KH Saleh Lateng
Banyuwangi, Pejuang Senyap di Garda Depan Revolusi
Oleh: Munawir Aziz
Jaringan ulama santri
berperan penting untuk menjemput sekaligus menegakkan kemerdekaan. Para kiai
dan santri menjadi tulang punggung perjuangan melawan kolonial, sejak pasca
Walisongo hingga 1945. Kiai-kiai di pesantren mengabdikan diri untuk mendidik
santri, membentuk jaringan antar pesantren, sekaligus mengobarkan semangat
untuk berjuang mengawal kemerdekaan. Inilah peran penting kiai-santri yang harus
dicatat oleh sejarah bangsa Indonesia. Namun, sayang sekali tidak banyak
catatan sejarah yang menarasikan perjuangan santri.
Sejarawan lebih
senang menyisir perjuangan jaringan militer pada masa kemerdekaan. Padahal,
jaringan militer pada kiai-santri telah terbentuk sejak masa Dipanegara, yang
berhasil mengobarkan semangat untuk berjuang pada masa Perang Jawa (1825-1830).
Meski pada akhirnya kalah, namun semangat juang dan jaringan santri-kiai tidak
padam, justru semakin kuat dengan membentuk koneksi di penjuru nusantara.
Perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan menjadi buktinya (Bizawie, 2014;
2016).
Pada ujung abad 19
dan paruh pertama abad 20, kisah Kiai Saleh Lateng Banyuwangi layak disimak
sebagai cermin sejarah, sebagai kaca benggala dalam memaknai perjuangan kaum
pesantren. Siapa sebenarnya Kiai Saleh Lateng? Bagaimana perjuangannya dalam
mengawal kemerdekaan dan mengabdi untuk negeri?
Kiai Saleh lahir di
Kota Mandar, Banyuwangi, pada Ahad, 6 Ramadhan 1278 H/ 07 Maret 1862. Ia
memiliki nama kecil Ki Agus Muhammad Saleh. Ayahnya bernama Ki Agus Abdul Hadi,
sedangkan Ibunya bernama Aisyah. Kiai Saleh memiliki jalur nasab hingga Raja
Palembang.
Bagaimana kisahnya
keluarga Kiai Saleh mendarat di Banyuwangi? Pada sekitar awal abad 19, Kerajaan
Palembang Darussalam telah kehilangan kontrol kekuasaan. Belanda berhasil
memegang kendali wilayah kerajaan ini. Raja Palembang, Sultan Najamuddin
dibuang ke Aceh, sedangkan kawasan Palembang dikendalikan oleh seorang Residen
Belanda. Pada masa genting itu, sebagian besar bangsawan kerajaan Palembang
memilih untuk menyingkirkan diri. Situasi yang tidak aman serta kekejaman
Belanda menjadikan para keluarga kerajaan berusaha untuk mencari lokasi baru
untuk tempat tinggal.
Ki Agus
Abdurrahman—kakek Kiai Saleh—merupakan bangsawan Kerajaan Palembang yang
memilih menyingkirkan keluarganya. Beliau hijrah ke Sumenep di ujung timur
Madura. Pada waktu itu, Sumenep masih menjadi basis kerajaan Islam yang sangat
kuat, dengan kultur masyarakat setempat yang kental dengan tradisi muslim. Ki
Agus Abdurrahman mendapatkan jodoh di Sumenep, menikah dengan Najihah.
Pernikahan ini dikaruniai tiga keturunan, namun hanya seorang yang meneruskan
perjuangan Ki Agus Abdurrahman dalam berdakwah dan menggeluti ilmu keislaman,
yakni Ki Agus Abdul Hadi.
Selang beberapa
waktu, Ki Agus Abdul Hadi hijrah ke Banyuwangi, di kawasan Tapal Kuda, Jawa
Timur. Di kawasan Banyuwangi inilah, Ki Agus Abdul Hadi mendapatkan jodoh
bernama Aisyah. Pasangan ini menetap di kawasan Kota Mandar Banyuwangi, hingga
melahirkan putra bernama Ki Agus Muhammad Saleh, atau yang terkenal dengan
sebutan Kiai Saleh Lateng.
Sejak kecil, Ki Agus
Muhammad Saleh telah mengaji kepada orang tuanya. Ia mendapat didikan sebagai
seorang santri, belajar al-Qur'an dan kajian keislaman dalam tradisi pesantren.
Pada usia remaja, sekitar usia 15 tahun, Kiai Saleh mengaji di pesantren
Kebondalem Surabaya, asuhan Kiai Mas Ahmad. Kemudian, beliau melanjutkan
mengaji kepada Syaikhona Khalil di Bangkalan Madura, lalu tabarrukan kepada Tuan
Guru Muhammad Said di Jembrana Bali. Selepas mengaji di Jawa, Madura dan Bali,
Kiai Saleh kemudian melanjutkan mengaji di Makkah.
Ketika belajar di
Makkah, Kiai Saleh telah dianggap sebagai rujukan keilmuan, ia mengajar
beberapa santri di kota suci dengan menggunakan empat bahasa. Di ujung abad 19,
Syaichona Kholil Bangkalan meminta Kiai Saleh untuk pulang ke tanah air,
mengabdikan diri untuk mendidik santri dan berjuang mengawal pergerakan. Kiai
Saleh meminta waktu satu tahun untuk menuntaskan mengaji di Hijaz.
Pada tahun 1900, pada
umur 38 tahun, Kiai Saleh kembali ke kampung halaman, di kawasan Lateng
Banyuwangi. Lambat laun, nama Kiai Saleh Lateng menjadi terkenal karena
kealiman dan pengabdiannya dalam mendidik para santri. Bupati Banyuwangi, Koesoemonegoro
memberikan izin kepada Kiai Saleh Lateng untuk mengajar, sejak 4 Maret 1909.
Dari kampung halaman di kawasan Lateng, Kiai Saleh berhasil menebarkan ilmu
Islam ke masyarakat di penjuru Banyuwangi dan sekitarnya.
Di ujung abad 19 dan
awal abad 20, kawasan Banyuwangi masih diwarnai kekerasan oleh para bromocorah.
Banyuwangi merupakan kawasan kerajaan Blambangan, yang menjadi pusat kekuasaan
di ujung timur Jawa. Kerajaan Blambangan memiliki peran sentral, yang
berkembang bersamaan dengan Majapahit. Selepas Majapahit runtuh, Blambangan
menjadi satu-satunya kerajaan di ujung timur Jawa yang mengontrol wilayah di
kawasan Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo. Pada 1743, Raja
Pakubuwono II dari Mataram menyerahkan Java Oesthoek (kawasan sebelah timur
Malang hingga Banyuwangi) termasuk Blambangan kepada VOC. Namun, justru VOC
menelantarkan wilayah ini. Pada 1767 pemerintah Kompeni di Batavia (Hoge
Regering) baru mengirimkan tentara untuk melakukan kontrol administratif
(Margana, 2007; 2012).
Kawasan di ujung
timur Pulau Jawa ini menjadi tanah pergolakan. Perlawanan warga terhadap
tentara penjajah sudah berlangsung lama, hingga menjadi karakter. Bromocorah
dan begal berkembang marak, kekerasan menjadi sikap yang tidak bisa dihindari.
Sikap keras warga Banyuwangi dengan berbagai macam masalah menjadi keseharian
Kiai Saleh Lateng. Bromocorah dan begal mewarnai kehidupan warga kawasan
Blambangan, dengan segenap tindakan kriminal yang menyertai. Tantangan Kiai
Saleh Lateng tidak hanya bagaimana mengembangkan dakwah islamiyyah, namun juga
bagaimana menaklukkan para bromocorah yang mengganggu.
Dengan keyakinan
diri, bekal ilmu kanuragan dari Syaichona Khalil, serta atas pertolongan Allah,
Kiai Saleh Lateng berhasil meredam konflik-konflik dan kekerasan pada warga
Banyuwangi. Meredam konflik antar bromocorah bukanlah hal yang mudah, mengingat
tindak kekerasan dengan kenekadan tingkat tinggi menjadi bagian dari wajah
begal-begal Banyuwangi. Inilah kelebihan Kiai Saleh Lateng, yang mampu
menyatukan para begal-bromocorah, hingga akhirnya takluk dan menjadi pengikut
Kiai Saleh Lateng. Bahkan, para bromocorah menjadi mengikut setia Kiai Saleh
Lateng, dengan belajar mengaji, bela diri hingga berjuang bersama melawan
penjajah di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya.
Mengabdi untuk
Kebangkitan Ulama
Kiai Saleh Lateng
merupakan tipikal kiai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam
mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan
Indonesia. Kiai Saleh Lateng juga menjadi kiai penting pada masa awal pendirian
Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Bisri Syansuri dan beberapa kiai lainnya di penjuru Nusantara.
Pada awalnya, Kiai
Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah,
karena pada awal abad 20, pergerakan Syarekat Islam menjadi gerbong bagi para
kiai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada
akhirnya para kiai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi
pada Kiai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu
mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kiai Wahab Chasbullah membentuk
organisasi sendiri dengan merangkul kiai santri, dalam Tashwirul Afkar,
Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul
Ulama.
Kiai Saleh Lateng,
yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi
tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kiai Saleh
Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmere Banyuwangi.
Dengan demikian, peranan Kiai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal
abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kiai
Saleh Lateng bergabung bersama barisan kiai. Ikatan emosional ketika mengaji di
beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan
komunikasi antara Kiai Saleh dengan beberapa kiai lainnya.
Ketika masa awal
pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kiai
Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab
Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul
Ulama.
Garda Depan Revolusi
Kemerdekaan
Ketika masa revolusi
kemerdekaan, Kiai Saleh Lateng tidak hanya berperan mengirimkan para santrinya,
beliau juga terlibat langsung dalam pertempuran di garda depan. Gema Resolusi
Jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi panggilan berjihad bagi para kiai santri,
khususnya di kawasan Jawa Timur dan Madura. Kiai Saleh juga terpanggil dengan
pernyataan jihad kemerdekaan yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari.
Laskar-laskar santri bergerak untuk mengawal negeri (Latief, 1995).
Perjuangan yang gigih
bagi Kiai Saleh Lateng merupakan panggilan hati. Karena perjuangan untuk
mengawal kemerdekaan inilah, Kiai Saleh dikejar-kejar oleh tentara dan intel
Belanda. Beliau kemudian menyingkir ke kawasan Pakisaji. Ketika menyingkir
inilah, Kiai Saleh Lateng bertemu para santrinya yang juga dikejar intel Belanda.
Terbukti kemudian bahwa, Kiai Saleh Lateng menjadi panutan para santri karena
perjuangan total dalam mengawal kemerdekaan di medan laga.
Sikap Kiai Saleh
terhadap penjajah sangat keras dan tanpa kompromi. Ketika masa menjelang
kemerdekaan, Kiai Saleh melarang para santrinya untuk berpakaian menyerupai
kaum penjajah. Hal ini karena, prinsipnya bahwa menyerupai kaum (kafir) berarti
termasuk di dalam komunitasnya. Inilah yang dihindari oleh Kiai Saleh, agar
perjuangan para santri dengan tekad bulat dan total dalam menegaskan identitas.
Kiai Saleh Lateng
juga memiliki hubungan yang baik dengan Kiai Wahid Hasyim. Suatu ketika,
setelah masa kemerdekaan, Kiai Wahid Hasyim mendapatkan amanah untuk turut
serta membangun pemerintahan, mengawal kemerdekaan. Kiai Wahid menjadi Menteri
Agama pertama, membantu Soekarno dan Hatta sebagai Presiden-Wakil Presiden.
Ketika menyusun pedoman pembentukan organ kementrian, Kiai Wahid Hasyim mencari
kitab-kitab rujukan ke beberapa pesantren, serta mengutus wakil untuk silaturahmi
ke beberapa kiai. Kebetulan, di pesantren Kiai Saleh, kitab rujukan ini
ditemukan, yakni kitab 'Mu'jamul Buldan'.
Pengabdian panjang
Kiai Saleh Lateng menjadi pelajaran penting bagaimana seharusnya santri
berpikir, bersikap dan mengabdi untuk mengawal negeri. Kiai Saleh berdakwah
dengan mengajar santri, sekaligus turut serta berjuang untuk menjemput
kemerdekaan dan mengawal berdirinya negara. Perpaduan Islam dan nasionalisme
bagi kaum pesantren, tidak sekedar konsep yang tertulis, namun dipraktikkan dalam
sepenuh keteladana. Bagi kaum santri, perjuangan mengawal negara merupakan
panggilan jiwa, lonceng yang berdentang dari hati terdalam. Perjuangan mengawal
NKRI tercermin dari seluruh kehidupan panjang Kiai Saleh Lateng, yang dengan
ikhlas berjuang serta mengabdi untuk negeri.
Kiai Saleh Lateng
wafat pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93
tahun. Jenazahnya disemayamkan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kiai Saleh
Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956,
DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan mana KH. Saleh Lateng
untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati
perjuangan dan pengabdian Kiai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus
berjuang untuk negeri.
Referensi:
1.
Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama
Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia, 1945-1949. Tangerang:
Pustaka Compass. 2014.
2.
Bizawie, Zainul Milal. Masterpiece
Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945). Tangerang:
Pustaka Compass. 2016.
3.
Latief, Hisyam. Laskar Hizbullah:
Berjuang menegakkan Negara RI. Jakarta: LTN PBNU. 1995.
4.
Margana, Sri. Java's Last Frontier: The
Struggle for Hegemony of Blambangan, 1763-1818. Thesis Dissertation.
Universiteit Leiden, 2007
5.
Margana, Sri. Perebutan Hegemoni
Blambangan: Ujung Timur Pulau Jawa, 1763-1818. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
2012.
[]
Penulis adalah Wakil
Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Peneliti Islam Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar