Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (2)
Urgensi Asasul Mashlahah dalam Penerapan Hukum
Dr Musthafâ Dîb Al-Bughâ As-Syâfi‘î (lahir 1938 M), berkebangsaan Damaskus, dalam disertasinya di Universitas Al-Azhar Kairo, dengan predikat Summa Cumlaude (Martabat Syaraful Ûlâ) pada tahun 1974, dibukukan berjudul Atsarul Adillatil Mukhtalaf fîhâ: Mashâdirut Tasyrî‘ At-Taba‘iyyah fîl Fiqhil Islâmî, mengatakan:
الفقه الإسلامي – في جملته – قائم على أساس اعتبار مصالح الناس، فكل ما هو مصلحة مطلوب وجاءت أدلة بطلبه، وكل ما هو مضرة منهي عنه وتوافرت الأدلة على منعه، وهذا أصل مقرر مجمع عليه لدى فقهاء المسلمين.
Artinya, “Fiqih Islam secara global berdiri tegak di atas asas kemaslahatan manusia (asâs mashâlih an-nâs): Apa saja yang merupakan kemaslahatan maka itu dituntut pencapaiannya dan berbagai dalil hadir untuk meraihnya; dan apa saja yang merupakan mudharat maka dilarang dan bertubi-tubi dalil hadir yang melarangnya. Ini adalah pokok ketetapan yang telah disepakati oleh fuqaha,” (Musthafâ Dîb al-Bughâ al-Syâfi‘î, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ: Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Taba‘iyyah fî al-Fiqh al-Islâmî, Cet. ke-5, Damsyiq: Dâr al-Qalam, 2013, halaman 28).
Dia melanjutkan, ”Fuqaha’ pun sepakat bahwa seluruh hukum Allah SWT diberlakukan untuk kemaslahatan hamba (manusia) di dua kehidupan (dunia dan akhirat), dan bahwa tujuan syariat (maqâshid al-syarî‘ah) tiada lain adalah merealisasikan kebahagiaan hakiki bagi mereka.” Statemen demikian sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Syâthibî dalam karya populernya, Al-Muwâfaqât fî Ushûlis Syarî‘ah, dan Dr Sa‘îd Ramadhân Al-Bûthî dalam Dhawâbithul Mashlahah.
Imam As-Syâthibî, nama lengkapnya Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muhammad Al-Lakhamî As-Syâthibî Al-Gharnathî (wafat 790 H), dalam Al-Muwâfaqât tersebut, telah menegaskan bahwa:
أن وضع الشرائع إنما هو لمصالح العباد في العاجل والأجل معا
Artinya ”Bahwa konstruksi syariat tiada lain adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat sekaligus. (As-Syâthibî, Al-Muwâfaqât fî Ushûlis Syarî‘ah, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 2003 M], juz II, halaman 4).
Penerapan suatu norma hukum atau fatwa dalam kehidupan manusia, terlebih dalam ranah publik (masyarakat), harus mendasarkan pada asas pembentukan hukum. Asas (asâs) dapat diartikan sebagai dasar, yakni sesuai yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat mengenai hukum.
Secara global, asas pembentukan hukum adalah asas kemaslahatan (asâsul mashâlih), yang terurai dalam asas-asas berikut: (1) asâsus sahlah aw at-taisîr, yakni asas memberikan kemudahan, tidak memberat-beratkan, (2) asâsu raf‘il haraj, yakni asas menghilangkan kesulitan, (3) asâsu samhah, asas memberikan kelapangan, toleransi, (4) asâsul ashlah, yakni asas mengedepankan yang paling maslahat (manfaat) bagi manusia, dan (5) asâsu taufîris sa‘âdah, yakni memberikan pemenuhan kebahagiaan bagi manusia.
Berkaitan dengan asas menghilangkan kesulitan dalam beragama (raf‘ul haraj fîd dîn) ini, Syekh Âlî Ahmad Al-Jurjâwî, ulama Al-Azhar, dalam karyanya, Hikmatut Tasyrî‘ wa Falsafatuh, mengatakan:
Ketahuilah bahwa Allah SWT menjadikan agama Islam itu serasi dengan umat dan setiap generasi manusia pada setiap era dan zona hingga munculnya Hari Kiamat. Tidaklah samar bahwa eksistensi agama ini tidak diragukan lagi adalah toleran dan memberikan kemudahan bagi orang yang (berusaha) meraih hukum-hukumnya dan mempelajari pokok-pokok dan cabang-cabangnya. (Al-Jurjâwî, Hikmatut Tasyrî‘ wa Falsafatuh, [Beirut, Dârul Fikr: 2007 M], juz I, halaman 197).
Banyak dalil Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang menjadi landasan prinsip dan asas hukum di atas, antara lain Surat Al-Hajj ayat 78, dan Surat Al-Baqarah ayat 286, dan 185, yang menegaskan tentang prinsip kemudahan (al-yusr, at-taisîr) dan menghilangkan kesulitan (raf‘ul haraj).
...وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ....
Artinya, ”...dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.... (Surat Al-Hajj ayat 78).
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ....
Artinya, ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (Surat Al-Baqarah ayat 286).
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ....
Artinya, ”...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....” (Surat Al-Baqarah ayat 185).
Adapun hadits di antaranya sabda Nabi SAW:
إن الدين يسر
Artinya, ”Sungguh agama itu mudah,” (HR Al-Bukhârî dan Muslim).
يسروا ولا تعسروا، وبشروا ولا تنفروا.
Artinya, ”Permudahlah–dalam beragama, dan janganlah kamu persulit, dan berikanlah kabar gembira, dan jangalah kamu menjadikan orang justru berpaling–dari agama,” (Muttafaq ‘alaih).
أحب العمل إلى الله الحنفية السمحة
Artinya, ”Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan yang lurus nan toleran (al-hanafiyyatus samhah)” (HR Al-Bukhârî).
Oleh karena itu, Dîb Al-Bughâ menegaskan satu kaidah syara’ yang nyata-nyata telah disepakati: Annas syarî‘atal Islâmiyyata qad râ‘at mashâlihal ‘ibâd, wa annahâ qâ’imatun ‘alâ asâsi taufîris sa‘âdati lahum,” bahwa syariat Islam sungguh melindungi kemaslahatan manusia, dan ia berpijak pada asas pemenuhan kebahagiaan bagi mereka.” (Dîb Al-Bughâ, Atsarul Adillah al-Mukhtalaf fîhâ, halaman 28). Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Ali MD, anggota dewan ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar