Bakhil Membawa Sengsara
Oleh: Komaruddin Hidayat
Dalam Alquran terdapat berbagai ayat yang mengingatkan orang yang
bersikap bakhil atau pelit, ujungnya malah menyengsarakan diri sendiri. Bahkan
orang yang enggan bersyukur, yaitu memanfaatkan anugerah Allah di jalan
kebaikan, Alquran menyebutnya sebagai kekufuran (14:7).
Kufur atau kafir artinya orang menutupi (cover) atau enggan
mengakui kebaikan Allah kepadanya. Makna ini juga sejalan dengan pengertian
kafir, yaitu orang yang menutup hati dan pikirannya dari cahaya kebenaran yang
terlihat di depan matanya.
Mereka tahu kebenaran, tetapi mengingkarinya. Bahkan memusuhinya,
seperti yang dilakukan Abu Jahal dkk terhadap Rasulullah, karena ego dan
kepentingan pribadinya terancam.
Dalam Alquran Surat Al Lail (92), Allah berfirman: "Siapapun orangnya yang senang
berbagi semata karena mengharap rida Allah, maka Allah akan melapangkan jalan
hidupnya. Dan barang siapa kikir, merasa dirinya kaya, dan tidak memerlukan
lagi pertolongan Allah, maka Allah akan mendekatkan pada pintu kesempitan dan
kesulitan hidupnya."
Kalimat ini merupakan ancaman dan janji dari Allah berupa akibat
buruk dan baik bagi mereka yang suka berderma dan yang kikir. Ayat‑ayat serupa
mudah dijumpai dalam Alquran dan Hadist.
Mari kita bahas sekilas secara psikologis‑empiris. Orang yang
bakhil, pelit, akan selalu merasa dirinya miskin sekalipun berkecukupan atau
bahkan berlebih dibanding orang lain. Kekayaan yang dimiliki takut berkurang
sehingga tanpa disadari dia telah berperan sebagai pesuruh atau penjaga
hartanya, bukannya harta yang menjadi penjaga dirinya.
Orang yang pelit, posisi hartanya yang menjadi majikan, bukan
sebaliknya. Padahal Alquran menyebutkan, sesungguhnya semua yang ada ini
hakikatnya milik Allah, manusia hanya dipinjami dan diberi kewenangan untuk
mengelolanya dalam jumlah amat sangat sedikit.
Jika kita selalu memandang ke atas, di atas langit masih ada
langit. Jika seseorang tidak pernah mensyukuri rezeki dan kekayaan yang ada,
pasti akan lelah, selalu merasa miskin, karena di sana banyak orang yang lebih
kaya.
Orang yang selalu menghitung‑hitung dan membanding‑bandingkan
hartanya ibarat berjalan dengan mata dan muka memandang ke atas. Tidak
menikmati perjalanan. Leher sakit dan kaki mudah kesandung.
Maka pandanglah ke depan dan sedikit ke bawah. Sekali‑sekali saja boleh ke atas agar muncul dorongan semangat berusaha.
Yang lebih bahaya dari orang pelit adalah jika menempatkan
kekayaan sebagai status sosial dan identitas diri, sehingga berlaku formula: I am what I have (saya
adalah apa yang saya punya) Penyakit having
mode ini menggeser jati diri seseorang yang sesungguhnya lebih
tinggi dan bersifat immateri mengingat misi kehidupan tertinggi manusia itu
bersifat ruhani.
Kemuliaan di mata Allah dan di mata manusia yang dinilai bukanlah
berapa banyak harta dan kedudukan, melainkan derajat ketaqwaan hidupnya,
termasuk bagaimana jalan mendapatkan kekayaan dan untuk apa harta dibelanjakan.
Harta yang abadi adalah yang telah dibelanjakan di jalan Allah, sedangkan yang belum
dibelanjakan kita tidak tahu akan ke mana larinya.
Allah berjanji harta yang senantiasa dikeluarkan zakat serta
shodaqohnya justru akan senantiasa diberkati dan dilipatgandakan pahalanya,
akan dirasakan sejak di dunia maupun di akhirat kelak. Berapapun banyaknya
harta dimiliki, seseorang akan tetap merasa miskin kecuali mereka yang
bersyukur dan berbagai rezeki bersama mereka yang mesti dibantu.
Fenomena masyarakat Barat yang menarik direnungkan adalah kesukaan
mereka berderma, antara lain berupa Corporate Social Responsibility (CSR), dan
membantu lembaga‑lembaga sosial kemanusiaan serta pendidikan. []
TRIBUNNEWS, 21 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar