Rabu, 08 Juni 2016

Dahlan: Debat Ide Gambar Wayang yang Belum Sudah



Debat Ide Gambar Wayang yang Belum Sudah
Oleh: Dahlan Iskan

Carilah mi sampai ke Lanzhou. Dan carilah kwetiau sampai Ipoh. Alhamdulillah, dalam satu minggu saya dapat dua-duanya. Ke Ipoh 18 April lalu. Ke Lanzhou seminggu kemudian.

Saya memang harus ke dekat-dekat Ipoh, tepatnya ke Universiti Utara Malaysia (UUM), di Negara Bagian Kedah. Biasa. Ceramah. Di universitas dengan 30.000 mahasiswa yang didirikan Dr Mahathir Mohamad 30 tahun lalu itu.

Ternyata kampus UUM itu praktis nempel di perbatasan Malaysia dengan Thailand. Begitu selesai acara di UUM, muncullah keinginan untuk nyeberang. Padahal, seharusnya bisa ke Ipoh. Makan kwetiau. Tapi, ke Ipoh bisa belakangan. Saya begitu ingin ke Pattani. Wilayah paling selatan Thailand itu. Bahkan sejak masih menjadi wartawan dulu. Ingin meliput pergolakan di sana.

Biar pun kini sudah lebih aman, saya tetap ingin tahu Pattani. Yang mayoritas penduduknya Islam. Yang kebanyakan perempuannya berkerudung. Yang budayanya Melayu. Yang sering bergolak karena ingin merdeka.

Ternyata betul. Kawasan itu sangat Melayu. Sulit cari pathay, masakan Thailand yang saya sukai. Dua kali masuk restoran, selalu dapat masakan Melayu. Hanya, ada rasa kecut Thailand-nya.

Ketika saya tanya kenapa tidak ada menu pathay, dijawab tidak ada yang suplai minya. Rakyat bicara bahasa Thai, tapi mengerti bahasa Melayu. Di Pattani saya masih bisa merasakan ketegangan. Masih banyak pos penjagaan militer yang didirikan. Bahkan di tengah kota. Tanda masih sering terjadi kekerasan bersenjata.

Setelah kenyang, saya pun melihat peta. Pattani ternyata lebih dekat ke Kota Bharu, Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Sama-sama di pantai timur semenanjung. Mending jangan balik ke Kedah. Yang lokasinya di pantai barat semenanjung. Ke Kota Bharu saja. Nyeberang masuk Malaysia lagi, tapi di arah yang berbeda. Sekalian melihat yang lain: bagaimana keadaan satu-satunya negara bagian di Malaysia yang pemerintahannya di bawah partai Islam itu. Apakah hukum syariah diberlakukan dengan ketat. Apakah beda dengan wilayah lain Malaysia.

Ternyata Kota Bharu lebih besar daripada yang saya bayangkan. Lebih maju daripada yang saya perkirakan. Juga ramai sekali. Ada hotel bintang lima, tempat saya menginap. Ada tiga mal besar. Memang perempuannya umumnya berkerudung, tapi ada juga yang lengan bajunya pendek. Atau berkerudung dengan bawahan celana jins ketat. Bahkan, di kantin terbuka yang panas di waktu magrib itu saya melihat ada yang makan dengan baju tank top.

Hanya, tidak ada gambar wayang di Kota Bharu. Tapi, larangan itu tidak akan lama. Mulai ada pemikiran untuk mengizinkannya. Meski dengan pembatasan tertentu. Misal, ada gambar wayang khusus untuk penonton laki-laki. Lalu, ada gambar wayang khusus untuk penonton perempuan. Persoalannya: Bagaimana dengan yang sudah berkeluarga? Muncul ide baru: Adakan saja bioskop khusus untuk penonton yang sudah berkeluarga. Suami yang ingin mengajak istrinya nonton film bisa ke gambar wayang jenis ketiga itu.

Sudah tiga tahun soal rencana gambar wayang itu dibahas, tapi belum ada keputusan.

Hanya itu yang terasa beda. Selebihnya, saya tidak merasakan bahwa saya lagi di negara bagian dengan pemerintahan partai Islam. Saya lihat, ada beberapa gereja yang cukup mencolok. Lebih banyak lagi bangunan kelenteng. Dengan suku Tionghoa-nya. Dengan toko-toko bertulisan huruf Mandarin-nya yang gemuruh.

Patung Buddha Tidur terbesar di Asia Tenggara pun adanya di Kelantan ini. Perdagangan di Kota Bharu juga sangat ramai. Ternyata penduduk Kelantan dikenal paling besar jiwa dagangnya. Terutama perempuannya. ”Orang Kelantan itu seperti orang Padang,” ujar Pak Chairul, pengusaha besar di Kuala Lumpur yang asli Minang.

Tidak ada dominasi perusahaan besar di Kelantan. Usaha kecil dan menengah yang maju. Itu terkait dengan kebijakan unik di bidang agraria. Yang hanya berlaku di Kelantan. Soal kepemilikan tanah. Hanya Kelantan yang memiliki hukum ini: Orang yang tidak lahir di Kelantan tidak boleh beli tanah di Kelantan. Beristri orang Kelantan pun belum dianggap sebagai orang Kelantan. Beli tanah masih harus atas nama sang istri. Sebaliknya, warga Tionghoa pun diperlakukan sama. Begitu lahir di Kelantan, dianggap orang Kelantan.

Sebelum subuh, saya sudah pergi ke masjid. Saya cari yang terdekat. Itu saya ketahui dari pengeras suara. Ternyata saya kesasar. Suara itu memantul karena dinding hotel. Seperti dari arah yang berbeda.

Subuhannya pun tidak beda dengan yang ada di masjid-masjid ahli sunah kita. Lalu, saya ikuti kuliah subuhnya. Satu jam lebih. Sampai matahari sudah agak tinggi. Dan saya tidak mengerti sama sekali. Bahasa Melayu-nya sangat berbeda. Kalaupun saya tahu apa saja topik kuliah panjangnya, itu karena si penceramah banyak mengutip ayat Alquran. Yang saya tahu apa artinya.

Dari Kota Bharu tidak banyak pilihan. Ke mana-mana jauh. Balik ke Kedah jauh. Harus muter Thailand lagi. Padahal, saya harus ke Ipoh. Dan tiket saya berikutnya ke Lanzhou. Itu membuat saya harus ke Hongkong lewat Penang.

Ya sudah. Sama-sama muter, sekalian ke Kuala Terengganu, ibu kota Negara Bagian Terengganu. Naik bus umum. Lima jam. Sekalian ingin tahu sistem angkutan umumnya. Lalu ke Kuantan, ibu kota Negara Bagian Pahang. Lima jam. Lagi. Sekalian biar tuntas: menjelajah semua negara bagian di Malaysia. Memang tinggal Terengganu, Pahang, dan Perak yang belum saya injak. Sabah, Sarawak, Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Perlis, dan Selangor sudah pernah.

Dari Pahang, mendadak ada acara rapat di Kuala Lumpur. Dengan orang-orang bank di sana. Berarti bisa ke Ipoh dari Kuala Lumpur. Tinggal dua jam lagi. Naik mobil.

Maka, setelah rapat-rapat di Kuala Lumpur, saya pun ke Ipoh, ibu kota Negara Bagian Perak. Itulah negara bagian yang di zaman dulu dikenal sebagai pusat produksi perak dunia.

Ada satu SMA yang terkenal di Kuala Kangsar. Di sini pula sultan Perak beristana. Saya pun mengunjungi SMA itu. Yang melahirkan banyak tokoh Malaysia. Termasuk mantan Wakil Perdana Menteri Dr Anwar Ibrahim. Dan yang satu ini pula: Dr Ir Azahari yang tewas di Malang saat Densus 88 menyergap rumah kontrakannya.

Malamnya, saya baru benar-benar ke Kota Ipoh. Langsung ke Pecenongan-nya Ipoh. Puluhan restoran berjualan menu yang sama. Kwetiau. Dengan meja-meja sampai meluap ke perempatan. Bukan main meriahnya. Dan lahapnya. Semua makan kwetiau. Dan ayam garam. Dan ceker ayam. Dan murah. Di Malaysia makanan memang lebih murah daripada di Indonesia.

Setelah kenyang, saya pun ingat: Inilah negara bagian terakhir yang saya kunjungi. Penjelajahan ke Malaysia saya tutup dengan kwetiau.

Tentu saya tidak akan lupa duriannya. Jenis musang king. Orang Tionghoa menyebutnya mu shang huang. Kapan itu? Waktu saya ke UniMAP, universitas Malaysia di Negara Bagian Perlis, saya melahapnya.

Saya tidak boleh lupa menulis Perlis. Di sini saya dapat honoris causa. Dari UniMAP. Tapi, saya baru tahu sekarang: Perlis adalah satu-satunya negara bagian di Malaysia yang pahamnya Wahabi. Mungkin karena sultan Perlis, dulunya, keturunan Hadramaut.

Di Malaysia soal agama (dan tanah/agraria) memang sepenuhnya urusan sultan setempat. Yang kalau di Perlis disebut raja. Di Negeri Sembilan disebut yang dipertuan. Di Penang disebut ketua menteri. Di Sabah dan Sarawak disebut menteri besar.

Paham Wahabi di Perlis tidak bisa berkembang di Malaysia karena aturan para sultan itu: melarang ulama atau kiai dari negara bagian lain untuk berdakwah di wilayahnya. Ulama Wahabi Perlis tidak pernah dapat izin dakwah di luar Perlis. ”Jadi, tidak pernah ada ketegangan antara Sunni dan Wahabi,” ujar Rektor UUM Profesor Dato’ Dr Mohamed Mustafa Ishak saat menjamu saya makan malam.

Gara-gara hanya ingin ke Pattani, akhirnya terjerat ke mana-mana. Padahal, saya sudah ditunggu Lanzhou. (*)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar