Debat Ide
Gambar Wayang yang Belum Sudah
Oleh:
Dahlan Iskan
Carilah mi sampai ke Lanzhou. Dan carilah kwetiau sampai Ipoh.
Alhamdulillah, dalam satu minggu saya dapat dua-duanya. Ke Ipoh 18 April lalu.
Ke Lanzhou seminggu kemudian.
Saya memang harus ke dekat-dekat Ipoh, tepatnya ke Universiti
Utara Malaysia (UUM), di Negara Bagian Kedah. Biasa. Ceramah. Di universitas
dengan 30.000 mahasiswa yang didirikan Dr Mahathir Mohamad 30 tahun lalu itu.
Ternyata kampus UUM itu praktis nempel di perbatasan Malaysia
dengan Thailand. Begitu selesai acara di UUM, muncullah keinginan untuk
nyeberang. Padahal, seharusnya bisa ke Ipoh. Makan kwetiau. Tapi, ke Ipoh bisa
belakangan. Saya begitu ingin ke Pattani. Wilayah paling selatan Thailand itu.
Bahkan sejak masih menjadi wartawan dulu. Ingin meliput pergolakan di sana.
Biar pun kini sudah lebih aman, saya tetap ingin tahu Pattani.
Yang mayoritas penduduknya Islam. Yang kebanyakan perempuannya berkerudung.
Yang budayanya Melayu. Yang sering bergolak karena ingin merdeka.
Ternyata betul. Kawasan itu sangat Melayu. Sulit cari pathay,
masakan Thailand yang saya sukai. Dua kali masuk restoran, selalu dapat masakan
Melayu. Hanya, ada rasa kecut Thailand-nya.
Ketika saya tanya kenapa tidak ada menu pathay, dijawab tidak ada
yang suplai minya. Rakyat bicara bahasa Thai, tapi mengerti bahasa Melayu. Di
Pattani saya masih bisa merasakan ketegangan. Masih banyak pos penjagaan
militer yang didirikan. Bahkan di tengah kota. Tanda masih sering terjadi
kekerasan bersenjata.
Setelah kenyang, saya pun melihat peta. Pattani ternyata lebih
dekat ke Kota Bharu, Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Sama-sama di pantai
timur semenanjung. Mending jangan balik ke Kedah. Yang lokasinya di pantai
barat semenanjung. Ke Kota Bharu saja. Nyeberang masuk Malaysia lagi, tapi di
arah yang berbeda. Sekalian melihat yang lain: bagaimana keadaan satu-satunya
negara bagian di Malaysia yang pemerintahannya di bawah partai Islam itu.
Apakah hukum syariah diberlakukan dengan ketat. Apakah beda dengan wilayah lain
Malaysia.
Ternyata Kota Bharu lebih besar daripada yang saya bayangkan.
Lebih maju daripada yang saya perkirakan. Juga ramai sekali. Ada hotel bintang
lima, tempat saya menginap. Ada tiga mal besar. Memang perempuannya umumnya
berkerudung, tapi ada juga yang lengan bajunya pendek. Atau berkerudung dengan
bawahan celana jins ketat. Bahkan, di kantin terbuka yang panas di waktu magrib
itu saya melihat ada yang makan dengan baju tank top.
Hanya, tidak ada gambar wayang di Kota Bharu. Tapi, larangan itu
tidak akan lama. Mulai ada pemikiran untuk mengizinkannya. Meski dengan
pembatasan tertentu. Misal, ada gambar wayang khusus untuk penonton laki-laki.
Lalu, ada gambar wayang khusus untuk penonton perempuan. Persoalannya:
Bagaimana dengan yang sudah berkeluarga? Muncul ide baru: Adakan saja bioskop
khusus untuk penonton yang sudah berkeluarga. Suami yang ingin mengajak
istrinya nonton film bisa ke gambar wayang jenis ketiga itu.
Sudah tiga tahun soal rencana gambar wayang itu dibahas, tapi
belum ada keputusan.
Hanya itu yang terasa beda. Selebihnya, saya tidak merasakan bahwa
saya lagi di negara bagian dengan pemerintahan partai Islam. Saya lihat, ada
beberapa gereja yang cukup mencolok. Lebih banyak lagi bangunan kelenteng.
Dengan suku Tionghoa-nya. Dengan toko-toko bertulisan huruf Mandarin-nya yang
gemuruh.
Patung Buddha Tidur terbesar di Asia Tenggara pun adanya di
Kelantan ini. Perdagangan di Kota Bharu juga sangat ramai. Ternyata penduduk
Kelantan dikenal paling besar jiwa dagangnya. Terutama perempuannya. ”Orang
Kelantan itu seperti orang Padang,” ujar Pak Chairul, pengusaha besar di Kuala
Lumpur yang asli Minang.
Tidak ada dominasi perusahaan besar di Kelantan. Usaha kecil dan
menengah yang maju. Itu terkait dengan kebijakan unik di bidang agraria. Yang
hanya berlaku di Kelantan. Soal kepemilikan tanah. Hanya Kelantan yang memiliki
hukum ini: Orang yang tidak lahir di Kelantan tidak boleh beli tanah di
Kelantan. Beristri orang Kelantan pun belum dianggap sebagai orang Kelantan.
Beli tanah masih harus atas nama sang istri. Sebaliknya, warga Tionghoa pun
diperlakukan sama. Begitu lahir di Kelantan, dianggap orang Kelantan.
Sebelum subuh, saya sudah pergi ke masjid. Saya cari yang
terdekat. Itu saya ketahui dari pengeras suara. Ternyata saya kesasar. Suara
itu memantul karena dinding hotel. Seperti dari arah yang berbeda.
Subuhannya pun tidak beda dengan yang ada di masjid-masjid ahli
sunah kita. Lalu, saya ikuti kuliah subuhnya. Satu jam lebih. Sampai matahari
sudah agak tinggi. Dan saya tidak mengerti sama sekali. Bahasa Melayu-nya
sangat berbeda. Kalaupun saya tahu apa saja topik kuliah panjangnya, itu karena
si penceramah banyak mengutip ayat Alquran. Yang saya tahu apa artinya.
Dari Kota Bharu tidak banyak pilihan. Ke mana-mana jauh. Balik ke
Kedah jauh. Harus muter Thailand lagi. Padahal, saya harus ke Ipoh. Dan tiket
saya berikutnya ke Lanzhou. Itu membuat saya harus ke Hongkong lewat Penang.
Ya sudah. Sama-sama muter, sekalian ke Kuala Terengganu, ibu kota
Negara Bagian Terengganu. Naik bus umum. Lima jam. Sekalian ingin tahu sistem
angkutan umumnya. Lalu ke Kuantan, ibu kota Negara Bagian Pahang. Lima jam.
Lagi. Sekalian biar tuntas: menjelajah semua negara bagian di Malaysia. Memang
tinggal Terengganu, Pahang, dan Perak yang belum saya injak. Sabah, Sarawak,
Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Perlis, dan Selangor sudah pernah.
Dari Pahang, mendadak ada acara rapat di Kuala Lumpur. Dengan
orang-orang bank di sana. Berarti bisa ke Ipoh dari Kuala Lumpur. Tinggal dua
jam lagi. Naik mobil.
Maka, setelah rapat-rapat di Kuala Lumpur, saya pun ke Ipoh, ibu
kota Negara Bagian Perak. Itulah negara bagian yang di zaman dulu dikenal
sebagai pusat produksi perak dunia.
Ada satu SMA yang terkenal di Kuala Kangsar. Di sini pula sultan
Perak beristana. Saya pun mengunjungi SMA itu. Yang melahirkan banyak tokoh
Malaysia. Termasuk mantan Wakil Perdana Menteri Dr Anwar Ibrahim. Dan yang satu
ini pula: Dr Ir Azahari yang tewas di Malang saat Densus 88 menyergap rumah
kontrakannya.
Malamnya, saya baru benar-benar ke Kota Ipoh. Langsung ke
Pecenongan-nya Ipoh. Puluhan restoran berjualan menu yang sama. Kwetiau. Dengan
meja-meja sampai meluap ke perempatan. Bukan main meriahnya. Dan lahapnya.
Semua makan kwetiau. Dan ayam garam. Dan ceker ayam. Dan murah. Di Malaysia
makanan memang lebih murah daripada di Indonesia.
Setelah kenyang, saya pun ingat: Inilah negara bagian terakhir
yang saya kunjungi. Penjelajahan ke Malaysia saya tutup dengan kwetiau.
Tentu saya tidak akan lupa duriannya. Jenis musang king. Orang
Tionghoa menyebutnya mu shang huang. Kapan itu? Waktu saya ke UniMAP,
universitas Malaysia di Negara Bagian Perlis, saya melahapnya.
Saya tidak boleh lupa menulis Perlis. Di sini saya dapat honoris
causa. Dari UniMAP. Tapi, saya baru tahu sekarang: Perlis adalah satu-satunya
negara bagian di Malaysia yang pahamnya Wahabi. Mungkin karena sultan Perlis,
dulunya, keturunan Hadramaut.
Di Malaysia soal agama (dan tanah/agraria) memang sepenuhnya urusan
sultan setempat. Yang kalau di Perlis disebut raja. Di Negeri Sembilan disebut
yang dipertuan. Di Penang disebut ketua menteri. Di Sabah dan Sarawak disebut
menteri besar.
Paham Wahabi di Perlis tidak bisa berkembang di Malaysia karena
aturan para sultan itu: melarang ulama atau kiai dari negara bagian lain untuk
berdakwah di wilayahnya. Ulama Wahabi Perlis tidak pernah dapat izin dakwah di
luar Perlis. ”Jadi, tidak pernah ada ketegangan antara Sunni dan Wahabi,” ujar
Rektor UUM Profesor Dato’ Dr Mohamed Mustafa Ishak saat menjamu saya makan
malam.
Gara-gara hanya ingin ke Pattani, akhirnya terjerat ke mana-mana.
Padahal, saya sudah ditunggu Lanzhou. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar