Ciri-ciri Orang Munafiq dalam Al-Qur’an
Manusia dikaruniai akal dan hati. Karenanya manusia memiliki dua potensi, kadang positif dan kadang negatif. Potensi positif timbul akibat penggunaan anugerah sebagaimana digariskan oleh Allah. Potensi negatif timbul seiring manusia lebih condong pada menuruti hawa nafsunya dibanding mengikuti petunjuk dari Penciptanya. Itulah sebabnya, Allah SWT berfirman:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ
Artinya, "Sebagian dari manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada
Allah dan hari akhir.’ Padahal mereka tiada beriman." (Surat Al-Baqarah
ayat 8).
Menurut At-Thabary (w 310 H), para ahli ta’wil bersepakat bahwa Surat
Al-Baqarah ayat 8 ini menjelaskan karakteristik kaum munafiq. Al-Baghawy (w 516
H) dalam kitab tafsirnya juga sepakat dengan At-Thabary. Secara khusus,
Al-Baghawy menyebut bahwa ayat ini menjelaskan mengenai orang munafiq:
نَزَلَتْ فِي الْمُنَافِقِينَ(٢) عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ سَلُولٍ، وَمُعَتِّبِ بْنِ قُشَيْرٍ، وَجَدِّ بْنِ قَيْسٍ وَأَصْحَابِهِمْ حَيْثُ أَظْهَرُوا كَلِمَةَ الْإِسْلَامِ لِيَسْلَمُوا مِنَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصْحَابِهِ وَاعْتَقَدُوا خِلَافَهَا وَأَكْثَرُهُمْ مِنَ الْيَهُودِ
Artinya, “Ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kaum munafiqin yaitu Abdullah
bin Ubay bin Salul, Mu’attib bin Qusyair, Jad bin Qais beserta rekan-rekannya
yang dalam ucapannya telah menyatakan masuk Islam bersama Nabi dan para
sahabatnya. Tetapi dalam kenyataan mereka justru memiliki keyakinan sebaliknya.
Mayoritas dari kalangan terakhir ini sebelumnya adalah kaum Yahudi,” (Al-Husain
bin Mas’ud Al-Baghawy, Ma’alimut Tanzil, [Riyadl, Darut Thayyibah: 1409 H], juz
I, halaman 65).
Abu Abdillah Al-Qurthuby (w 671 H) menyebut hal yang sama dengan dua mufassir
di atas. Ia menyampaikan sebuah riwayat tafsir dari Mujahid sebagai berikut:
رَوَى
ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ:
نَزَلَتْ
أَرْبَعُ آيَاتٍ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي الْمُؤْمِنِينَ، وَاثْنَتَانِ فِي
نَعْتِ الْكَافِرِينَ، وَثَلَاثَ عَشْرَةَ فِي الْمُنَافِقِينَ
Artinya, “Ibn Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, ‘Empat ayat
Surat Al-Baqarah ini diturunkan dalam menjelaskan kalangan mukminin. Dua di
antaranya menjelaskan karakteristik orang kafir. Sedangkan 13 ayat lainnya
menjelaskan karakteristik orang kafir,” (Al-Qurthuby, Al-Jami’ul Ahkamil
Qur’an, [Beirut, Muassasatur Risalah: 2006 M], jilid I, halaman 293).
Riwayat tafsir ini rupanya juga dipergunakan oleh At-Thabary. Ketika Allah berfirman
pada Surat Al-Baqarah ayat 8 ini, yang dengannya disebut “wa minan nas”, maka
yang dimaksudkan sebagai an-nas di sini adalah kalangan munafiqin.
(Al-Qurthuby, Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, jilid I, halaman 293).
Ayat ini masih memiliki korelasi dengan karakteristik orang beriman. Ketika Allah menjelaskan mengenai keutamaan orang-orang mukmin dalam ayat yang diturunkan sebelum-sebelumnya, kaum munafiqin ini membalik-balikkan. Mereka hendak menyebut kesamaan antara mukmin dan kafir. Maka dari itu, Allah membantah pemahaman mereka dengan penggalan ayat:
وما
هم بمؤمنين
Artinya, “Tiada mereka termasuk orang-orang yang beriman,” (Surat Al-Baqarah
ayat 8).
Orang munafiq Yahudi seolah hendak menyamarkan sifat mulia dari orang beriman
ini dengan menggadaikan firman Allah SWT dalam ayat yang lain. Al-Qurthuby
menjelaskan pola mereka dalam menggadaikan ayat tersebut sebagai berikut:
إِنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ بِالْقَلْبِ، وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى:" فَأَثابَهُمُ اللَّهُ بِما قالُوا" [المائدة: ٨٥]. وَلَمْ يَقُلْ: بِمَا قَالُوا وَأَضْمَرُوا
Artinya, “Sungguh, iman itu adalah pernyataan dengan lisan, meski pun tidak ada
keyakinan dalam hati. Mereka berhujjah dengan firman Allah SWT, ‘Allah akan
memberi pahala kepada mereka atas pernyataan tersebut,’ (Surat Al-Maidah ayat
85). Mereka tidak mau berkata, ‘Iman itu adalah pernyataan dengan lisan
sekaligus yang tersimpan dalam hati mereka,’” (Al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, [Beirut, Muassasatur Risalah: 2006 M], jilid I, halaman 293).
Maka dari itu, Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits mengenai rumusan
orang yang beriman, yaitu:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ
وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ). أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Iman itu adalah mengenal dengan hati,
mengucap secara lisan, dan beramal dengan anggota tubuh,’” (HR Ibnu Majah dalam
Kitab Sunannya).
Berdasarkan hadits ini, para ulama sufi berkata:
لَيْسَ
الْإِيمَانُ مَا يَتَزَيَّنُ بِهِ الْعَبْدُ قَوْلًا وَفِعْلًا، لَكِنَّ
الْإِيمَانَ جَرْيُ السَّعَادَةِ فِي سَوَابِقِ الْأَزَلِ، وَأَمَّا ظُهُورُهُ
عَلَى الْهَيَاكِلِ فَرُبَّمَا يَكُونُ عَارِيًّا، وَرُبَّمَا يَكُونُ حَقِيقَةً.
Artinya, “Tiada yang disebut sebagai iman itu adalah cukup dengan menghiasi
jiwa seseorang dengan perkataan dan perbuatan, melainkan iman itu adalah
melahirkan kebahagiaan dan berlomba-lomba dalam mencapai prestasi negeri
akhirat. Pernyataan iman secara lahiriyah saja terkadang menyerupai orang yang
telanjang, dan terkadang juga menyatakan hakikat kedirian,” (Al-Qurthuby,
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Beirut, Muassasatur Risalah: 2006 M], jilid I,
halaman 294).
Walhasil, dilihat dari sisi penafsiran versi zaman sekarang, ayat di atas tidak
digunakan untuk menghukumi atau menuding orang lain sebagai munafiq atau
mukmin. Ayat di atas seolah memberikan gambaran nyata bahwa dalam diri seorang
insan ada dua bakat yang saling berseberangan. Bakat itu adalah bakat untuk
menjadi seorang mukmin atau sebaliknya bakat menjadi seorang munafiq.
Menurut versi penafsiran ulama sufi yang banyak dinukil oleh Al-Qurthuby, yang
dinamakan iman itu bukan penampakan fisik (lahir), melainkan memiliki tiga
rukun utama, yaitu, pembenaran dalam hati, mengucap secara lisan, dan beramal
dengan memanfaatkan anugerah berupa anggota badan. Wal ‘iyadzu billah min
dzalik. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah–Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar