Brussel
Oleh: Azyumardi Azra
Kembali ke Brussel. Penulis “Resonansi” ini telah berulang kali
datang ke ibu kota Belgia itu dalam beberapa tahun terakhir. Pernah datang
sebagai narasumber dalam dialog tentang toleransi beragama di Indonesia dan
Eropa dengan Parlemen Uni Eropa; bincang dari hati ke hati dengan pemimpin
Muslim dan Imam dari negara-negara Benelux mengenai Islamofobia.
Penulis dalam kesempatan lebih akhir juga menjadi konsultan pengembangan
program MA Kajian Islam di Universitas Katolik Leuven, Belgia, universitas
Katolik tertua di Eropa. Tetapi, kembali ke Brussel pada akhir Mei 2016 lalu
dan tinggal di kota ini selama hampir sepekan menjelang Ramadan, penulis
merasakan situasi sangat berbeda dengan sebelumnya.
Dulu, Brussel terlihat dan terasa aman dan nyaman; tidak ada tanda
kota ini sedang dalam bahaya. Kini, pengamanan dengan tentara bersenjata laras
panjang terlihat di bandara, stasiun kereta api, dan tempat strategis lain.
Calon penumpang pesawat udara di Bandara Brussel di Zaventen kini
memerlukan waktu sedikitnya tiga jam untuk melewati berbagai pemeriksaan
sekuriti. Kini, hanya penumpang dengan tiket yang diizinkan memasuki kawasan
bandara; pengantar hanya boleh sampai di pos pemeriksaan sekuriti pertama.
Perubahan suasana Brussel tak lain terkait dengan ledakan bom
bunuh diri di Bandara Brussel pada 22 Maret 2016 lalu yang menewaskan 16 orang
di area check in dan 16 orang lain di stasiun metro, kereta bawah tanah.
Bandara baru dibuka kembali pada 3 April secara simbolik dengan
melepas tiga penerbangan. Menurut estimasi, diperlukan waktu berpekan-pekan
atau, bahkan berbulan-bulan sebelum Bandara Brussel dapat kembali beroperasi
normal dengan 600 penerbangan setiap hari.
Mengapa demikian lama? Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat?
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis “Resonansi” ini beruntung tanpa sengaja
mendapat penjelasan dari Kepala Kepolisian RI Jenderal Badroddin Haiti dalam
penerbangan Garuda Indonesia Malang-Cengkareng, beberapa hari sebelum bertolak
dengan penerbangan Garuda lain ke Amsterdam.
Penjelasan Kapolri, tidak terbayangkan sebelumnya ternyata
memberikan perspektif perbandingan amat baik tentang penanganan aksi terorisme
di Indonesia dengan Belgia. Menurut Kapolri, penanganan terorisme, khususnya
pengolahan tempat kejadian perkara (TKP) di Eropa, termasuk di Belgia, jauh
lebih lama dibandingkan dengan yang dilakukan aparat Polri di Indonesia. Mengapa
lama?
"Karena, mereka ingin memastikan tidak ada bukti atau
serpihan bukti yang terlewatkan di TKP. Sebaliknya, Polri menangani TKP secepat
mungkin, sehingga area tersebut dapat segera dibuka kembali untuk publik".
Akibat pengolahan TKP yang lama di Brussel adalah bahwa dampak
psikologis dan sosial juga bertahan lebih lama. Lamanya penutupan area TKP
beserta tumpukan karangan bunga dan lilin menciptakan suasana psikologis yang
sendu dan pilu. Keadaan ini memunculkan trauma yang dapat bertahan lama.
Sebaliknya, di Indonesia, dengan pembukaan kembali area TKP
sesegera mungkin, suasana psikologis yang muncul adalah bahwa 'keadaan telah
kembali normal'. Begitu normalnya, sehingga wilayah sekitar TKP malah dipenuhi
banyak pengunjung yang segera dilengkapi pedagang makanan, pengasong, atau
pengojek.
Membandingkan dampak bom Brussel dengan bom di sekitar gedung
Sarinah, Jakarta, (14/1) yang menewaskan tujuh orang terlihat suasana
psikologis mencekam yang bertahan cukup lama di Brussel. Dengan begitu,
sebagian tujuan teroris menciptakan psikologi ketakutan dan traumatik secara
luas terlihat tercapai.
Sebaliknya, pengeboman di sekitar Sarinah gagal menciptakan
situasi psikologis mencekam secara luas. Bahkan, hanya dalam waktu yang tidak
lama masyarakat, selain mengutuk bom bunuh diri, secara afirmatif menegaskan
tidak takut dan tidak terpengaruh tindakan biadab tersebut.
Dengan begitu, pengebom bunuh diri gagal mewujudkan ketakutan
meluas dalam masyarakat Jakarta, jangankan lagi warga Indonesia secara
keseluruhan. Terlepas dari perbedaan antara Brussel dan Jakarta, yang jelas
pengeboman bunuh diri di Brussel membuat citra Islam kian tercemar sekaligus
memojokkan kaum Muslim secara keseluruhan.
Pelecehan (harassment) dan sikap bermusuhan terhadap Islam dan
kaum Muslim meningkat secara cepat. Sikap bermusuhan terhadap Islam dan kaum
Muslim di Belgia masih potensial meningkat. Hal ini tidak lain karena Belgia
merupakan negara di mana proporsi orang-orang radikal dan potensial menjadi
pengebom bunuh diri paling tinggi di Eropa.
Pew Research Institute mencatat (2010), penduduk Belgia hanya 11
juta jiwa dan enam persen, di antaranya, beragama Islam. Tetapi, tercatat
sekitar 516 Muslim yang pergi bergabung dengan ISIS. Bandingkan dengan 458
orang Indonesia yang berangkat ke ISIS, dari sekitar 220 juta penduduk Muslim
Indonesia.
Kembali ke Brussel kali ini tidak menimbulkan optimisme terhadap
masa depan Islam dan kaum Muslim secara keseluruhan di Belgia. Jika mau
mengambil hikmah dari pengalaman pahit Brussel, semestinya siapa saja yang
mengatasnamakan Islam untuk tujuan tertentu wajib menempuh cara damai, rahmatan
lil 'alamin. []
REPUBLIKA, 09 Juni 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar