Rivalitas Saudi-Iran (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Kesepakatan untuk pembelian 100 pesawat Boeing oleh Iran pada 18
Juni lalu, tidak ragu lagi merupakan terobosan penting ke arah pemulihan
hubungan antara Iran dengan Amerika Serikat (AS).
Entah pertimbangan apa dari otoritas AS mengizinkan Iran membeli
pesawat Boeing dalam jumlah tidak sedikit. Pertimbangan pragmatis agaknya
adalah untuk 'membantu' perusahaan Boeing yang kian keteteran menghadapi
pesaing bebuyutannya Airbus.
Seperti diketahui, hubungan Arab Saudi dan Iran umumnya tidak
bersahabat sejak masa Revolusi Ayatullah Khomeini pada 1979. Hubungan tidak
baik ini bertahan sampai sekarang walau diselang-selingi dengan masa relatif
damai dan tenang.
Tetapi perkembangan politik dan ekonomi tertentu pada tingkat
internasional, khususnya terkait AS dan Uni Eropa terbukti sangat mempengaruhi
dinamika hubungan di antara Saudi dan Iran.
Lihatlah misalnya, mulai membaiknya hubungan antara AS dan Uni
Eropa ketika Iran pada 15 Juli 2015 menerima sejumlah persyaratan dari
negara-negara Barat tersebut untuk program pengayaan nuklirnya.
Sejak saat itu, hubungan Iran dengan AS dan negara-negara Eropa
terus berkembang menuju normalitas. Sebaliknya, hubungan antara Arab Saudi
dengan AS kini sering disebut berada di 'titik nadir'.
Hal ini terlihat misalnya dari apa yang disebut banyak media
internasional sebagai 'chilly reception'-penerimaan dingin-pada Presiden Barack
Obama ketika berkunjung untuk keempat kalinya dan agaknya terakhir kali ke Arab
Saudi pada 20 April 2016.
Era pemerintahan Obama disebut-sebut sebagai masa terburuk
hubungan kedua negara sejak 1940an. Penyebabnya antara lain adalah sikap
'lunak' AS terhadap pengayaan nuklir Iran, dan juga himbauan Presiden Obama
agar Arab Saudi bersedia berbagi pertetanggaan dengan Iran.
Kunjungan singkat Obama nampaknya gagal menghangatkan kembali
hubungan kedua negara. Hampir bisa dipastikan perkembangan terakhir ini terus
meningkatkan persaingan, rivalitas dan kontestasi di antara kedua negara, yang
mau tidak mau mempengaruhi situasi politik di Timur Tengah secara keseluruhan.
Meski sama-sama merupakan negara Islam-Saudi negara Islam Sunni
berdasarkan al-Qur'an dan Iran negara Islam Syi'ah-tetapi sejauh menyangkut
politik, kesamaan agama tidak menjadi faktor signifikan sama sekali dalam
hubungan di antara keduanya.
Indonesia-negara Muslim terbesar di dunia-yang bersahabat baik
dengan kedua negara, jadinya ibarat 'meniti buih di sela-sela karang di tengah
lautan' dalam menyikapi masing-masing negara. Semestinya Indonesia dapat
memainkan peran jembatan penengah (mediating role) dengan pendekatan
diplomatiknya yang khas untuk menurunkan tensi kontestasi di antara kedua
negara.
Upaya mediasi Indonesia jelas sangat tidak mudah. Hubungan antara
Saudi dengan Iran sangat rumit sejak waktu relatif panjang, Kerumitan itu kian
bertambah dengan perkembangan internasional, khususnya sejak peristiwa 11
September 2001.
Penyerbuan AS dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak
pasca-Peristiwa 'Nine-Eleven' meningkatkan eskalasi konflik di kawasan ini.
Rivalitas di antara Arab Saudi dan Iran sebelum Revolusi Ayatullah Khomeini
1979 jelas terkait dengan kontestasi untuk menjadi kekuatan hegemonik di Timur
Tengah.
Penguasa Dinasti Ibn Saud dan Riza Pahlevi memiliki keinginan kuat
menguasai dinamika politik kawasan ini. Fred Halliday, ahli politik Timur
Tengah terkemuka dalam Iran: Dictatorship and Development (1979: 248)
menyatakan, terdapat persaingan ideologis di antara kedua negara yang berakar
bahkan sejak masa pra-Islam yang selanjutnya di masa Islam berkombinasi dengan
antagonisme sektarian Sunni-Syi'ah daripada perbedaan mendasar doktrin
keislaman.
Sementara itu, sejak masa pasca-Perang Dunia sampai 1979, Iran
memilih menjadi sekutu setia AS. Halliday mencatat: \"AS telah menggaransi
rezim Iran sejak 1945 dan mulai akhir 1960 bersedia mendukung Iran dalam
gerakannya menggapai dominasi regional dengan menyediakan bantuan diplomatik
dan militer yang diminta Teheran\".
Sebaliknya Arab Saudi pasca-Perang Dunia kedua sampai menjadi
negara 'petro riyal' sejak awal 1980an, tidak mampu berkompetisi terbuka
menghadapi Iran-misalnya juga dengan dukungan AS. Padahal hubungan baik dengan
AS sebenarnya sudah mulai dirintis kedua negara dengan pembentukan maskapai
minyak Aramco (Arabian American Oil Company) pada awal 1930an.
Tetapi hubungan antara Saudi dengan AS mulai meningkat ketika
pemerintah Washington mulai menyadari arti strategis minyak Saudi. Pada saat
yang sama AS juga melihat Saudi dapat menjadi sekutu menghadapi penyebaran
komunisme. Hasilnya adalah persetujuan kerjasama militer di antara kedua negara
yang memberikan akses sangat besar bagi AS guna meningkatkan pengaruh
langsungnya di Timur Tengah secara keseluruhan.
Dengan demikian, AS dalam perkembangannya menjadi 'sahabat' dan
'sekutu' Arab Saudi dan Iran. Penguasa Washington berniat membangun 'pilar
kembar' Saudi dan Iran sebagai titik pijak AS di Timur Tengah.
Tetapi niat ini tidak pernah terealisasi, sehingga membiarkan
pertarungan untuk hegemoni di antara kedua negara tetap bertahan dan memanas
sampai sekarang. []
REPUBLIKA, 23 Juni 2016
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar