Rabu, 19 Agustus 2020

(Ngaji of the Day) Bolehkah Tak Menghadiri Walimah Pernikahan karena Tak Punya Uang?

Bolehkah Tak Menghadiri Walimah Pernikahan karena Tak Punya Uang?

 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Yang terhormat tim redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya mau bertanya mengenai hukum jika tidak menghadiri undangan pernikahan karena tidak punya uang. Terima kasih.

 

Ahmad Alwi – Demak

 

Jawaban:

 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Penanya yang budiman, semoga Allah senantiasa memberikan limpahan keberkahan hidup pada Saudara.

 

Pertanyaan yang Anda sampaikan, menurut pandangan kami masih mengarah pada dua kemungkinan. Yakni antara tidak menghadiri walimah karena tidak memiliki uang yang cukup untuk diberikan pada tuan rumah dan tidak menghadiri walimah karena tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya berangkat menuju acara walimah.

 

Pada persoalan pertama, yakni tidak memiliki uang untuk diberikan pada tuan rumah, secara hukum syariat, hal demikian tidak dikategorikan sebagai uzur yang menggugurkan kewajiban menghadiri walimah pernikahan. Hal ini dikarenakan memberikan uang atau hadiah pada tuan rumah saat acara pernikahan bukanlah hal yang diwajibkan melainkan sebatas perbuatan sunnah dalam bentuk hibah (pemberian). Sehingga seseorang tetap wajib untuk menghadiri acara walimah pernikahan meskipun tanpa memberikan apa pun pada tuan rumah.

 

Berbeda halnya ketika telah diketahui bahwa motif tuan rumah mengundang seseorang karena mengharap pemberian uang dari tamu undangan, maka dalam keadaan demikian tidak wajib bagi seseorang untuk menghadiri undangan walimah pernikahan, sebab acara walimah seperti ini tidak memenuhi persyaratan wajibnya mendatangi acara walimah pernikahan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi berikut:

 

قوله: (وأن لا يحضره) أي ومن الشروط أن لا يكون طلب حضوره لخوف منه على نفس ، أو مال أو عرض أو لطمع في جاهه أو ماله أو حضور غيره ، ممن فيه ذلك لأجله بل يدعوه للتقرب أو الصلاح أو العلم أو نحو ذلك

 

“Sebagian dari syarat (wajibnya mendatangi walimah) adalah motif mengundang seseorang tidak karena khawatir perlakuan buruk darinya pada fisik, harta, dan kehormatan (orang yang mengundang), tidak karena mengharap jabatan atau uang darinya dan tidak karena mengharap hadirnya orang lain yang akan memberikan hal di atas. Tetapi motif mengundang murni untuk mempererat hubungan, berbuat baik, memberi tahu atau hal-hal sesemanya” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi, juz 3, hal. 296).

 

Sedangkan menyikapi persoalan kedua, yakni tidak memiliki uang untuk berangkat menuju acara walimah pernikahan, misalnya karena faktor tempat penyelenggaraan walimah pernikahan yang cukup jauh dan membutuhkan biaya, maka dalam keadaan demikian menghadiri walimah pernikahan bagi seseorang menjadi tidak wajib. Sebab dalam hal ini, ia dianggap tidak mampu.

 

Ketetapan hukum tidak wajibnya menghadiri undangan walimah pernikahan dalam persoalan kedua ini mulanya berangkat dari permasalahan “Seberapa jauh undangan walimah yang wajib untuk dihadiri?”

 

Salah satu pemuka mazhab Syafi’i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa dalam membatasi jarak yang wajib untuk menghadiri walimah, berhubung belum ada ulama sebelumnya yang membatasi tentang hal ini, maka beliau mengarahkan pada tiga kemungkinan yang dapat dijadikan pijakan. Pertama, pada jarak tempuh ‘adwa, yakni jarak tempuh yang sekiranya ketika seseorang berangkat menuju lokasi undangan di pagi hari, maka ia dapat kembali ke rumahnya masih pada hari yang sama (Syekh Rajab Nuri, Dalil al-Muhtaj ala Syarh al-Minhaj, juz 4, hal. 185)

 

Kedua, lokasi undangan tidak melebihi tempat yang wajib didatangi untuk melaksanakan shalat Jumat. Ketiga, menstandarkan lokasi undangan berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat (‘urf). Kemungkinan ketiga ini menurut Ibnu Hajar al-Haitami merupakan pandangan yang paling mendekati kebenaran dan layak untuk dijadikan sebagai pijakan (aula bil-i’timad). Dengan demikian wajib bagi seseorang datang memenuhi undangan pada jarak yang sekiranya penduduk setempat membiasakan hadir pada jarak tempuh tersebut. Namun kewajiban ini berlaku ketika memang seseorang tidak mengalami kesulitan dalam hal biaya untuk berangkat menuju tempat acara dan juga tidak mengalami kendala fisik yang berlebihan (masyaqqah fil badan). Berikut referensi yang menjelaskan tentang hal ini:

 

وبهذا اتجه أن الاحتمال الثاني أقرب وأولى بالاعتماد بل أقرب منه احتمال ثالث وهو تحكيم العرف المطرد عند كل قوم في ناحيتهم فإذا اعتاد أهل ناحية الدعاء من مسافة العدوى فأقل واطرد عرفهم بالإجابة من ذلك وأن ترك الإجابة يوجب كسرا وقطيعة للمدعو وجبت الإجابة من تلك المسافة على القوي الذي لا يترتب عليه من ذلك مشقة في بدنه ولا ماله وإن لم يعتادوا ذلك لم يجب بل لو اعتادوا عدم الدعاء من خارج البلد وإن سمع الخارجون النداء لم تجب الإجابة والله سبحانه وتعالى أعلم

 

“Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua (membatasi jarak kehadiran dengan standar tempat yang masih terdengar azan shalat Jumat) adalah lebih mendekati kebenaran dan lebih utama untuk dijadikan pegangan. Bahkan terdapat kemungkinan ketiga yang lebih mendekati kebenaran, yakni dengan menstandarkan pada ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang berlaku pada setiap kaum di daerahnya. Jika penduduk suatu daerah membiasakan mengundang (para undangan) dengan jarak tempuh ‘adwa (perjalanan pulang pergi dapat ditempuh dalam waktu satu hari) atau lebih sedikit, dan kebiasaan mereka ketika diundang masih dalam lingkup jarak tersebut, maka mereka akan menghadirinya dan ketika tidak menghadiri akan berakibat pada sakit hati dan memutus keharmonisan hubungan pada orang yang diundang, maka dalam hal ini wajib untuk menghadiri undangan tersebut bagi orang yang mampu, sekiranya tidak berdampak pada kepayahan tubuh dan kesulitan finansial. 

 

Jika hal di atas tidak dibiasakan, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut. Bahkan ketika tidak menghadiri undangan dari luar desa menjadi sebuah tradisi, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut, meskipun mereka masih mendengar suara adzan dari luar daerahnya” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 4, hal. 115) 

 

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika yang dimaksud tidak memiliki uang adalah tidak memiliki uang untuk pemberian pada tuan rumah, maka hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban menghadiri undangan walimah pernikahan. Sehingga, menghadiri walimah pernikahan dalam hal ini tetap diwajibkan, sebab memberikan pemberian (hibah) pada tuan rumah merupakan hal yang sunnah, dan ketidakmampuan melaksanakan perkara yang sunnah, tidak akan menggugurkan perkara yang wajib.

 

Sedangkan ketika maksud tidak memiliki uang diartikan pada tidak memiliki ongkos untuk menempuh perjalanan menuju lokasi walimah, maka dalam hal ini menghadiri walimah pernikahan menjadi tidak wajib. Dan dalam keadaan ini pula, tidak wajib baginya untuk berutang pada orang lain agar mampu membiayai ongkos untuk perjalanan walimah, sebab dalam fiqih dikenal ketentuan bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk mengupayakan terwujudnya keadaan yang membuatnya wajib melakukan suatu hal (tahsilu sabab al-wujub la yajib). Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar