Rabu, 26 Agustus 2020

Buya Syafii: Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (IV)

Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (IV)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Perlu juga dicatat, seperti halnya Muso, Kartosoewirjo bukan saja nyantri pada Tjokroaminoto, bahkan menjadi sekretaris bapak nasionalisme Indonesia itu di Partai Sarekat Islam.

 

Pada 17 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Desa Cisampang, Kecamatan Ciawuligar, Tasikmalaya, sedangkan tentaranya bernama Tentara Islam Indonesia (TII).

 

Maka itu, NII adalah negara dalam negara. Alangkah susahnya menjaga persatuan nasional di Indonesia yang baru saja merdeka sehingga harus dipertahankan dengan berdarah-darah antara sesama anak bangsa.

 

Namun, Jakarta tentu tidak selalu benar dalam menyikapi para pembangkang yang keras kepala ini. Memang, tidak jarang berlaku dalam sejarah, kekuasaan juga dibangun di atas tengkorak manusia.

 

Adapun Daud Beureueh adalah pemimpin puncak Persatuan Ulama Seluruh Aceh, gubernur Militer Aceh masa revolusi, seorang yang cerdas penuh wibawa.

 

Namun, karena kecewa berat dengan pemerintah pusat yang tidak memperhatikan pembangunan Aceh, tokoh ini berbalik arah untuk mendirikan Darul Islam (DI) pada 20 September 1953, dan langsung bergabung dengan Kartosoewirjo.

 

Gerakan ini bertahan selama 13 tahun sampai dengan Desember 1962, empat bulan setelah Kartosoewirjo dihukum tembak di Pulau Seribu pada 5 September 1962 atas instruksi pemerintahan Presiden Sukarno.

 

Bung Karno sebenarnya adalah teman Kartosoewirjo ketika tinggal di rumah Tjokroaminoto tahun 1920-an. Dari almarhum Taufiq Kiemas, saya diberi tahu, pada saat Presiden Sukarno menandatangani hukuman mati untuk Kartosoewirjo, tangan presiden pertama itu gemetar.

 

Maklumlah, yang akan dihukum mati ini adalah konco lawasnya, allahu a’lam! Bung Karno, di akhir hayatnya juga menderita, sebagaimana pada saatnya nanti dibicarakan dalam seri bintik-bintik hitam ini.

 

Latar belakang pembangkangan Kahar Muzakkar yang sebelumnya pernah berperang di Jawa melawan Belanda, dapat ditelusuri berikut ini.

 

Pada saat rapat umum di lapangan Ikada Jakarta pada 19 September 1945, Kahar adalah satu-satunya prajurit dengan senjata golok untuk melindungi Sukarno-Hatta dari pasukan Jepang yang bersenjatakan bayonet.

 

Sejak peristiwa Ikada ini, Kahar menjadi anak kesayangan Bung Karno yang tergabung dalam Batalion Kesatuan Indonesia (BKI). Namun, perjalanan karier militer Kahar tidaklah linear, berliku.

 

Karena merasa dirinya berjasa untuk Indonesia, Kahar sungguh berharap agar dirinya suatu saat diangkat jadi panglima Teritorium VII Hasanuddin di Makassar, tetapi tidak pernah dikabulkan. Dia hanya diangkat sebagai pejabat Wakil Panglima teritorium VII.

 

Kahar lalu marah dan langsung masuk hutan bersama pengikutnya dengan membawa persenjataan lengkap.

 

Pada 7 Agustus 1953, Kahar mengubah nama pasukannya menjadi TII, setelah bergabung dengan Kartosoewirjo sebelumnya pada 20 Januari 1952, seperti halnya Daud Beureueh di Aceh.

 

Setelah bergerilya selama 12 tahun, Kahar akhirnya tertembak mati pada 2 Februari 1965 dalam usia 44 tahun.

 

Untung saja ketika itu, Panglima Hasanuddin adalah Kol M Jusuf, Bugis asli, bukan dari etnis lain. Penangkapan Kahar berada di bawah komando Jusuf. Pelaksana di lapangan dari pasukan Kujang, Siliwangi. Jika dari etnis lain, bisa lain ceritanya.

 

Memang masalah Kahar ini menjadi rumit, jauh lebih rumit dibandingkan masalah Kartosoewirjo dan Daud Beureueh. Seperti halnya Jenderal Sudirman, Kahar punya latar belakang pendidikan Muhammadiyah di Solo.  

 

Sampai hari ini, tak seorang pun yang tahu di mana Kahar dimakamkan. M Jusuf memang sengaja merahasiakannya dengan dua pertimbangan: menghindari agar tidak jadi pusat syirik oleh pendukungnya dan agar tidak mengilhami pemberontakan lain kemudian hari.

 

Dari info yang saya dapat, Kahar ini seorang yang cerdas, berani, tetapi sukar mengendalikan emosi. Watak semacam ini terlihat juga pada diri Amir Sjarifuddin. Akhirnya, heroisme ketiga tokoh santri di atas tidak diragukan lagi.

 

Namun, karena tidak dikawal akal sehat dan perhitungan yang rasional, semuanya berujung dengan sebuah kesia-siaan, penderitaan, dan korban yang bergelimpangan di kalangan rakyat jelata.

 

Lalu, Islam yang dijadikan tameng gerakan mereka, tentu telah menimbulkan stigma bagi agama yang mengajarkan perdamaian abadi ini. []

 

REPUBLIKA, 11 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar