Selasa, 14 Juni 2016

(Ngaji of the Day) Seputar Bid’ah di Bulan Ramadhan



Seputar Bid’ah di Bulan Ramadhan
Oleh: Muhammad Autad An Nasher

Eits, bagi Anda yang anti terhadap kebid’ahan, saya sarankan jangan membaca tulisan ini. Karena saya akan mengulas beberapa tradisi yang mengandung unsur kebid’ahan—yang tidak ada di zamannya Nabi Muhammad Saw, tetapi banyak dirayakan oleh umat Islam Indonesia ketika menjelang Ramadhan tiba. Jadi, saya khawatir saja, kalau melunturkan iman Anda sebagai seseorang yang anti bid’ah dan menjujung tinggi pemurnian dalam Islam. 

Jadi begini, ada banyak tradisi bid’ah menjelang Ramadhan di negeri kita ini. Beberapa yang saya tahu, diantaranya di kota Kudus, itu terdapat festival Dhandangan. Festival tahunan ini semacam pesta rakyat, banyak orang yang berdagang, transaksi jual beli, atau sekadar jalan-jalan menikmati suasana keramaian. 

Dibalik tradisi yang sudah berlangsung sejak lama itu, konon dulunya adalah suatu peristiwa menunggu pengumuman awal bulan puasa dengan menabuh bedug, oleh masyarakat dan para santri Sunan Kudus, Sayyid Ja’far Shadiq. Maka, suara bedug itu; “dhang.. dhang.. dhang..” lalu disimpulkanlah menjadi nama Dhandhangan sebagai festival tahunan itu. Nah, dari pada bengong, nganggur, lalu diisilah dengan transaksi jual beli. 

Selain Dhandhangan, ada juga Dugderan di Semarang, semacam pesta rakyat, sembari menanti suara bedug  ‘dug’ dan ‘der’ (suara meriam), yang menjadi penanda awal bulan puasa. Ada lagi yang namanya ‘Padusan’. Tradisi ini jamak dijumpai di kota Klaten, Boyolali dan Salatiga, yaitu berendam di sumur-sumur atau pemandian yang diyakini keramat. Dengan filosofi membersihkan raga dan batin untuk menyambut bulan suci. 

Selanjutnya; Nyadran, yakni berziarah ke makam leluhur, dengan mengirimkan do’a. Karena di dalam hadis nabi disebutkan, bahwa ada tiga amal yang tidak akan terputus, salah satunya adalah anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya. Nyadran juga bagian dari itu. Selain tafakkur, juga ungkapan syukur. Bahwa kita bisa hidup di dunia ini karena jasa dan perjuangan orang tua dan leluhur kita.

Bagi orang Islam yang menghargai khazanah budaya dan kekayaan tradisi Nusantara, pasti tersenyum bahagia ketika melihat banyaknya tradisi-tradisi yang kemudian melebur ke dalam agama seperti di atas. Memang sih, di zaman Rasulullah tidak ada festival dan perayaan yang saya sebut tadi. Itu kalau cara pandang kita masih pakai kacama kuda. Melihat tradisi yang berkembang di masyarakat, yang tidak ada tuntunannya di eranya nabi, langsung gegabah mengatakan bid’ah dan sesat. Tidak boleh dilakukan.

Wahai umat Islam yang anti bid’ah dan memusuhi tradisi, pertanyaan saya, apakah nabi pernah melakukan shalat tarawih? Apalagi tadarus dan sema’an Al-Qur’an bareng-bareng setelah shalat tarawih? Apakah nabi pernah mudik menjelang lebaran? Bahkan peringatan Nuzulul Qur’an sekalipun, apakah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad? 

Wahai umat Islam yang anti terhadap bid’ah. Tidak semua bid’ah itu sesat. Tidak semua yang Anda anggap bid’ah itu dilarang di dalam ajaran Islam. Bahkan, ada beberapa tingkat kebid’ahan yang dianjurkan oleh agama walaupun Nabi Saw tidak pernah melakukannya. Contohnya adalah sungkeman di kala Idul Fitri tiba. Kurang bid’ah apa kita ini yang hidup di Indonesia. Masih anti terhadap bid’ah? Yawes, urusanmu. 

Justru, dengan bid’ah dan kreatifitas umat Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu bisa berkembang. Bahkan, bisa keluar dari jazirah Arab. Sebenarnya, ide besar Islam Nusantara yang diusung oleh ormas Islam terbesar di Indonesia hampir sama; mengenalkan Islam yang soft, woles, dan lentur ke seluruh penjuru dunia yang mana mendekatinya dengan cara mentransformasikan nilai Islam kepada budaya. Tradisi. 

Ide besar Islam Nusantara juga ingin mengenalkan bahwa tidak semua orang Islam itu seperi ISIS. Yang hobi banget ngebom orang. Sesama umat Islam saja dimusuhi, bahkan, membunuh orang yang diluar dari akidahnya dianggap sebagai pahala besar. Baru saja bulan lalu (Rabu, 11/5), ISIS mengguncang Irak dengan bom bunuh diri. 50 orang lebih meninggal dunia akibat peristiwa menyedihkan itu. 

Namun, orang Islam tidak semuanya seperti ISIS, tapi ada juga umat Islam yang seperti Habib Syekh bin Abdul Qadir, Habib Mundzir Al-Musawa, Habib Luthfi bn Yahya, yang mendekati umatnya melalui budaya, tradisi sholawatan, istigosahan, thariqahan, dan ihwal lain yang tidak ditemukan di zamannya Nabi Muhammad. 

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya hidup di tengah-tengah warga Iraq, Suriah, atau di Arab Saudi. Saya bisa memastikan tidak akan menemukan tradisi-tradisi Pra-Ramadhan sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Padusan, Dhandhangan, Dugderan, dan Nyadran.

Pasti saya akan muak dengan  amunisi dan bom yang meledak menjadi headline di beberapa media dan surat kabar. Lalu saya pasrah, tidak bisa menyalahkan bila umat Islam itu dicap sebagai umat yang hobi dengan kekerasan dan gemar melakukan tindakan terorisme?

***

Saya yakin, semua tradisi-tradisi yang berkembang hingga saat ini di tanah Nusantara, yang mengenalkan adalah ulama yang begitu disegani, memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa. Wajar jika ada yang menganggapnya mereka adalah wali. Kekasih Allah. 

Beliau mengenalkan Islam dengan caranya yang lentur. Mendekatinya lewat tradisi. Tidak dengan cara arogan dan kasar. Dan, sampai sekarang pun saya tidak pernah mendengar ulama yang mempunyai kedekatan tinggi dihadapan Tuhan itu, di siang hari mensweping warung-warung yang masih beroperasi di bulan Ramadan. Masak sama warung saja takut puasanya batal? Pasti belum minum Aqua ya, pas sahur?

Justru kalau ngomongin bid’ah, tingkat kebid’ahan yang paling sesat itu ketika menjual dan memperjudikan agama untuk kepentingan kelompok dan partainyanya, surga diobral di sebuah seminar, Al-Qur’an diperdagangkan demi mengundang tangis dan tepuk tangan.

Dan, bid’ah yang tingkat sesatnya paling akut adalah menuduh orang lain di luar akidah atau madzhabnya dengan label sesat. Makhluk sekelas Nabi Muhammad pun dalam sejarahnya tidak pernah melabeli umatnya dengan ‘sesat’. Apalagi sampai memerangi umat yang dianggapnya ‘kafir’. Nabi bersahabat dengan siapapun. Tidak kenal kelas dan agama. Tapi sayangnya kenapa orang yang hobi melabeli ‘sesat’, ‘kafir’, dan bid’ah’ itu justru mengaku yang paling dekat dengan nabi dan Tuhan? []

Muhammad Autad An Nasher | Penulis aktif di Jaringan Gusdurian dan bisa dihubungi di akun @autad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar