Biografi Imam Qira’at Abu al-Hasan al-Kisa’i
Kufah merupakan negeri yang banyak melahirkan intelektual Muslim yang berbakat
dalam bidangnya. Ia menjadi tempat yang “empuk” untuk memupuk intelektualisme,
ibarat lautan yang tak pernah habis airnya walau di saat surut.
Ada tiga nama besar imam qira’at Al-Qur’an sab’ah yang lahir di Kufah dengan kompetensi tambahan yang berbeda: (1) Imam Ashim, ahli qira’at sekaligus ahli hadis, (2) Imam Hamzah, ahli qira’at sekaligus ahli faraidh, (3) Imam Ali al-Kisa’i, ahli qira’at sekaligus ahli gramatika bahasa Arab. Imam al-Kisa’i merupakan imam qira’at yang menempati posisi ketujuh dalam ururtan para imam qira’at sab’ah. Pada mulanya, imam ini tidak masuk dalam urutan imam qira’at sab’ah (tujuh), sebab posisi ke tujuh ditempati oleh Imam Ya’kub al-Hadrami, imam qira’at yang ke sembilan dalam urutan qira’at asyrah (sepuluh). Tapi kemudian Imam al-Mujahid melalui penelitiannya yang mendalam, ia menempatkan Imam al-Kisa’i pada posisi ke tujuh dalam qira’at sab’ah.
Penempatan ini tidak didasarkan pada faktor politik atau kedekatannya dengan sang khalifah, yaitu Harun al-Rasyid, namun karena faktor kemutawatiran sanad dan dedikasinya dalam mengajarkan qira’at Al-Qur’an. Selain itu, Imam al-Hadrami adalah salah satu murid dari Imam al-Kisa’i, artinya secara standarisasi transmisi sanad, Imam al-Kisa’i lebih unggul.
Biografi Imam al-Kisa’i
Namanya Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Utsman bin Bahman bin Fairuz Maula bani Asad. Nama panggilannya (kuniyah) Abu al-Hasan dan dikenal dengan julukan al-Kisa’i. Julukan ini disematkan kepadanya, karena ia memakai baju ihram di kota Kisa’. Ia adalah salah satu imam qira’at sab’ah, yang berasal dari Kufah, kemudian tinggal dan menetap di kota Baghdad.
Perjalanan Intelektualnya
Perjalanan intelektual Imam al-Kisa’i ini berawal dari belajar Al-Qur’an dan ilmu dasar-dasar ilmu keislaman lainnya kepada beberapa guru dikampung halamannya, Kufah. Kemudian dilanjutkan belajar secara serius dan mendalam kepada beberapa ulama, salah satunya adalah:
1. Imam Hamzah bin Habib al-Zayyat. Kepada Imam Hamzah ini, ia mengkhatamkan Al-Qur’an empat kali dan menjadi rujukan dalam qira’atnya. Suatu ketika Imam al-Kisa’i ditanyakan siapa yang menjadi rujukan qira’atnya, ia pun menjawab penuh antusias, Imam Hamzah.
2. Imam Muhammad bin Abi Laila, ia belajar kepada Isa bin Abdurrahman dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad Saw,.
3. Imam Isa bin Umar al-Hamadani kepada (1) Imam Ashim, (2) Thalhah bin Musrif, (3) al-A’masy.
4. Imam Abu Bakar bin Ayyasy, Syu’bah, perawi Imam Ashim, ia belajar kepada Imam Syu’bah beberapa huruf (bacaan) saja.
5. Ismail bin Ja’far belajar kapada beberapa guru, salah satunya adalah, (1) Syaibah bin Nashshah, (2) Nafi’, (3) Sulaimam bin Jammaz, (4) Ibnu Wardan.
6. Zaidah bin Qudamah belajar kepada al-A’masy.
Pada masanya, Imam al-Kisa’i adalah panutan masyarakat Baghdad dalam soal qira’at Al-Qur’an, bahkan ia adalah orang yang paling alim dan paling menguasai dalam hal itu. Atas dasar kedalaman dan kealimannya, kemudian ia diangkat menjadi pimpinan madrasah qira’at Al-Qur’an di Kufah setelah Imam Hamzah.
Oleh karena itu, maka tak ayal jika Imam al-Kisa’i kemudian dikenal oleh masyarakatnya sebagai orang yang tsiqah, terpercaya dalam menukil qira’at Al-Qur’an. Sebab sejarah telah mencatat bahwa al-Kisa’i adalah orang yang tsiqah dan amanah.
Sejarah adalah sebaik-baiknya saksi dalam hal ini. Imam Salamah bin Ashim berkata bahwa Imam al-Kisa’i berkisah: “Saya melaksanakan shalat bersama Harun al-Rasyid, kemudian dia kaget dan heran dengan bacaan saya. Saya telah melakukan kesalahan dalam bacaan saya, bahkan anak kecilpun tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Misalkan saya mau membaca (لعلهم يرجعون) tapi justru saya membaca (لعلهم يرجعين), demi Allah, Harun al-Rasyid tidak berani mengatakan bahwa saya salah.
Setelah salam, Harun al-Rasyid bertanya kepada saya: “Bahasa apa yang kamu baca itu?. Saya pun menjawab: “wahai Amirul Mukminin, orang yang baik pun akan tergelincir kesalahan. Kemudian dia memjawab: “jika seperti itu, iya benar”. Cerita ini menunjukkan keberanian dan amanahnya Imam al-Kisa’i dalam menukil qira’at Al-Qur’an. Ketika ia salah, maka ia mengakui atas kesalahan itu, tidak menutupinya demi reputasi atau pangkat. Demikian adalah akhlak dan suluk ulama terdahalu.
Selain itu, Imam al-Kisa’i juga seorang imam yang rendah hati dan sangat hati-hati dalam menjawab sebuah pertanyaan yang disampaikan kepadanya, ia lebih takut kepada Tuhannya daripada menjawab dengan “grusa-grusu” tanpa pertimbangan yang matang dan baik.
Imam al-Farra’ bercerita: “Suatu hari saya bertemu al-Kisa’i, seakan-akan ia sedang menangis. Kemudian saya bertanya: “kenapa Anda menangis?. Ia menjawab: “Yahya bin Khalid mendatangiku dan bertanya tentang sesuatu kepadaku, jika aku menjawab lambat, maka ia akan menghinaku, tapi jika aku menjawabnya segera, maka aku tidak jamin selamat dari kesalahan.
Saya pun mengutarakan pendapat: “Wahai Abu al-Hasan, siapa yang akan menyanggahmu, katakan sebagaimana yang kamu inginkan, engkau adalah Imam al-Kisa’i.
Kemudian ia pun menaruh tangannya di mulutnya, seraya berkata: “Semoga Allah memutuskan (memaafkan)-nya, jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui.
Di samping itu, Imam al-Kisa’i juga seorang yang sangat haus ilmu dan antusias dalam menuntut ilmu, bahkan ia harus mengorbankan jiwa raganya untuk menyelami ilmu yang orisinil dari sumbernya. Ini dibuktikan olehnya dengan belajar langsung kepada orang Arab badui perkampungannya. Ia rela mendatangi mereka dan berbaur dengan mereka untuk mendapatkan ilmu dari sumbernya yang orisinil.
Imam al-Farra’ berkata: “al-Kisa’i belajar ilmu nahwu atas dasar kebanggaan, karena ia datang kepada sebuah kaum (badui). Suatu ketika ia merasa capek dan mengucapkan: “(عَيَيْتُ) (saya capek), mereka protes dan berkata: “Kamu belajar kepada kami, berbaur dengan kami tapi kamu masih melakukan kesalahan (dalam pengucapan), kemudian al-Kisa’i menyanggah: “Bagaimana mungkin saya melakukan kesalahan”. mereka pun menjawab: “Jika kamu hendak mengungkapkan rasa capek, maka katakan (أَعْيَيْتُ), tapi jika kamu mau mengungkapkan menghilangkan tipu daya dan pusing dalam suatu urusan, maka katakan (عَيَيْتُ), maka ia pun marah dan bergegas berdiri seraya bertanya orang yang dapat mengajarkannya ilmu nahwu, maka ia ditunjukkan kepada Muadz bin al-Harra’, ia pun kemudian belajar dan bermulazamah dengannya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Bashrah untuk belajar kepada al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Dalam Tarikh Ibnu Katsir disebutkan bahwa Imam al-Kisa’i belajar kepada Imam al-Khalil tentang kompetensi ilmu nahwu. Suatu hari dia bertanya kepada Imam al-Khalil: “Kepada siapa engkau belajar ilmu ini?. beliau menjawab: “Belajar (kepada orang badui) di lembah tanah Hijaz. Maka, sejak saat itulah, al-Kisa’i berangkat ke lembah Hijaz demi memenuhi hasratnya menuntut ilmu nahwu. Di sana, ia banyak mencatat pengetahuan dari orang-orang Arab. Setelah dirasa sudah cukup membaur dan mengambil ilmu dari orang Arab. Maka dia kembali menemui gurunya, al-Khalil. Namun sayang, ia tidak dapat menjumpainya karena sudah wafat. Posisi dan kedudukan al-Khalil pun digantikan oleh Imam Yunus.
Perjumpaannya dengan Imam Yunus berlangsung baik dan keduanya melakukan diskusi keilmuan yang mendalam. Imam al-Kisa’i menunjukkan kelasnya sebagai ahli dalam dalam bidang nahwu hingga kemudian Imam Yunus mengakui keunggulan Imam al-Kisa’i dan menyerahkan posisinya kepada Imam al-Kisa’i.
Imam al-Kisa’i merupakan imam qira’at sekaligus pakar nahwu dan bahasa. Imam al-Fudhail bin Syadzan memujinya dengan mengatakan: “Setelah al-Kisa’i menyelesaikan belajar kepada Imam Hamzah, ia pergi ke kampung badui, ia berbaur dan tinggal bersama mereka dan mempelajari seluk beluk bahasa mereka, sehingga ia menjadi bagian dari mereka. Kemudian ia kembali ke kota dan menjadi ahli dalam bidang bahasa”.
Qira’at Imam al-Kisa’i
Qira’at Imam al-Kisa’i bukan sebuah qira’at yang dihasilkan dari berbagai dialek Arab dan bukan pula sebagai aliran baru dalam dunia qira’at Al-Qur’an. Tapi qira’at al-Kisa’i adalah hasil seleksi dan pemilihan dari berbagai qira’at yang dipelajari dari guru-gurunya.
Imam Abu Ubaid berkata dalam kitab “al-Qira’at”: “Imam al-Kisa’i melakukan seleksi dan pemilihan dalam qira’at, kadang ia mengambil sebagian qira’at Hamzah dan menginggalkan sebagiannya. Tidak ada yang lebih dhabit (menguasais secara baik dan benar) dan lebih tegak dalam bidang qira’at Al-Qur’an daripada Imam al-Kisa’i”.
Imam Mujahid berkata: “Imam al-Kisa’i melakukan penyeleksian dan pemilihan dari bacaan Imam Hamzah dan imam yang lainnya (guru-gurunya) sebagai bacaan standar-nya (tengah-tengah), tidak keluar dari atsar para imam pedahalunya. Ia adalah imam qira’at Al-Qur’an pada masanya”. Selain itu, banyak warganya menggunakan dan membaca qira’atnya sebagai bacaan mereka, dan membaca mushaf mereka dengan menggunakan qira’atnya.
Komentar Ulama
Imam Ismail bin Ja’far al-Madani, murid senior Imam Nafi’, berkata: “Saya tidak pernah menemukan seorang yang lebih mahir dalam soal qira’at Al-Qur’an daripada Imam al-Kisa’i”.
Imam Abu Bakar al-Anbari berkata: “Imam al-Kisa’i merangkap beberapa kompetensi, ia paling mahir dalam bidang gramtikal bahasa Arab, dan satu-satunya orang yang paling mengerti dalam bidang gharib, dan satu-satunya pula orang yang mahir dalam bidang Al-Qur’an. Mereka banyak membersamainya dan melakukan khalaqah dengan mereka. Ia duduk di atas kursi dengan membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir, mereka mendengarkan dan meneliti secara seksama mulai dari al-Maqati’ sampai al-Mabadi’.
Sebagian ulama berkata: “Imam al-Kisa’i ketika membaca Al-Qur’an atau berbicara, seakan-akan malaikat menjelma ke dalam lisannya dan berbicara”.
Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku ini yang lebih bagus bahasa (dialeknya) daripada al-Kisa’i”.
Imam al-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang ingin mendalami ilmu nahwu, maka ia (butuh) berhutang budi kepada Imam al-Kisa’i”.
Imam yang lain mengatakan bahwa Imam al-Kisa’i adalah pemimpin thabaqah qira’at, bahasa, nahwu dan kepemimpinan. Dia yang mengajarkan akhlak dua anak Harun al-Rasyid; al-Amin dan al-Makmun.
Sebagian ulama bermimpi bertemu dengan al-Kisa’i, kemudian menanyakan keadaanya dan apa yang berikan oleh Allah kepadanya: beliau menjawab: “Allah telah mengampuni (dosa-dosa)ku sebab Al-Qur’an. Lantas ia bertanya kembali tentang Imam Hamzah, beliau menjawab: “Beliau berada di tempat yang sangat tinggi, kita tidak akan melihatnya kecuali seperti bintang gemintang.
Karya Imam al-Kisa’i
Selain melahirkan karya berupa murid-murid yang berkompeten dalam bidang qira’at Al-Qur’an dan bahasa Arab, Imam al-Kisa’i juga banyak melahirkan karya tulis, baik dalam bidang qira’at Al-Qur’an maupun bidang gramatika bahasa Arab. Meskipun demikian, menurut penuturan Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, karya-karya ini hanya namanya saja yang dikenal namun sampai saat ini tidak pernah dijumpai bentuk wujudnya, bahkan tidak diketahui sedikitpun karya-karya itu.
Salah satu karyanya adalah: kitab Ma’ani Al-Qur’an, kitab al-Qira’at, kitab al-Nawadir, kitab al-Nahwi, kitab al-Haja’, kitab Maqtu’ Al-Qur’an wa Maushuluhu, kitab al-Mashadir, kitab al-Huruf, kitab al-Ha’at, kitab Asy’ar”.
Wafatnya Imam al-Kisa’i
Setelah mendarma-baktikan kepada Al-Qur’an dan qira’atnya, Imam al-Kisa’i kembali ke pangkuan Tuhan pemilik jiwa dan raga. Banyak dari kalangan masyarakat umum, penuntut ilmu, dan murid-muridnya bahkan para ulama se zamannya, merasa kehilangan atas kepergiannya.
Para ulama berbeda pendapat soal tahun wafatanya Imam al-Kisa’i. Menurut pendapat yang paling sahih, ia wafat pada tahun 189 saat berumur 70 tahun. Pada tahun itu bertepatan dengan tahun wafatnya salah seorang faqih dari kalangan Hanafiyah, yaitu Imam Abu al-Hasan al-Syaibani.
Diceritakan bahwa Imam al-Kisa’i wafat di kampung Ranbawaih, kota Ray, waktu menemani Harun al-Rasyid, ketika sedang menuju kota Khurasan, bersamaan dengan wafatnya salah satu murid Imam Abi Hanifah, Imam Muhammad al-Hasan al-Syaibani, diwaktu dan tempat yang sama.
Imam Harun ar-Rasyid bersedih seraya berucap: “Kita menguburkan (orang yang ahli) fiqh dan (orang yang ahli) nahwu di kota Ray di saat bersamaan. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ar-Rasyid mengatakan: “Hari ini kita mengubur fiqh dan nahwu (secara bersamaan)”.
Murid-muridnya
Imam al-Kisa’i telah menempati posisi yang sangat tinggi dalam bidang bahasa dan qira’at Al-Qur’an. Atas ketekunan dan keseriusannya dalam mempelajari suatu ilmu ia kemudian menjadi pemimpin masyarakatnya, baik dalam bidang bahasa maupun qira’at Al-Qur’an. Maka tak ayal, banyak dari kalangan penuntut ilmu belajar kepadanya, baik belajar secara langsung dengan membaca dihadapannya (ardhan; setoran) maupun hanya sekadar menyimaknya (sima’an) tanpa melalui setoran secara langsung, salah satunya adalah Ahmad bin Jubair, Ahmad bin Mansur al-Baghdadi, Hafs bin Umar al-Duri, Abu al-Harits al-Laits bin Khalid, Abdullah bin Ahmad bin Dzakwan (Imam Dzakwan ini belajar kepada Imam al-Kisa’i saat ia datang ke negara Syam), Abu Ubaid bin al-Qasim bin Sallam, Qutaibah bin Mahran, al-Mughirah bin Syuaib, Yahya bin Adam, Khalaf bin Hisyam al-Bazzar, Syuraih bin Yazid, Yahya bin Yazid al-Farra’.
Selain itu, ada sebagian murid-muridnya yang sekedar belajar beberapa huruf (bacaan) saja, yaitu; Ya’kub bin Ishaq al-Hadrami.
Namun diantara murid-muridnya, ada dua muridnya yang paling terkenal dan menjadi perawi qira’atnya, yaitu Abu al-Harits dan al-Duri.
Imam al-Duri yang dimaksud di sini adalah Imam al-Duri yang sekaligus menjadi perawi Imam Abu Amr al-Bashri. Artinya ia menjadi perawi dua imam qira’at sekaligus; perawi Imam Abu Amr al-Bashri dan Imam al-Kisa’i.
Oleh karena demikian untuk profil Imam al-Duri bisa dibaca kembali di biografi perjalanan Imam Abu Amr al-Bashri. Penulis di sini hanya menguraikan tentang profil dan perjalanan intelektual Imam Abul Harits.
1. Imam Abul Harits
Namanya adalah al-Laits bin Khalid al-Marwazi al-Baghdadi, kuniyahnya adalah Abu al-Harits.
Ia al-Laits adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dhabit (kuat hafalanya dan menguasai), hadziq (cerdas) dan muhaqqiq (peneliti).
Perjalanan Intelektual Abul Harits
Pada mulanya, ia belajar Al-Qur’an kepada beberapa ulama pada masanya, namun secara khusus dan mendalam ia belajar Al-Qur’an dan qira’atnya kepada Imam al-Kisa’i, sebab ia termasuk murid senior al-Kisa’i.
Selain belajar kepada Imam al-Kisa’i, ia juga belajar sebagian huruf (qira’at) kepada Hamzah bin al-Qasim al-Ahwal, dan kepada Yahya bin Mubarak al-Yazidi.
Meskipun ia belajar kepada beberapa guru yang ada pada masanya, namun ia lebih fokus menyebarkan dan mengajarkan qira’at Imam al-Kisa’i kepada murid-muridnya, sehingga ia dikenal sebagai perawi Imam al-Kisa’i.
Murid-muridnya
Setelah melakukan perjalanan intelektual dari guru ke guru yang lainnya, kemudian ia mendarma-baktikan dirinya untuk menyeberkan ilmu yang didapatkan dari guru-gurunya.
Ada banyak penuntut ilmu pada masanya yang datang berguru kepadanya, baik yang setoran secara langsung (ardhan) maupun hanya sekedar mendengarkan saja (sima’an), salah satunya adalah Salamah bin Ashim, santrinya Imam al-Farra’, Muhammad bin Yahya al-Kisa’i al-Shaghir, al-Fadhl bin Syadzan. []
(Tulisan disadur dari kitab “Tarikh al-Qurra’ al-Asyrah wa ruwwatuhum” karya Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, [Kairo: Maktabah al-Qahirah], 2010; dan "Mu'jam Huffadz Al-Qur'an Abra al-Tarikh" karya Salim Muhaisin. Jilid I, [Bairut: Dar al-Jayl], 1992; “Asanid al-Qurra' al-Asyrah wa Ruwwatuhum al-Bararah”, karya as-Sayyid Ahmad Abdurrahim [Mesir: al-Jami'ah al-Khairiyah li Tahfidzil Qur'an, 2011])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar