Jumat, 10 Juni 2016

Azyumardi: Brussel



Brussel
Oleh: Azyumardi Azra

Kembali ke Brussel. Penulis “Resonansi” ini telah berulang kali datang ke ibu kota Belgia itu dalam beberapa tahun terakhir. Pernah datang sebagai narasumber dalam dialog tentang toleransi beragama di Indonesia dan Eropa dengan Parlemen Uni Eropa; bincang dari hati ke hati dengan pemimpin Muslim dan Imam dari negara-negara Benelux mengenai Islamofobia.

Penulis dalam kesempatan lebih akhir juga menjadi konsultan pengembangan program MA Kajian Islam di Universitas Katolik Leuven, Belgia, universitas Katolik tertua di Eropa. Tetapi, kembali ke Brussel pada akhir Mei 2016 lalu dan tinggal di kota ini selama hampir sepekan menjelang Ramadan, penulis merasakan situasi sangat berbeda dengan sebelumnya.

Dulu, Brussel terlihat dan terasa aman dan nyaman; tidak ada tanda kota ini sedang dalam bahaya. Kini, pengamanan dengan tentara bersenjata laras panjang terlihat di bandara, stasiun kereta api, dan tempat strategis lain.

Calon penumpang pesawat udara di Bandara Brussel di Zaventen kini memerlukan waktu sedikitnya tiga jam untuk melewati berbagai pemeriksaan sekuriti. Kini, hanya penumpang dengan tiket yang diizinkan memasuki kawasan bandara; pengantar hanya boleh sampai di pos pemeriksaan sekuriti pertama.

Perubahan suasana Brussel tak lain terkait dengan ledakan bom bunuh diri di Bandara Brussel pada 22 Maret 2016 lalu yang menewaskan 16 orang di area check in dan 16 orang lain di stasiun metro, kereta bawah tanah.

Bandara baru dibuka kembali pada 3 April secara simbolik dengan melepas tiga penerbangan. Menurut estimasi, diperlukan waktu berpekan-pekan atau, bahkan berbulan-bulan sebelum Bandara Brussel dapat kembali beroperasi normal dengan 600 penerbangan setiap hari.

Mengapa demikian lama? Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat? Menjawab pertanyaan tersebut, penulis “Resonansi” ini beruntung tanpa sengaja mendapat penjelasan dari Kepala Kepolisian RI Jenderal Badroddin Haiti dalam penerbangan Garuda Indonesia Malang-Cengkareng, beberapa hari sebelum bertolak dengan penerbangan Garuda lain ke Amsterdam.

Penjelasan Kapolri, tidak terbayangkan sebelumnya ternyata memberikan perspektif perbandingan amat baik tentang penanganan aksi terorisme di Indonesia dengan Belgia. Menurut Kapolri, penanganan terorisme, khususnya pengolahan tempat kejadian perkara (TKP) di Eropa, termasuk di Belgia, jauh lebih lama dibandingkan dengan yang dilakukan aparat Polri di Indonesia. Mengapa lama?

"Karena, mereka ingin memastikan tidak ada bukti atau serpihan bukti yang terlewatkan di TKP. Sebaliknya, Polri menangani TKP secepat mungkin, sehingga area tersebut dapat segera dibuka kembali untuk publik".

Akibat pengolahan TKP yang lama di Brussel adalah bahwa dampak psikologis dan sosial juga bertahan lebih lama. Lamanya penutupan area TKP beserta tumpukan karangan bunga dan lilin menciptakan suasana psikologis yang sendu dan pilu. Keadaan ini memunculkan trauma yang dapat bertahan lama.

Sebaliknya, di Indonesia, dengan pembukaan kembali area TKP sesegera mungkin, suasana psikologis yang muncul adalah bahwa 'keadaan telah kembali normal'. Begitu normalnya, sehingga wilayah sekitar TKP malah dipenuhi banyak pengunjung yang segera dilengkapi pedagang makanan, pengasong, atau pengojek.

Membandingkan dampak bom Brussel dengan bom di sekitar gedung Sarinah, Jakarta, (14/1) yang menewaskan tujuh orang terlihat suasana psikologis mencekam yang bertahan cukup lama di Brussel. Dengan begitu, sebagian tujuan teroris menciptakan psikologi ketakutan dan traumatik secara luas terlihat tercapai.

Sebaliknya, pengeboman di sekitar Sarinah gagal menciptakan situasi psikologis mencekam secara luas. Bahkan, hanya dalam waktu yang tidak lama masyarakat, selain mengutuk bom bunuh diri, secara afirmatif menegaskan tidak takut dan tidak terpengaruh tindakan biadab tersebut.

Dengan begitu, pengebom bunuh diri gagal mewujudkan ketakutan meluas dalam masyarakat Jakarta, jangankan lagi warga Indonesia secara keseluruhan. Terlepas dari perbedaan antara Brussel dan Jakarta, yang jelas pengeboman bunuh diri di Brussel membuat citra Islam kian tercemar sekaligus memojokkan kaum Muslim secara keseluruhan.

Pelecehan (harassment) dan sikap bermusuhan terhadap Islam dan kaum Muslim meningkat secara cepat. Sikap bermusuhan terhadap Islam dan kaum Muslim di Belgia masih potensial meningkat. Hal ini tidak lain karena Belgia merupakan negara di mana proporsi orang-orang radikal dan potensial menjadi pengebom bunuh diri paling tinggi di Eropa.

Pew Research Institute mencatat (2010), penduduk Belgia hanya 11 juta jiwa dan enam persen, di antaranya, beragama Islam. Tetapi, tercatat sekitar 516 Muslim yang pergi bergabung dengan ISIS. Bandingkan dengan 458 orang Indonesia yang berangkat ke ISIS, dari sekitar 220 juta penduduk Muslim Indonesia.

Kembali ke Brussel kali ini tidak menimbulkan optimisme terhadap masa depan Islam dan kaum Muslim secara keseluruhan di Belgia. Jika mau mengambil hikmah dari pengalaman pahit Brussel, semestinya siapa saja yang mengatasnamakan Islam untuk tujuan tertentu wajib menempuh cara damai, rahmatan lil 'alamin. []

REPUBLIKA, 09 Juni 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar