Jumat, 17 Juni 2016

Azyumardi: Muslim Demokrat



Muslim Demokrat
Oleh: Azyumardi Azra

Istilah Muslim demokrat tiba-tiba menyeruak di berbagai media internasional dalam dua pekan terakhir. Penyebabnya adalah ketika Rached Gannouchi, salah satu pendiri dan pemimpin puncak Partai Ennahda, Tunisia, menyatakan, "Islamisme telah mati. Kami adalah Muslim demokrat."

Gannouchi lebih jauh menyatakan kepada koran Prancis, Le Monde, "Kami meninggalkan Islam politik dan memasuki Islam demokratis. Kami Muslim democrat." Dengan pernyataan ini, media internasional, seperti The New York Times (2 Juni 2016) menyebut Ennahda sebagai partai pertama (di Dunia Arab) yang mulai memasuki post-Islamism.

Mantan menlu Tunisia yang juga menantu Gannouchi, Rafek Abdessalam, mencoba menjelaskan istilah Muslim demokrat dengan menyatakan, "Ennahda tetap berpegang pada nilai-nilai Islam, sementara memberikan jawaban pada kebutuhan masyarakat seperti pembangunan ekonomi dan kontraterorisme."

Apakah penjelasan tentang istilah Muslim demokrat cukup memuaskan? Belum ada usaha lebih jelas dari pimpinan Partai Ennahda untuk mengelaborasi lebih lanjut.

Karena itu, masih merupakan tantangan bagi partai Ennahda memberikan penjelasan meyakinkan ke berbagai pihak skeptis tentang apa yang mereka maksud sebagai Muslim demokrat atau Islam demokratis.

Perkembangan terakhir partai Ennahda ini terjadi setelah partai tersebut mengadakan kongres pada akhir Mei 2016. Ennahda menyatakan, kegiatan politiknya bakal dipisahkan dengan kegiatan keagamaan, dakwah, dan sosial.

Kegiatan-kegiatan terakhir ini, sepenuhnya dilaksanakan organisasi masyarakat sipil (civil society). Apakah transisi Ennahda menuju partai Muslim demokrat bakal berhasil? Jelas, masih harus ditunggu.
Namun, sementara itu, wacana tentang Muslim demokrat dapat disimak lebih komprehensif. Istilah Muslim demokrat sebenarnya telah menjadi wacana dan subyek penting Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.

Menjalin kerja sama dengan Sasakawa Peace Foundation Jepang, tiga lembaga, yaitu The Habibie Center (THC, Jakarta), Institut Kajian Dasar (IKD, Kuala Lumpur), dan Foundation for Political and Social Research (SETA, Istanbul) membentuk World Forum for Muslim Democrats (WFMD) pada 2014.

Inisiatif pembentukan WFMD bertujuan membangun platform bersama bagi para pemimpin, intelektual, dan profesional Muslim bersama mitra non-Muslim.

Dengan platform bersama, mereka mengartikulasikan pandangan progresif tentang berbagai hal terkait kebebasan, demokrasi, keadilan, dan pembangunan.

Forum ini mendefinisikan Muslim demokrat, antara lain, sebagai Muslim yang menghargai tinggi nilai perdamaian dan demokrasi; kebebasan dan kehormatan; toleransi dan inklusivisme terlepas dari berbagai perbedaan kebangsaan, pandangan politik, realitas social, dan budaya.

Peluncuran forum ditandai dengan WFMD I di Selangor Malaysia pada 3-4 November 2014 dan WFMD II di Jakarta pada 23-24 November 2015. Forum WFMD membahas; pertama, peran Muslim demokrat; kedua, pandangan intelektual publik Muslim dan non-Muslim tentang Muslim demokrat.

Akhirnya, forum mengeluarkan deklarasi yang menegaskan komitmen lembaga-lembaga yang bekerja sama untuk melakukan usaha jangka panjang mempromosikan dan memperkuat prinsip-prinsip pokok Muslim demokrat.

Sekali lagi, terjadi perdebatan panjang dalam WFMD tentang istilah Muslim demokrat. Untuk kepentingan rujukan, forum merujuk pemikiran Seyyed Vali Nasr tentang “Kebangkitan demokrasi Muslim”. Dari istilah inilah kemudian dikembangkan istilah Muslim demokrat.

Menurut Nasr, demokrasi Muslim yang diperjuangkan Muslim demokrat tidak bertujuan merestorasi khilafah guna menegakkan syariah.

Namun, sebaliknya, mewujudkan nilai Islam dalam proses politik demokrasi. Dalam perspektif perbandingan, terdapat istilah Kristen demokrasi dan Kristen demokrat dalam kancah politik di banyak negara Eropa.

Gerakan Kristen demokrasi dan Kristen demokrat, sejak awal,kebangkitan pada abad 19, terkait dengan ajaran sosial gereja Katolik. Dalam perkembangannya, hingga kini dapat ditemukan partai demokratik Kristen sejak dari Jerman, Irlandia, Italia, Belgia, sampai Swiss dan seterusnya.

Sedangkan, di Amerika Serikat, dalam perkembangan terakhir terjadi penguatan gerakan Christian Democrats of America (CDA) yang berusaha meng-counter gerakan dan kampanye politik kanan yang antiimigran, seperti diwakili pemenang pemilihan pendahuluan Partai Republik, Donald Trump.

Sebaliknya, CDA menekankan inklusivisme, penegakan keadilan, dan pemberantasan kemiskinan serta ketunawismaan. Dari perspektif perbandingan ini, istilah demokrasi Muslim dan Muslim demokrat menemukan validitasnya. Namun, penting ditegaskan, meski istilah demokrasi digunakan bersandingan dengan kata sifat keagamaan, prinsip universal demokrasi niscaya tetap menjadi dasar.
Bahwa, kemudian demokrasi mendapat nilai dan warna Islam dan Muslim terkait dengan realitas pemilih tak lain merupakan indigenisasi yang tak bisa terelakkan. []

REPUBLIKA, 16 Juni 2016
Azyumardi Azra ;   Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar