Jumat, 21 Agustus 2020

Azyumardi: Wabah Korona: Kampus Merdeka (4)

Wabah Korona: Kampus Merdeka (4)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Agar ‘kampus merdeka’ bisa tercipta, kurikulum pendidikan tinggi yang terlalu berat harus mengalami ‘overhauled’, turun mesin. Kurikulum mesti disederhanakan, cukup mencakup ilmu dan kecakapan yang benar-benar perlu saja untuk dijadikan mata kuliah.

 

Dengan sumber ilmu dan informasi yang melimpah berkat kemajuan teknologi informasi, tak semua subjek harus menjadi mata kuliah. Selain itu, harus dibangun pedagogi baru yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan masyarakat dengan arah pendidikan kritis.

 

Hanya dengan pedagogi kritis, tercipta proses ‘konsientisasi’ (conscientization)—penciptaan kesadaran baru mahasiswa.

 

Meski pendidikan Indonesia mengalami kemajuan signifikan, pendidikan tinggi khususnya, belum menjadi medium ‘pembebasan’ mahasiswa menuju kedewasaan bertanggung jawab.

 

Sekali lagi, perlu pengembangan ‘pendidikan tinggi kritis’ untuk membangun ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ yang mendorong kemunculan inovasi dan terobosan baru bagi kemajuan negara-bangsa.

Pendidikan kritis tidak hanya kontekstual dan relevan dengan pemerdekaan dan pemberdayaan mahasiswa, tetapi juga dengan peningkatan kehidupan bermasyarakat (civil society) dan bernegara.

 

Ini sangat benar, termasuk dalam kaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sampai sekarang belum juga tuntas di negara kita. Kita perlu membangun ‘pendidikan kritis’ selaras dengan pendidikan dan pembelajaran merdeka.

 

‘Pendidikan kritis’ (critical education) memiliki setidaknya dua dimensi. Pertama, dimensi internal, terkait kelembagaan, kandungan atau muatan, dan proses pendidikan. Kedua, dimensi eksternal, terkait kondisi luar yang memengaruhi dunia pendidikan secara keseluruhan.

 

Pemikiran pendidikan kritis yang sudah klasik dari tokoh, seperti Ivan Illich atau Paulo Freire menyebut, kegagalan bersumber dari banyak hal. Bagi Illich, pendidikan modern gagal karena pendidikan proses dehumanisasi belaka.

 

Lembaga pendidikan tinggi di emerging countries seperti Indonesia, tak mampu membawa banyak perubahan. Pendidikan tinggi hanya memperkuat struktur kelompok elite mapan. Illich menyerukan, sistem persekolahan dan pendidikan tinggi harus dihapuskan.

 

Kritik keras juga dikemukakan Freire. Menurut dia, pendidikan yang seharusnya membebaskan manusia dari keterbelakangan dan kebodohan, hanya menjadi alat penindasan.

 

Freire menulis, “men subjected to domination must fight for their emancipation. To that end, it (problem-posing education) enables teachers and students do become subjects of the educational process by overcoming authoritarianism and an alienating intellectualism.”

 

Pendapat yang sama, datang dari Everett Reimer. Dalam artikel School is Dead (paperback, 1971), dia menyatakan, sekolah termasuk pendidikan tinggi bagi kebanyakan orang adalah institusi untuk mendukung hak istimewa (privilege); dan pada waktu yang sama merupakan instrumen bersama untuk mobilitas vertikal.

 

Secara retorik, Reimer mengajukan pertanyaan: Apa implikasi dari sistem pendidikan tinggi semacam itu? Apakah betul-betul ada proses belajar yang mendorong kebebasan, kemerdekaan, demokrasi, dan kreativitas belajar sesungguhnya?

 

Reimer menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurut dia, sistem kelembagaan pendidikan membuat banyak peserta didik, termasuk mahasiswa, tak dapat menikmati pendidikan. Kalaupun mereka memperolehnya, dengan segera mereka putus sekolah.

 

Sebagian besar negara di muka bumi, tidak mampu mengusahakan pendidikan pada standar minimal bagi mereka yang membutuhkan. Biaya pendidikan meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan nasional.

 

Illich dengan analisis tajam menelanjangi kebobrokan dan kelemahan sistem persekolahan atau pendidikan, tetapi dia tidak mampu memberikan alternatif tepat pemecahannya.

 

Namun, ide Illich tentang penciptaan ‘jaringan belajar’ (learning webs) sekarang dan pada masa pasca-korona bisa diwujudkan. Sedangkan Freire, keberatan dengan sistem persekolahan yang gagal memberikan ‘penyadaran’ (conscientization) bagi peserta didik.

 

Langkah awal bukan dengan membubarkan sistem persekolahan-pendidikan, melainkan menjadikannya sarana pembebasan atau pemerdekaan manusia dari ketertindasan dengan meningkatkan literasi.

 

Dari sinilah, peserta didik termasuk mahasiswa, mengembangkan bahasa pikiran (thought language) yang menjadi sumber dinamika dan kemerdekaan dirinya. Manusia dengan bahasa pikiran sanggup mengerti dan melalui praksisnya dapat mengubah realitas.

 

Mempertimbangkan semua realitas pendidikan dan wacana yang berkembang, ide atau kebijakan dasar tentang ‘merdeka belajar’, ‘pendidikan merdeka’, ‘kampus merdeka’, dan ‘PT merdeka’ memerlukan reformasi pendidikan menyeluruh.

 

Jika tidak, ide ini menjadi jargon belaka. Jika pemerintah, khususnya Kemendikbud dan pemangku kepentingan lain serius dengan masa depan pendidikan Indonesia yang lebih kompetitif, tidak ada pilihan lain kecuali reformasi pendidikan menyeluruh. []

 

REPUBLIKA, 13 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar