Selasa, 07 Juni 2016

Zuhairi: Pesan Damai Al-Azhar dan Vatikan



Pesan Damai Al-Azhar dan Vatikan
Oleh: Zuhairi Misrawi

Kunjungan Imam Besar Al-Azhar Kairo Syekh Ahmed Tayeb ke Vatikan, (24/5), jadi perhatian dunia. Paus Fransiskus Asisi menyebut pertemuan tersebut membawa pesan penting bagi umat agama-agama di dunia agar senantiasa menjadi perdamaian dan koeksistensi.

Sejak lama Al-Azhar dan Vatikan sudah mempunyai program dialog antaragama yang ditandai dengan kunjungan Paus Paulus Yohanes II ke Al-Azhar pada tahun 2000. Sebagai dua institusi keagamaan terbesar di dunia, khususnya bagi umat Islam dan Katolik, Al-Azhar dan Vatikan mempunyai misi mulia untuk menjadikan umat manusia semakin bahagia di muka bumi.

Pertemuan bersejarah

Bagi Syekh Ahmed Tayeb, kunjungannya ke Vatikan merupakan kunjungan bersejarah karena ia merupakan Imam Besar Al-Azhar pertama yang berkunjung ke Vatikan setelah kunjungan Paus Paulus Johanes II ke Al-Azhar pada 2000. Kunjungan Syekh Ahmed Tayeb kali ini dalam rangka memenuhi undangan Paus Fransiskus Asisi. Kedua sosok berpengaruh di dunia itu sepakat menggelar konferensi internasional tentang perdamaian dan dialog antaragama.

Pertemuan bersejarah antara Syekh Ahmed Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi punya tiga makna penting. Pertama, sebagai antitesa terhadap pihak-pihak yang selama ini mengatasnamakan agama sebagai sumber dan sumbu diskriminasi.

Komentar Donald Trump, kandidat presiden AS dari Partai Republik yang akan melarang umat Islam masuk ke AS merupakan sebuah kemunduran bagi hubungan antaragama dan demokrasi. Trump menggunakan isu islamofobia untuk meraup dukungan politik kalangan konservatif.
Pemandangan ini dijawab langsung Syekh Ahmed Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi, bahwa siapa pun-khususnya Donald Trump-tidak pada tempatnya menjadikan agama sebagai komoditas politik. Agama-agama pada dasarnya mengajarkan kedamaian, dan karena itu setiap pemimpin politik harus menjaga harmoni di antara pemeluk agama. Bukan sebaliknya, justru memperkeruh suasana dengan memupuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Kedua, pertemuan tersebut merupakan pesan bagi kelompok teroris yang kerap mengeksploitasi isu konflik antara agama untuk menjustifikasi aksi mereka. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sering menggunakan narasi "perang melawan kaum Salibis".

Para teroris selalu mendakwahkan aksi mereka sebagai perang melawan umat Kristiani. Karena itu, pertemuan Imam Besar Al-Azhar dan Paus Fransiskus Asisi membawa pesan bahwa agama bisa membangun dialog dan mendorong perdamaian. Narasi para teroris sama sekali tidak dibenarkan karena dalam sejarah agama-agama terbukti setiap agama dapat berangkulan, hidup berdampingan secara damai, dan menjadi inspirasi untuk menjaga harmoni di tengah-tengah masyarakat.

Begitu pula menguatnya kelompok ekstrem kanan di Eropa yang kerap membawa isu anti imigran dari Timur Tengah bisa menjadi isu liar yang dapat membangkitkan kembali sentimen islamofobia.

Peran Al-Azhar dan Vatikan sangat strategis untuk memberikan pencerahan: bahwa agama-agama dapat saling bahu-membahu untuk mewujudkan peradaban dunia yang adil dan damai. Bahkan, sikap Paus Fransiskus Asisi membawa beberapa pengungsi Suriah ke Vatikan memberikan bukti bahwa agama-agama mesti hadir untuk membela mereka yang tertindas. Masalah pengungsi korban konflik politik di Timur Tengah merupakan kepedulian bersama, dan semua umat agama-agama harus memberikan perhatian penuh terhadap para pengungsi tersebut.

Ketiga, pertemuan tersebut dapat menjadi harapan baru bagi umat Islam agar terus menonjolkan wajah Islam moderat, yang di dalamnya menyimpan pesan luhur toleransi dan perdamaian. Dalam beberapa tahun terakhir, Al-Azhar sangat aktif dalam menyebarluaskan paham Islam moderat ke seantero dunia. Syekh Ahmed Tayeb merangkul para ulama dari berbagai penjuru dunia, baik Timur dan Barat, termasuk Quraish Shihab sebagai perwakilan dari negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia. Ia membentuk Dewan Kaum Muslim Bijak (Majlim Hukama al-Muslimin).

Al-Azhar sadar bahwa begitu banyak ulama atau cerdik cendekia di dunia Islam, tetapi sedikit kaum bijak. Maka, yang diperlukan dunia Islam tidak hanya para ulama, tetapi juga dibutuhkan kaum bijak yang membimbing umat dengan keteladanan, bukan melahirkan fatwa-fatwa ekstrem yang dapat merangsang kekerasan dan diskriminasi.

Dialog antaragama

Langkah Al-Azhar membangun kerja sama dialog antaragama dengan Vatikan merupakan langkah besar mengabarkan kepada dunia bahwa jalan menuju perdamaian dunia akan selalu terbuka. Jika para politisi kerap menjadikan agama sebagai komoditas politik yang cenderung memecah-belah relasi antaragama, para agamawan yang diwakili Al-Azhar dan Vatikan memberikan pencerahan bahwa agama-agama harus selalu hadir untuk membawa pesan damai dan kasih sayang.

Para ulama dan tokoh agama di negeri ini harus meneladani dan menindaklanjuti langkah besar yang dilakukan Al-Azhar dan Vatikan. Lebih-lebih wacana dialog antaragama di negeri ini sudah menggema sejak 1990-an yang diprakarsai KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Johan Effendi, Romo Mangunwijaya, dan tokoh lintas agama lainnya.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir wacana dialog antaragama mengalami kemandekan. Bahkan, jika dibandingkan dengan pengalaman dialog antaragama di masa lalu, justru dialog antaragama tidak terdengar lagi. Padahal, tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih besar karena mereka yang mempunyai ideologi "benturan antaragama" lebih nyaring suaranya, terutama melalui media sosial.

Beberapa kasus yang disinyalir sebagai konflik antaragama, seperti di Aceh Singkil, Tolikara, dan beberapa daerah lainnya membutuhkan sebuah dialog antaragama yang terus-menerus. Dialog antaragama yang melibatkan para tokoh agama, pun juga dialog antaragama yang juga melibatkan warga. Dialog diharapkan dapat menemukan titik-temu, serta membangkitkan kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman merupakan sebuah keniscayaan.

Kita mempunyai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama yang dapat dijadikan sebagai modal penting untuk menggemakan kembali dialog antaragama, sebagaimana dilakukan Al-Azhar dan Vatikan. Bahkan, jika memungkinkan, kita bisa terlibat langsung dalam inisiatif dialog antaragama yang telah dilakukan Vatikan dan Al-Azhar.

Dengan demikian, keberagamaan kita akan mempunyai pengaruh yang lebih luas dalam konteks global. NU, Muhammadiyah, dan beberapa organisasi keagamaan lainnya sejatinya dapat membangun aliansi strategis dengan institusi keagamaan yang mempunyai pengaruh luas, seperti Al-Azhar dan Vatikan. Gerakan ini akan mempunyai dampak yang luas tidak hanya di dalam negeri dalam rangka memperkuat solidaritas kebangsaan, tetapi juga akan memperluas pengaruhnya bagi solidaritas kemanusiaan pada tataran global. []

KOMPAS, 04 Juni 2016
Zuhairi Misrawi ;   Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo;  Ketua Moderate Muslim Society

Tidak ada komentar:

Posting Komentar