dan warganya? Dia sejatinya seorang mujahidah. Berjuang mendarmabaktikan ilmu dan profesinya untuk sesama dengan bertaruh nyawa. Mati dalam sunyi.

 

Tragis. Orang berkhidmat untuk sesama dengan berkorban jiwa. Tanpa bisa menghindar dari tugas. Ketika sakit sampai mati pun harus diisolasi, tanpa keluarga dan orang-orang terdekat. Sementara tubuhnya yang sudah mati saja masih ditakui warga. Bukan disediakan kuburan dengan sambutan cinta dan duka. Padahal tanah itu pun milik Tuhan untuk semua makhluk-Nya.

 

Data hingga Rabu (22/7/2020) pagi total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 15.080.860 kasus, 9.102.398 sembuh, dan 618.407 orang meninggal. Di Indonesia sampai Rabu sore tercatat 91.751 orang, 50.255 dinyatakan sembuh, dan 4.459 orang meninggal. Di antara yang tertular dan meninggal para tenaga kesehatan.

 

Sebagian orang mungkin berpendapat ringan. Risiko dokter dan tenaga kesehatan memang seperti itu. Apa setega itukah cara kita berpikir dan bersikap sebagai sesama insan? Tidakkah tahu bahwa mereka sejatinya berprofesi untuk kemanusiaan. Pola hidup dan ritme kerjanya pun nyaris 24 jam tanpa keteraturan. Di kala pandemi bahkan harus berada di garda depan.

 

Seorang dokter muda, yang kehilangan ayahnya yang sama-sama dokter ketika bertugas di rumah sakit terkait korona menulis pilu di akun Twitter dan Instagram-nya. “Yang menyedihkan buat pasien suspek Covid-19 adalah meninggal sendirian, sesak sendirian. Mau minta tolong? Enggak ada perawat berjaga, ruangan isolasi tertutup, keluarga enggak bisa lihat. Tahu apa yang papa lakukan pas sesak tadi malam?” tulisnya.

 

Dia ikhlas ayahnya gugur, tapi geram dengan sikap egois orang-orang. "Marah? Jelas saya marah karena ada orang-orang egois macam kalian yang enggak mau nurut dan bawa penyakit buat keluarga kita. Jujur saya dua minggu ini bahkan nggak pulang, takut ketemu orang tua. Mengapa? Karena saya kerja di RS dan saya paham betul di rumah saya ada dua orang berusia di atas 60 tahun yang harus dilindungi. Saya nggak punya pilihan untuk #DiRumahAja karena saya masih jaga. Saya nggak dapet jatah swab dari RS karena terbatas. Ya saya telan aja sendiri semuanya," akunya.

 

Nilai kemanusiaan

 

Banyak kisah pilu dan tragis dari kematian terkait pandemi korona di negeri ini dan di banyak belahan bumi. Seorang dokter perempuan, Madhvi Aya dari India yang bertugas di Woodhull Medical Center, Brooklyn Amerika Serikat, menjadi martir korona dalam melayani sesama.

 

Dia tak bisa memenuhi janjinya untuk bertemu putri tercinta dan keluarganya untuk pulang ke negeri tempat kelahirannya. Sederat kisah tragis itu jangan dianggap lumrah dan murah. 

 

Sungguh tidak manusiawi bila masih menganggap ringan wabah ini. Lebih-lebih dengan bermain angka statistik. Bahwa korban mati akibat Covid-19 tidak seberapa dibanding karena kanker, kecelakaan, dan kematian lainnya.

 

Apakah nyawa manusia layak distatistik, padahal satu jiwa pun sangat mahal harganya. Apalagi ditambah argumen serampangan, tanpa Covid pun banyak manusia sakit dan mati setiap hari. Semurah itukah harga manusia?

 

Di mana hati dan rasa insan bekeadaban mulia ketika kematian dianggap biasa seolah manusia nilainya sama dengan benda. Benda mati saja dihargai. Bahkan ada yang mendewakan benda mati seperti emas, uang, dan perhiasan dunia lainnya. Mengapa manusia diposisikan begitu murah, padahal konon kita hidup di alam modern ketika hak asasi manusia diletakkan sedemikian tinggi. 

 

Lantas, di mana pola pikir modern itu menyentuh jantung terdalam dari penghargaan terhadap jiwa manusia lebih dari sekadar verbalisme hukum dan kredo politik? Boleh jadi ilmu pengetahuan modern sudah begitu terkontaminasi oleh filsafat dan paradigma positivisme yang membentuk manusia pemiliknya menjadi mati rasa terhadap nilai-nilai terdalam kemanusiaan.

 

Ilmu pengetahuan berhenti pada apa yang oleh Max Weber disebut nalar rasional-instrumental. Sama sebangun dengan cara pandang agama yang bersifat puritan dalam nalar bayani yang serbakulit luar dan garang.

 

Ilmu pengetahuan, pola pikir modern, agama, dan orientasi sekuler saat ini boleh jadi kurang empati pada nilai-nilai dan derita manusia yang autentik. Sebatas kulit luar. Sementara uang, materi, investasi, ekonomi, teknologi, dan sejenisnya memperoleh tempat tertinggi.

 

Mudah-mudahan negara pun tidak memandang enteng tentang orang sakit dan mati akibat pandemi korona. Jika itu terjadi, mungkin apa yang ditulis Karl Marx tentang era “materialisme sejarah” sejatinya tidak pernah mati, meski luarannya banyak pihak menolak Marxisme sebagai teori dan ideologi. 

 

Jangan sampai hanya mereka yang mengalami derita kemanusiaan yang mesti menghayati arti penting manusia dengan segala dimensi kemanusiaanya. Nelson Mandela berujar, "There were many dark times when my human values? were greatly tested, but I did not want and could not give in to despair. Because if so there is defeat and death”.

 

Bahwa “ada banyak saat-saat kelam ketika nilai kemanusiaan saya sangat diuji, tetapi saya tidak mau dan tidak bisa menyerah pada keputusasaan. Karena jika begitu ada kekalahan dan kematian.”

 

Mandela bahkan berani memaafkan orang-orang yang menzaliminya di era rezim apartheid Afrika Selatan. Meski dia tak melupakannya.

 

Tuhan Mahakasih

 

Bagaimana Islam memandang manusia dan kemanusiaan? Umar bin al-Khattab mengisahkan. Suatu kali Rasulullah kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari putranya yang masih kecil. Ketika dia berhasil menemukan putranya di antara tawanan itu, dia pun memeluk erat-erat ke tubuhnya. 

 

Rasulullah bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR Bukhari & Muslim).

 

Di hadis lain Nabi bersabda yang artinya, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR Muslim, dll).

 

Nabi Muhammad lebih dari itu telah mengajarkan risalah Islam dalam memandang kemanusiaan. Ketika dilempari batu hingga terluka pada saat pergi ke Thaif, baginda Nabi justru mencegah Malaikat Jibril yang menawarkan agar penduduk kawasan subur di jazirah Arab Saudi itu diberi azab Tuhan.

 

Di kala Fathu Makkah, Nabi Muhammad bahkan menjamin seluruh jiwa penduduk kawasan Ka'bah itu tetap aman dan terlindungi. Padahal dulu betapa kejam kaum jahiliyah itu sikapnya kepada Nabi dan kaum Muslim. Nyawa manusia sangat dujunjung tinggi dalam pesan risalah damai nirkekerasan.

 

Jika Tuhan dan Nabi akhir zaman begitu mengasihi manusia, mengapa di antara manusia masih ada yang tidak peduli dengan nasib sesamanya? Apalagi bila berbuat zalim, khianat, dan segala yang merugikan hidup insan lainnya maupun lingkungan tempat seluruh makhluk Tuhan hidup di manapun.

 

Manusia seperti ini mati hati, pikiran, dan persaannya sebagai sesama insan Tuhan. Padahal Tuhan saja Mahakasih terhadap seluruh makhluk-Nya, terlebih kepada manusia. Tapi Dia akan berubah murka kepada manusia yang tidak mengasihi sesama dan lingkungannya. Apalagi bila berbuat kerusakan di muka bumi.

 

Bila atas nama agama masih ada hati, pikiran, dan tindakan egois yang cenderung tidak peduli pada keselamatan jiwa manusia. Ketika pertimbangan “hifdz-nafs” (menjaga jiwa) masih dipertentangkan dengan “hifdz-din” (menjaga agama) dengan nalar hitam putih.

 

Islam mengajarkan penyelamatan agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan secara simultan dalam satu kesatuan tujuan syariat. Allah SWT bahkan memaklumatkan, membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh umat manusia, serta menghidupkan satu nyawa sama dengan menghidupkan seluruh nyawa manusia (QS al-Maidah: 32). 

 

Kesimpulannya lebih dari cukup. Kenapa masih keras hati menyaksikan derita sesama akibat korona? Berapa korban lagi yang diperlukan untuk menjadikan sadar dan peduli pada harga termahal jiwa manusia.

 

Insan beriman tentu harus menghargai jiwa sesama dengan sukma cinta. Sebab, Tuhan pun mencintai manusia dan seluruh makhluk-Nya dengan penuh kasih! []

 

REPUBLIKA, 27 Juli 2020

Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar