Jumat, 28 Agustus 2020

Zuhairi: Lebanon di Persimpangan Jalan

Lebanon di Persimpangan Jalan

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Lebih dari sepekan setelah ledakan maut di Pelabuhan Marfa', Beirut, Lebanon masih berada di persimpangan jalan. Selain dampak yang mematikan dan tragis itu, dari segi korban manusia dan infrastruktur, masalah politik dalam negeri menyisakan luka yang sangat mendalam. Warga Lebanon mendesak lebih dari sekadar penegakan hukum bagi pelaku ledakan, melainkan juga perubahan politik yang bersifat menyeluruh.

 

Mungkin saja, ledakan yang merenggut ratusan jiwa itu akan bermetamorfosis menjadi ledakan sistem politik, bahkan konstitusional. Ketidakpercayaan terhadap rezim yang berkuasa terus membuncah. Rupanya publik mulai kehilangan kesabaran terhadap para elite politik, sehingga dalam beberapa hari terakhir mereka mendesak perubahan yang bersifat menyeluruh. Tidak terkecuali, Pimpinan Hezbullah, Hasan Nasrullah meminta agar siapapun yang bertanggung jawab atas ledakan tersebut harus diadili dan diberi sanksi. Pemerintah harus memenuhi tuntutan rakyat untuk memberikan pelayanan yang maksimal dan semestinya.

 

Tuntutan publik tersebut direspons dengan baik oleh Hassan Diab, Perdana Menteri yang mengajukan kemunduran dirinya sekaligus membubarkan kabinetnya. Sebelumnya, Menteri Penerangan Manal Abdel Samad terlebih dahulu mengajukan kemunduran sebagai jawaban atas desakan publik. Begitu pula beberapa anggota parlemen mundur untuk memenuhi aspirasi publik yang tidak percaya lagi dengan seluruh perangkat kekuasaan saat ini.

 

Pemandangan tersebut menjadikan Lebanon berada dalam situasi politik yang sangat tidak kondusif. Sebab pada saat harus memulihkan para korban ledakan dan membangun kembali rumah-rumah yang luluh-lantak, yang konon jumlahnya mencapai 300.000 tempat tinggal itu, masalah politik juga menjadi yang paling rumit. Bagaimana bisa memulihkan keadaan, jika seluruh elemen tidak bersatu untuk bangkit dari keterpurukan?

 

Saat ini, Lebanon sedang menghadapi pengangguran yang konon mencapai 50% dari jumlah penduduk. Ledakan mahadahsyat juga menyebabkan krisis pangan yang cukup serius, karena pelabuhan tidak berfungsi lagi. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan pemerintah untuk membangun infrastruktur akibat ratusan ribu rumah yang hancur, serta sejumlah infrastruktur yang biasa melayani publik tidak bisa digunakan lagi. Lebanon membutuhkan suntikan fulus mencapai 5 miliar dolar AS.

 

Maka dari itu, ada tiga agenda serius yang sedang dihadapi oleh Lebanon, yaitu pemulihan ekonomi dengan menyediakan lapangan kerja bagi para pengangguran, membangun kepercayaan publik, dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan aspirasi sebagian besar publik yang menghendaki perubahan. Dan semua agenda tersebut tidak mudah dilakukan, karena semuanya harus dilakukan secara paralel.

 

Untuk memulihkan ekonomi, Lebanon membutuhkan pinjaman dari IMF dan dukungan dari dunia internasional. IMF sendiri untuk memenuhi permintaan Lebanon perlu membuat kajian yang menyeluruh, karena pinjaman akan dikucurkan setelah menimbang berbagai alasan, terutama terkait reformasi politik. Maknanya, pemerintah Lebanon sekarang berada di dalam tekanan IMF. Jika mereka tidak mampu memenuhi harapan IMF, maka pinjaman akan ditolak. Sementara tunduk pada IMF juga akan menimbulkan penentangan dari publik, terkait dengan kedaulatan politik.

 

Dalam konteks ini, tidak ada pilihan yang ideal bagi pemerintah Lebanon. Belum lagi, bantuan asing yang dikoordinasi oleh Prancis semakin menimbulkan kecurigaan bahwa ada udang di balik batu. Prancis menggunakan narasi donasi asing untuk mendikte masalah politik dalam negeri Lebanon. Saat Presiden Emmanuel Macron melakukan kunjungan ke Lebanon beberapa hari setelah ledakan, ia terlihat menemui publik dan pihak oposisi yang tidak percaya pada rezim yang berkuasa saat ini. Banyak pihak yang mengaitkan safari politik Macron dengan kolonialisme di masa lampau, yang menyebabkan Lebanon berada dalam kubangan konflik.

 

Situasinya makin sulit, apalagi pemerintah Lebanon saat ini sedang membentuk pemerintahan baru pasca-mundurnya Hassan Diab. Dilema baru muncul, karena pertimbangan memilih Perdana Menteri juga terkait dengan kondisi objektif politik dalam negeri dan kepentingan asing, sebagaimana dijelaskan di atas. Ada dua sosok yang mengemuka sebagai kandidat Perdana Menteri, yaitu Saad Hariri dan Muhammad Baasiri.

 

Saad Hariri merupakan sosok yang populer dan mendapatkan dukungan dari sejumlah faksi politik, terutama kalangan Sunni. Namun, masalahnya Hariri bagian dari masa lalu yang juga ditentang oleh publik. Hariri masih dianggap sebagian bagian dari oligarki kekuasaan dan monopoli ekonomi.

 

Sementara Muhammad Baasiri sosok baru yang dikenal dekat dengan AS dan rezim yang berkuasa saat ini. Ia ditengarai tidak mampu memenuhi aspirasi dan ekspektasi publik perihal perubahan yang menyeluruh, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

 

Kedua sosok tersebut setidaknya belum memberikan jawaban yang dapat memuaskan publik. Belum ada sosok yang mampu merepresentasikan aspirasi publik perihal pengentasan kemiskinan, perlawanan pada korupsi, dan pengelolaan negara dengan prinsip-prinsip akuntablitas.

 

Puncaknya, elite politik di Lebanon harus mampu mengembalikan kepercayaan publik, bahwa mereka sepenuhnya akan bekerja dan melayani mereka. Setidak-tidaknya, pemerintah mempunyai agedan-agenda pemulihan ekonomi yang terukur dan terstruktur, sehingga publik mempunyai harapan untuk bangkit di masa mendatang. Publik tidak ingin para elite hanya memikirkan kerabat dan lingkaran kekuasaan belaka.

 

Ledakan maut yang terjadi minggu lalu itu merupakan alarm bagi para elite politik Lebanon. Mereka harus sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Apa yang sudah dilakukan mereka di masa lampau sangat melukai hati rakyat. Saatnya mereka berbuat sesuatu yang spektakuler, yang dapat memberikan kepercayaan dan kepastian bagi rakyat. Langkah tersebut sangat penting sebelum pemilu digelar selambat-lambatnya dalam dua bulan yang akan datang.

 

Pada akhirnya, pemilu akan menjadi ujian bagi rezim yang berkuasa, apakah mereka masih mendapatkan dukungan dari publik, atau sebaliknya publik betul-betul mengharapkan sosok baru dalam lanskap politik.

 

Hari-hari yang akan datang menjadi momen yang tidak mudah, karena semua pilihan membawa Lebanon pada persimpangan jalan. Jalan yang lapang dan menjanjikan selalu tersedia dan terbuka lebar jika para elite politik mau bekerja secara tulus dan memikirkan kepentingan rakyat. Namun, sebaliknya jika para elite gagal menangkap aspirasi rakyat, maka tidak menutup kemungkinan Lebonan jatuh pada kubangan kehancuran yang sangat dalam. Dan untuk memulihkan kembali pasti akan sangat sulit. []

 

DETIK, 13 Agustus 2020

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar