Seputar
Bid’ah di Bulan Ramadhan
Oleh: Muhammad Autad
An Nasher
Eits, bagi Anda yang
anti terhadap kebid’ahan, saya sarankan jangan membaca tulisan ini. Karena saya
akan mengulas beberapa tradisi yang mengandung unsur kebid’ahan—yang tidak ada
di zamannya Nabi Muhammad Saw, tetapi banyak dirayakan oleh umat Islam
Indonesia ketika menjelang Ramadhan tiba. Jadi, saya khawatir saja, kalau
melunturkan iman Anda sebagai seseorang yang anti bid’ah dan menjujung tinggi
pemurnian dalam Islam.
Jadi begini, ada
banyak tradisi bid’ah menjelang Ramadhan di negeri kita ini. Beberapa yang saya
tahu, diantaranya di kota Kudus, itu terdapat festival Dhandangan. Festival
tahunan ini semacam pesta rakyat, banyak orang yang berdagang, transaksi jual
beli, atau sekadar jalan-jalan menikmati suasana keramaian.
Dibalik tradisi yang
sudah berlangsung sejak lama itu, konon dulunya adalah suatu peristiwa menunggu
pengumuman awal bulan puasa dengan menabuh bedug, oleh masyarakat dan para
santri Sunan Kudus, Sayyid Ja’far Shadiq. Maka, suara bedug itu; “dhang..
dhang.. dhang..” lalu disimpulkanlah menjadi nama Dhandhangan sebagai festival
tahunan itu. Nah, dari pada bengong, nganggur, lalu diisilah dengan transaksi
jual beli.
Selain Dhandhangan,
ada juga Dugderan di Semarang, semacam pesta rakyat, sembari menanti suara
bedug ‘dug’ dan ‘der’ (suara meriam), yang menjadi penanda awal bulan
puasa. Ada lagi yang namanya ‘Padusan’. Tradisi ini jamak dijumpai di kota
Klaten, Boyolali dan Salatiga, yaitu berendam di sumur-sumur atau pemandian
yang diyakini keramat. Dengan filosofi membersihkan raga dan batin untuk
menyambut bulan suci.
Selanjutnya; Nyadran,
yakni berziarah ke makam leluhur, dengan mengirimkan do’a. Karena di dalam
hadis nabi disebutkan, bahwa ada tiga amal yang tidak akan terputus, salah
satunya adalah anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya. Nyadran juga bagian
dari itu. Selain tafakkur, juga ungkapan syukur. Bahwa kita bisa hidup di dunia
ini karena jasa dan perjuangan orang tua dan leluhur kita.
Bagi orang Islam yang
menghargai khazanah budaya dan kekayaan tradisi Nusantara, pasti tersenyum
bahagia ketika melihat banyaknya tradisi-tradisi yang kemudian melebur ke dalam
agama seperti di atas. Memang sih, di zaman Rasulullah tidak ada festival dan
perayaan yang saya sebut tadi. Itu kalau cara pandang kita masih pakai kacama
kuda. Melihat tradisi yang berkembang di masyarakat, yang tidak ada tuntunannya
di eranya nabi, langsung gegabah mengatakan bid’ah dan sesat. Tidak boleh
dilakukan.
Wahai umat Islam yang
anti bid’ah dan memusuhi tradisi, pertanyaan saya, apakah nabi pernah melakukan
shalat tarawih? Apalagi tadarus dan sema’an Al-Qur’an bareng-bareng setelah
shalat tarawih? Apakah nabi pernah mudik menjelang lebaran? Bahkan peringatan
Nuzulul Qur’an sekalipun, apakah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?
Wahai umat Islam yang
anti terhadap bid’ah. Tidak semua bid’ah itu sesat. Tidak semua yang Anda
anggap bid’ah itu dilarang di dalam ajaran Islam. Bahkan, ada beberapa tingkat
kebid’ahan yang dianjurkan oleh agama walaupun Nabi Saw tidak pernah
melakukannya. Contohnya adalah sungkeman di kala Idul Fitri tiba. Kurang bid’ah
apa kita ini yang hidup di Indonesia. Masih anti terhadap bid’ah? Yawes,
urusanmu.
Justru, dengan bid’ah
dan kreatifitas umat Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu bisa
berkembang. Bahkan, bisa keluar dari jazirah Arab. Sebenarnya, ide besar Islam
Nusantara yang diusung oleh ormas Islam terbesar di Indonesia hampir sama;
mengenalkan Islam yang soft, woles, dan lentur ke seluruh penjuru dunia yang
mana mendekatinya dengan cara mentransformasikan nilai Islam kepada budaya.
Tradisi.
Ide besar Islam
Nusantara juga ingin mengenalkan bahwa tidak semua orang Islam itu seperi ISIS.
Yang hobi banget ngebom orang. Sesama umat Islam saja dimusuhi, bahkan,
membunuh orang yang diluar dari akidahnya dianggap sebagai pahala besar. Baru
saja bulan lalu (Rabu, 11/5), ISIS mengguncang Irak dengan bom bunuh diri. 50
orang lebih meninggal dunia akibat peristiwa menyedihkan itu.
Namun, orang Islam
tidak semuanya seperti ISIS, tapi ada juga umat Islam yang seperti Habib Syekh
bin Abdul Qadir, Habib Mundzir Al-Musawa, Habib Luthfi bn Yahya, yang mendekati
umatnya melalui budaya, tradisi sholawatan, istigosahan, thariqahan, dan ihwal
lain yang tidak ditemukan di zamannya Nabi Muhammad.
Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana saya hidup di tengah-tengah warga Iraq, Suriah, atau di
Arab Saudi. Saya bisa memastikan tidak akan menemukan tradisi-tradisi
Pra-Ramadhan sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Padusan, Dhandhangan,
Dugderan, dan Nyadran.
Pasti saya akan muak
dengan amunisi dan bom yang meledak menjadi headline di beberapa media
dan surat kabar. Lalu saya pasrah, tidak bisa menyalahkan bila umat Islam itu
dicap sebagai umat yang hobi dengan kekerasan dan gemar melakukan tindakan
terorisme?
***
Saya yakin, semua
tradisi-tradisi yang berkembang hingga saat ini di tanah Nusantara, yang
mengenalkan adalah ulama yang begitu disegani, memiliki kekuatan spiritual yang
luar biasa. Wajar jika ada yang menganggapnya mereka adalah wali. Kekasih
Allah.
Beliau mengenalkan
Islam dengan caranya yang lentur. Mendekatinya lewat tradisi. Tidak dengan cara
arogan dan kasar. Dan, sampai sekarang pun saya tidak pernah mendengar ulama
yang mempunyai kedekatan tinggi dihadapan Tuhan itu, di siang hari mensweping
warung-warung yang masih beroperasi di bulan Ramadan. Masak sama warung saja
takut puasanya batal? Pasti belum minum Aqua ya, pas sahur?
Justru kalau
ngomongin bid’ah, tingkat kebid’ahan yang paling sesat itu ketika menjual dan
memperjudikan agama untuk kepentingan kelompok dan partainyanya, surga diobral
di sebuah seminar, Al-Qur’an diperdagangkan demi mengundang tangis dan tepuk
tangan.
Dan, bid’ah yang
tingkat sesatnya paling akut adalah menuduh orang lain di luar akidah atau
madzhabnya dengan label sesat. Makhluk sekelas Nabi Muhammad pun dalam
sejarahnya tidak pernah melabeli umatnya dengan ‘sesat’. Apalagi sampai
memerangi umat yang dianggapnya ‘kafir’. Nabi bersahabat dengan siapapun. Tidak
kenal kelas dan agama. Tapi sayangnya kenapa orang yang hobi melabeli ‘sesat’,
‘kafir’, dan bid’ah’ itu justru mengaku yang paling dekat dengan nabi dan
Tuhan? []
Muhammad Autad An
Nasher | Penulis aktif di Jaringan Gusdurian dan bisa dihubungi di akun @autad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar