Kapolri
yang Ideal
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Komisi
Kepolisian Nasional yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 13 Mei 2016 telah
menyerap masukan dari berbagai kalangan tentang kriteria calon Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia menggantikan Jenderal (Pol) Badrodin Haiti
yang memasuki masa pensiun 24 Juli 2016 pada usia 58 tahun.
Jabatan
Kapolri bisa saja diperpanjang sampai usia 60 tahun jika Presiden memandang
perlu dengan berbagai pertimbangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 30 Ayat 2, UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yang berbunyi: "Usia pensiunan
maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 tahun dan bagi anggota
yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian
dapat dipertahankan sampai dengan 60 tahun." Kemudian ada Peraturan
Pemerintah No 1/2003 yang menjelaskan ayat ini.
Tentu
saja penafsiran terhadap pasal itu bisa berbeda. Akan tetapi, jika kepentingan
bangsa dan negara yang diutamakan, penafsiran pasal itu tidak perlu terlalu
ruwet. Minta saja masukan dari para pakar hukum dan pakar kepolisian untuk
memperjelas makna kandungan dari ayat itu.
Adapun
yang sering memicu masalah adalah jika kepentingan politik sesaat yang mengemuka
dalam pemilihan Kapolri, perdebatan bisa "berketiak ular".
Masing-masing pihak akan bersikukuh dengan pendiriannya. Akan tetapi, publik
yang semakin cerdas akan dengan gampang membaca ke mana arah perdebatan itu,
dan siapa yang berada di belakangnya.
Reformasi
berjalan lambat
Berdasarkan
UU Polri (UU No 2/2002) Pasal 13, tugas kepolisian sangat gamblang dan mulia:
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberi
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas-tugas
ini tentu sudah dijalankan pihak kepolisian sampai batas-batas tertentu, tetapi
karena kelakuan beberapa oknum kepolisian, citra polisi belum ideal sama
sekali. Oleh sebab itu, proses reformasi kepolisian harus terus-menerus
dilakukan, sebab sampai hari ini-dari sumber yang saya peroleh dari petinggi
kepolisian-proses itu berjalan sangat lamban.
Kita
ingin melihat kepolisian kita penuh wibawa, cekatan, komunikatif, dan
kehadirannya selalu dirindukan masyarakat secara luas. Wibawa ini akan cepat
diperoleh jika Kapolri yang diangkat adalah yang benar-benar dirasakan publik
sebagai sosok yang mewakili denyut nadi kepentingan bangsa dan negara di tengah
gelombang politik uang dan narkoba yang masif.
Untuk era
sekarang, mungkin yang paling ideal itu sulit didapatkan, tetapi yang mendekati
kualitas Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1921-2004) yang legendaris dan asketik
pasti kita punya. Pihak kepolisian pun pasti pula paham siapa sosok itu di
antara mereka yang sekarang sudah menyandang bintang tiga atau bintang dua.
Jejak
rekam sosok itu mudah ditelusuri sejak masih sebagai mahasiswa Akademi
Kepolisian (Akpol), Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK), bahkan sejak
masih pelajar SMA. Karena itu, pengusulan Komisaris Jenderal Tito Karnavian PhD
sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo sedikit memenuhi
harapan publik itu. Diharapkan pembenahan masalah kepolisian ini dapat semakin
dituntaskan.
Menyatu
dengan masalah masyarakat
Posisi
ideal ini hanya mungkin diupayakan manakala bibit-bibit yang masuk polisi
benar-benar manusia pilihan dalam makna kualitas dan integritas. Peran uang
sogok yang banyak kita dengar selama ini harus diharamkan, sekali dan untuk
selama-lamanya.
Berbeda
dengan tentara yang tidak langsung bergumul dengan masyarakat luas, tugas
kepolisian-seperti terbaca dalam UU di atas-selalu menyatu dengan
masalah-masalah masyarakat yang semakin hari semakin kompleks, termasuk
kualitas kejahatan yang tidak selalu mudah diditeksi dan ditanggulangi.
Pendidikan polisi di era serba digital ini harus didukung oleh kurikulum yang
canggih dan perlu selalu diperbarui.
Masyarakat
modern adalah sebuah masyarakat yang labil dan banyak tuntutan yang belum tentu
selalu rasional. Apalagi masyarakat Indonesia dengan adanya kesenjangan sosial
ekonomi yang sangat tajam, kondisi labil itu akan lebih terasa.
Dari
seorang mantan kepala polda, beberapa hari yang lalu saya diberi tahu bahwa
Kapolri yang akan datang mestilah mengerti betul bahwa kepolisian itu bisa
berbeda dari satu teritori ke teritori yang lain dalam sebuah negara kepulauan
yang luas, sesuai dengan perbedaan subkultur masyarakat majemuk, tempat mereka
ditugaskan. Dengan pengetahuan yang komprehensif tentang perbedaan ini, seorang
Kapolri akan dengan lincah dapat melakukan sebuah tour of duty (pindah tugas)
terhadap para kepala polda dan perwira tinggi lain yang sedang bertugas.
Ingat,
dengan jumlah anggota kepolisian sebesar 400.000-angka ini pun masih kurang
untuk melayani penduduk 253 juta rakyat Indonesia-armada kepolisian sebenarnya
adalah sebuah "kerajaan" dengan permasalahannya sendiri yang dinamis
karena selalu berhadapan dengan tantangan baru yang sangat beragam. Tentu
seorang Kapolri harus punya staf ahli independen untuk membantunya dalam
membaca peta permasalahan masyarakat, bangsa, dan negara. Artinya, untuk itu
tentu tidak bisa hanya diserahkan kepada institusi Kompolnas.
Akhirnya,
untuk ke depan perlu dipertimbangkan lagi apakah Kepolisian Negara Republik
Indonesia akan tetap berada langsung di bawah Presiden atau di bawah
Kementerian Kehakiman (dan Hak Asasi Manusia) atau Kementerian Dalam Negeri,
seperti yang terdapat di negara-negara lain. Kontroversi tentang masalah ini
sampai sekarang belum terselesaikan. Mantan Presiden BJ Habibie, misalnya
berpendapat agar kepolisian semestinya ditempatkan di bawah Kementerian Dalam
Negeri, seperti di Amerika Serikat. []
KOMPAS,
16 Juni 2016
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar