Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (1)
Hampir semua masalah hukum yang terus-menerus menjadi perdebatan kita sejatinya
sudah dibahas oleh para ulama terdahulu. Tapi sayangnya, kita belum beranjak
jauh dari perdebatan masalah-masalah itu kepada masalah-masalah yang lebih
substansial. Misalnya hukum mengucapkan selamat natal, hukum mengucapkan
selamat tahun baru dan hukum memperingatinya dengan zikir, muhasabah, dan doa,
serta hukum berjilbab bagi perempuan.
Tentu termasuk pula masalah terkini mengenai hukum tidak melaksanakan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur di rumah masing-masing, juga agar tidak melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di masjid dalam situasi pandemi virus Corona (Covid-19).
Permasalahan tersebut telah menguras energi, dan ”nyinyiran” bahkan juga berakibat caci-maki terhadap pandangan atau kelompok yang berbeda. Hingga tulisan ini ditulis pada Jumat 17 April 2020, di Kota Tangerang Banten, misalnya, masih banyak masjid yang digunakan untuk melaksanakan Jumatan dan shalat berjamaah lima waktu. Padahal daerah ini sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai zona merah penyebaran Covid-19. Di samping itu, pengajuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Tangerang Raya juga telah disetujui oleh Menteri Kesehatan, dan mulai diberlakukan efektif Sabtu (18 April 2020).
Penulis pun pada hari Jumat tersebut kebetulan terjadwal untuk menjadi khatib sekaligus imam Jumat di kedua masjid yang berbeda kecamatan di kota Tangerang tersebut: yang satu masjid sudah ditiadakan Jumatan, tetapi di satu masjid masih akan digunakan untuk pelaksanaan Jumatan. Maka penulis pun segera menelpon langsung kepada ketua DKM (dewan kemakmuran masjid) agar meniadakan Jumatan sementara waktu.
Saat ini kita hidup di suatu keadaaan dan era yang sangat berbeda jauh dengan keadaan dan era Islam awal, era klasik, di mana banyak kasus-kasus hukum muncul dengan jawaban hukumnya (fatwa). Saat ini kita berada dalam keadaan serba teknologi, dan era informasi atau era media sosial (medsos), bahkan era industri 4.0. Sementara kehidupan kita ini tidak lepas dari norma hukum agama.
Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membuka cakrawala atau wawasan keislaman kita, dan menjadi ”guidence” yang mengarahkan kepada sikap moderat (al-wasathiyyah, moderasi), tidak ekstrem (berlebih-lebihan) dalam beragama (al-ghuluw fî al-dîn), dan tidak menyimpang (tatharruf) dari eksistensi Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam memahami suatu hukum, terlebih dalam menerapkan suatu hukum untuk publik (tathbîqul ahkâm lil mujtama‘), jangan sampai kita terperangkap dalam ”sangkar” atau ”kotak” bunyi nash Al-Qur’an, hadits atau teks para ulama fiqih begitu saja. Mengapa? Karena hal tersebut bisa mengakibatkan pada kejumudan (al-jumûd), Padahal eksistensi agama Islam itu sendiri bukanlah agama yang rigid (kaku), melainkan agama yang dinamis (shâlih li kulli zamân wa makân).
Untuk mendapatkan wawasan yang luas mengenai agama Islam, khususnya bidang ”syariah”/hukum Islam,” bagaimana eksistensi dan tingkatannya, kita dapat merujuk pada pandangan imam Abûl Mawâhib ‘Abdul Wahhâb Al-Anshârî yang terkenal dengan nama Imam As-Sya‘rânî (lahir di Qarqasyandah Mesir, 27 Ramadhan 898 H-wafat di Kairo Mesir, Jumadil Ula 973 H/1493-1565 M).
Ia merupakan seorang zâhid, sufi, dan fâqih, ulama besar mazhab Syafi’iyyah, mempunyai karya sekitar 300 buah. Imam As-Sya‘rânî, dalam karya monumentalnya, Kitâb Al-Mîzânul Kubra, telah memberikan panduan mengenai apa sejatinya syariat/hukum Islam, ia menegaskan bahwa:
”Sungguh syariat itu bagaikan pohon besar yang terbentang, dan pendapat-pendapat para ulamanya bagaikan cabang-cabang dan dahan-dahan, maka tidaklah ditemukan bagi kita suatu cabang dari selain asal, dan tidak pula ada buah dari selain dahan; sebagaimana tidaklah ditemukan bangunan tanpa ada dinding. Karena itu, para ahli waskita berijma’ (sepakat) bahwa semua orang yang mengeluarkan suatu pendapat dari pendapat-pendapat para ulama syariah (yakni para imam empat dan ulama setelahnya yang mengikuti modelnya), darinya (syariat) maka sungguh yang demikian itu karena kecupetannya terhadap tingkat pengetahuan”. (As-Sya‘rânî, Kitab Al-Mîzân, [Beirut, ‘Âlâmul Kutub: 1989 M], juz I, halaman 59).
Statemen ini menunjukkan bahwa untuk memahami syariat/hukum Islam diperlukan wawasan yang luas mengenai pandangan atau pendapat para ulama fiqih, khususnya para ulama dalam empat mazhab, yaitu mazhab Mâlikiyyah, mazhab Hanafiyyah, mazhab Syâfi‘iyyah dan mazhab Hanâbilah. Tidak memahami dengan baik pandangan-pandangan mereka adalah kecupetan pengetahuan tentang agama.
Selanjutnya, berkaitan dengan tingkatan atau timbangan syariah/hukum Islam, As-Sya‘ranî menjelaskan:
أن الشريعة جاءت من حيث الأمر والنهي على مرتبتين: تخفيف وتشديد، لا على مرتبة واحدة ....
Artinya, ”Bahwa Syariat hadir dari segi perintah dan larangan atas dua tingkatan, yaitu (tingkatan) yang meringankan (takhfîf), dan yang memberatkan (tasydîd), bukan atas satu tingkat-- saja….” (As-Sya‘ranî, 1989 M: I/62).
Berkaitan dengan tingkat atau timbangan syariat itulah, As-Sya‘rânî melanjutkan penegasannya bahwa:
فإن جميع المكلفين لا يخرجون عن قسمين: قوي وضعيف من حيث إيمانه أو جسمه في كل عصر وزمان، فمن قوي منهم خوطب بالتشديد والأخذ بالعزائم، ومن ضعف منهم خوطب بالتخفيف والأخذ بالرخص وكل منهما حينئذ على شريعة من ربه وتبيان
Artinya, ”Maka sungguh seluruh orang mukallaf tidaklah keluar dari dua klasifikasi ini: kuat dan lemah, dari segi imannya atau fisiknya, pada setiap era dan masa; maka orang yang kuat di antara mereka dikenai titah dengan (ketentuan/norma hukum) yang memberatkan (al-tasydîd) dan mengambil ‘azîmah (ketentuan/norma hukum sebagaimana adanya), sementara orang yang lemah di antara mereka dikenai titah dengan (ketentuan hukum) yang meringankan (al-takhfîf) dan mengambil rukhshah (dispensasi), dan masing-masing dari keduanya ketika demikian ini berada pada syariat dan penjelasan yang terang dari Tuhannya. (As-Sya‘ranî, 1989 M: I/62).
Oleh karena itu, Dr ‘Abdur Rahmân Umairah, editor Kitâb Al-Mizân karya As-Sya‘rânî, mengatakan bahwa sungguh Islam adalah agama dinamis dan agama ijtihad. Ia bukanlah (agama) hanya untuk daerah yang eksklusif (tertutup) atau blok yang keras, tetapi karena elastisitasnya ia merupakan ajaran yang menjadikannya cocok bagi setiap era dan zona, (Umairah, Muqaddimatul Muhaqqiq pada As-Sya‘rânî, 1989 M: I/10).
Ijtihad adalah satu dari sekian piranti dalam memahami Islam dan mengeluarkan ajaran Islam dari ”gudang besarnya”. Dalam faktanya, ijtihad bahkan dalam rupa fatwa hukum telah terjadi dalam Islam secara nash (didasarkan teks Al-Qur’an dan/atau sunnah) dan ‘urfi (adat-istiadat yang baik dalam suatu masyarakat) pada masa Rasul SAW, masa sahabat, dan tabiin setelahnya.
Dalam rangka untuk menghasilkan produk ijtihad yang dinamis dan maslahat bagi kehidupan manusia, asas-asas pembentukan hukum harus menjadi perhatian utama sebagai pertimbangan dan tolok ukur produk itu apakah dinamis dan maslahat.
Konsistensi pada asas-asas pembentukan hukum dalam rangka untuk merealisasikan tujuan hukum itu sendiri merupakan cara beragama yang moderat, yang menjadi keharusan dalam pandangan agama dan akal sehat.
“Sungguh konsistensi dalam bermoderasi dan bersikap adil itu (mulâzamatul wasathiyyah wal i‘tidâl) diperintahkan oleh agama dan akal sehat, untuk merealisasikan (perintah) berpegang teguh pada jalan yang lurus (as-shirâthul mustaqîm), dan melindungi umat baik sebagai individu maupun masyarakat dari kecondongan kepada sisi-sisi yang tercela, dan hal-hal yang bisa mengakibatkan kepada sesuatu yang tidak terpuji. Konsep melindungi umat itu adalah dengan menetapi syara’ sesuai dengan keberadaannya (norma syara’) disertai dengan melindungi tujuan-tujuannya, dan tidak lalai terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan dari norma syara’ tersebut. (Ahmad ‘Abd al-Salâm Ar-Raisûnî dkk, At-Tajdîd Al-Ushûlî Nahwa Shiyâghah Tajdîdiyyah li ‘Ilmi Ushûlil Fiqh, [Kairo, Dârul Kalimah: 2012 M: halaman 790). Wallahu a'lam. []
Ustadz Ahmad Ali MD, anggota dewan ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar