Ajip Rosidi tentang Budaya Sunda
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada 29 Juli 2020, Ajip Rosidi (1938-2020) wafat di Magelang setelah agak lama menderita sakit. Dalam rapat-rapat bulanan Akademi Jakarta di lingkungan Taman Ismail Marzuki atau TIM, selama beberapa tahun, Bung Ajip hampir selalu duduk berdekatan dengan saya.
Berbagai pembicaraan santai kami lakukan sebelum rapat dimulai. Namun, bukan masalah itu yang penting direkamkan dalam memoriam ini. Juga bukan pembicaraan tentang kehebatan sastrawan Sunda yang punya darah Jawa dari sisi ibunya ini karena sudah terlalu banyak diulas orang setelah wafatnya.
Penulis produktif ini telah mengawali kreasinya sejak usia masih belasan tahun. Juga tidak perlu disebut lagi sudah berapa banyak karya tulisnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa mancanegara.
Tuan dan puan mungkin sudah membaca otobiografi Bung Ajip setebal 1.230 halaman: Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008). Buku ini dihadiahkannya kepada saya pada 8 Mei 2008 disertai paraf dan nama penulisnya.
Kritik budaya
Dalam memoriam ini, saya hanya akan membatasi diri sekitar penilaian Bung Ajip tentang budaya Sunda yang diungkapkannya dalam ”Tanya Jawab Diri Sendiri” (lihat halaman 1.204-1.209).
Mungkin orang lain akan menilai Bung Ajip bersikap terlalu keras mengkritik budaya suku ini, tetapi bagi saya sikap semacam itu perlu dilakukan agar kita semua menyadari tentang serba kelemahan budaya suku kita sendiri, seperti juga dilakukan WS Rendra terhadap budaya Jawa.
Dan, sikap serupa saya lakukan pula terhadap budaya Minang kontemporer yang semakin mendangkal dan merosot, nyaris ke titik nadir.
Berikut ini adalah dialog Bung Ajip dengan dirinya sendiri tentang kesundaan itu. ”Bagaimana hari depan kebudayaan Sunda menurut pendapatmu?”
Dijawab: ”Karena orang Sunda sendiri pada hari ini tidak peduli terhadap keberadaan budaya dan orang Sunda, maka tidak ada hari depan”.
Kemungkinannya tergantung pada seberapa banyak tenaga kreatif yang akan timbul dalam situasi yang kritis itu. Seperti dalam hal sastra, selalu muncul penulis-penulis muda yang baru padahal kehidupan sastra Sunda sangat menyedihkan.”
Ditambahkan, ”Sebenarnya mengherankan sekali anak-anak muda yang tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Sunda yang cukup, menulis dalam bahasa Sunda. Bagi mereka lebih mudah menulis dalam bahasa Indonesia dan kalau menulis dalam bahasa Indonesia mereka akan mendapat imbalan yang lebih besar pula… Tidak ada usaha yang jelas dan terencana untuk memelihara dan mengembangkan bahasa dan budaya Sunda, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah…”
Selanjutnya: ”Jadi, apa saja yang dikerjakan orang oleh Sunda (sic.) dalam situasi demikian?” Jawaban yang diberikan Bung Ajip adalah: ”Seperti telah aku katakan, mereka tidak peduli. Mereka sibuk dengan hidupnya sendiri. Mereka tidak punya wawasan tentang hari depannya sebagai komunitas suku. Mereka terlalu terbiasa diperintah. Apa yang biasa mereka lakukan adalah apa yang diperintahkan oleh atasannya.”
Diteruskan, ”Apakah itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa di gelanggang nasional sedikit sekali orang Sunda yang tampil? Jumlah orang Sunda dalam setiap bidang kehidupan yang tampil secara nasional tidak seimbang dengan jumlahnya sebagai suku bangsa terbesar kedua setelah Jawa. Kalah oleh orang Batak, Minang, dan Bugis?”
”Yang sering dibangga-banggakannya terutama silsilah nenek moyangnya karena menjadi pejabat tinggi terutama bupati atau dalem—yang sebenarnya menjadi alat penjajah dalam memeras orang Sunda sendiri. Orang Sunda kurang atau tidak menghargai prestasi karena tidak punya ukuran untuk menilai kerja orang. Mereka terbiasa menganggap baik pada segala hal yang dianggap baik oleh majikannya. Mereka juga menganggap buruk terhadap apa yang dianggap buruk oleh majikannya,” lanjutnya.
Ditanya lagi: ”Mengapa sampai begitu?”
Jawaban Bung Ajip lebih bercorak sejarah: ”Hal itu kecuali karena terlalu lama dijajah, juga karena mereka terputus hubungannya dengan nilai-nilai yang pernah dimiliki oleh karuhun orang Sunda yang terutama tersimpan dalam naskah-naskah berbahasa Sunda Kuna dan ditulis dalam huruf Sunda Kuna yang kebanyakan sampai sekarang belum dibuka isinya… Sekarang pun sudah banyak yang tak bisa dibaca karena rusak parah” (hlm 1207).
Menjaga budaya
Masih ada kritik pedas lanjutan, tetapi saya kutip sampai di situ saja. Tak banyak orang yang mau berterus terang menilai secara kritikal budaya sebuah suku karena dianggap membuka aib sendiri.
Namun, masalahnya adalah jika dibiarkan berlanjut kenyataan serba kelemahan dan kekurangan yang kasatmata itu, maka tidak mustahil budaya suku atau budaya sebuah bangsa akan terus tersungkur dimainkan oleh gelombang globalisasi yang tidak mengenal ampun.
Dengan dalih tidak elok membuka borok sendiri, akibatnya orang akan hidup dalam kebanggaan semu sambil menunggu pukulan palu godam sejarah yang bisa meluluhlantakkan sebuah warisan budaya yang memang sudah lapuk.
Selamat jalan, Bung Ajip, kami semua sedang menunggu giliran, hanya persoalan waktu! []
KOMPAS, 4 Agustus 2020
Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar