Puasa
yang Gugur dan yang Subur
Oleh:
Yudi Latif
Bulan
puasa datang berpulang, mengajak kita jeda kerutinan. Ibarat musim gugur
memberi pepohonan saat meranggas. Dedaunan jatuh luruh, gugurtafakur, pulang ke
akar, menyuburkan kehidupan. Sesungguhnya bejana kehidupan yang penuh jemu
susah menerima pengisian. Perut yang terus-terusan kenyang jadi biang penyakit.
Hati yang mengejuju jenuh jadi perigi depresi. Organ yang tunak bergerak jadi
mudah lapuk.
Manusia
memerlukan jeda pengosongan, penyegaran, pengasoan. Sela puasa menjadi momen
hibernasi untuk memulihkan kesehatan jasmani-rohani. Sedemikian vitalnya,
hingga Tuhan pun mengajak seluruh manusia melakukannya; menghargainya sebagai
kado spesial buat-Nya.
Maksud
puasa mengurangi kepenuhan perut, janganlah diisi gairah konsumsi dengan ritual
melambung harga-harga. Maksud puasa melepas tekanan hati, janganlah disesaki
asap pergunjingan dan permusuhan. Maksud puasa mengistirahatkan organ tubuh,
jangan ditambah beban pencernaan.
Pengurangan
konsumsi bisa menurunkan kolesterol jahat dalam tubuh; berbagi gizi-kenikmatan
pada sesama. Pengosongan perut bisa mengistirahatkan pencernaan; memberi efek
detoksifikasi dan peremajaan sel-sel otak. Pelepasan tekanan hati, lewat zikir
dan aneka ibadah, membebaskan jiwa dan penjara rutinitas masalah.
Dengan
mengendalikan diri dari gravitasi syahwat bumi, roh manusia bisa mikraj ke
langit tertinggi. Dengan melesat ke langit suci, mental manusia terbang dari
kesadaran personal menuju transpersonal; dari kesadaran keseharian, menuju
kesadaran terluhur. Dari ketinggian penglihatan mata burung, kehidupan tampak
sebagai pola interkoneksi yang menautkan segala sisi kehidupan. Horizon
penglihatan meluas dari pernik-pernik eksistensi sehari-sehari menuju
eksistensi kosmik yang tak terhingga.
Dalam
keluasan kesadaran kosmis, manusia menyadari betapa kesatuan tak bisa dipisahkan
dari keragaman. Satu dalam semua, semua dalam satu. Dengan kesadaran
transpersonal, timbul kehendak untuk membuka ruang berbagi. Ketabahan untuk
menghadapi cobaan-ketidakpastian. Kesanggupan berdamai dengan misteri
kehidupan. Riset pun membuktikan, orang-orang yang melakukan puasa, zikir, dan
meditasi secara teratur pada saatnya akan lebih sadar, kurang stres, lebih
positif, dan lebih sehat.
Dengan
puasa sejati, derajat manusia ditinggikan melampaui nilai kebendaan-kekuasaan.
Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan
telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi faktor produksi,
budak kekuasaan, dan alat percobaan. Dalam perbudakan nafsu, agama yang
mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru acap kali
menjadi penasbih atau setidaknya membiarkan kezaliman, permusuhan, dan
pembodohan.
Di
manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran,
pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang memilukan
bahwa aktor utama dari ”komedi omong” ini sering kali para pemuka agama
sendiri? Di masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama ”menjual” ayat
untuk menidurkan keresahan lantas memberi teladan akhlak dengan pamer
kemewahan.
Agama pun
tak henti dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran,
sebagai amunisi dalam perebutan kuasa. Prinsip kerelaan dalam organisasi
masyarakat sipil-keagamaan pun dirobohkan oleh politik uang dan godaan
kekuasaan. Umat sekadar diperuntukkan bagi hasrat kuasa, bukan kekuasaan
diperuntukkan bagi perbaikan kehidupan umat.
Sedemikian
rupa sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain dari gairah keagamaan
selain dari sekadar ”budak nafsu”. Jika agama sebagai landasan kritik terhadap
berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil;
sementara sumur moralitas lain pun mengering; bagaimana bisa yakin bahwa segala
percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang menopangnya.
Epos demokrasi
selama era Reformasi memperlihatkan, betapa politik sebagai teknik mengalami
kemajuan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Etik dan politik
bak minyak dengan air yang tak bisa dipersatukan. Elite politik lebih
mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum. Akrobat demi
akrobat politik yang dipertunjukkan penguasa semakin jelas menunjukkan
kebangkrutan moral kepemimpinan.
Politik
tanpa landasan etik bak bahtera yang berlayar tanpa kompas. Rezim silih
berganti, janji-janji digoreng dengan kecap nomor satu, sumber daya terkuras
dengan utang luar negeri yang terus membubung. Ada banyak gerak-gerik sekadar
untuk gerak di tempat. Kita seakan melaju ke depan, untuk tersesat di banyak
tikungan, yang membuat kita kembali ke titik awal.
Jeda
Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar
benalu yang mengerdilkan moralitas. Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat
menimbun dan berkuasa tak pernah ada puasnya kecuali dengan puasa. Pengendalian
dirilah akar tunjang pengendalian sosial. Adapun puasa bak kawah candradimuka
pelatihan kendali diri.
Sekiranya
semua warga mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang berlebih di satu
kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi
kolesterol keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang
jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekitarnya. Sesekali
kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud;
menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh
cinta untuk yang lain. []
KOMPAS,
14 Juni 2016
Yudi Latif ; Anggota Asosiasi Ilmuwan Politik
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar