Muslim
Demokrat
Oleh:
Azyumardi Azra
Istilah
Muslim demokrat tiba-tiba menyeruak di berbagai media internasional dalam dua
pekan terakhir. Penyebabnya adalah ketika Rached Gannouchi, salah satu pendiri
dan pemimpin puncak Partai Ennahda, Tunisia, menyatakan, "Islamisme telah
mati. Kami adalah Muslim demokrat."
Gannouchi
lebih jauh menyatakan kepada koran Prancis, Le
Monde, "Kami meninggalkan Islam politik dan memasuki Islam
demokratis. Kami Muslim democrat." Dengan pernyataan ini, media
internasional, seperti The
New York Times (2 Juni 2016) menyebut Ennahda sebagai partai
pertama (di Dunia Arab) yang mulai memasuki post-Islamism.
Mantan
menlu Tunisia yang juga menantu Gannouchi, Rafek Abdessalam, mencoba
menjelaskan istilah Muslim demokrat dengan menyatakan, "Ennahda tetap
berpegang pada nilai-nilai Islam, sementara memberikan jawaban pada kebutuhan
masyarakat seperti pembangunan ekonomi dan kontraterorisme."
Apakah
penjelasan tentang istilah Muslim demokrat cukup memuaskan? Belum ada usaha
lebih jelas dari pimpinan Partai Ennahda untuk mengelaborasi lebih lanjut.
Karena
itu, masih merupakan tantangan bagi partai Ennahda memberikan penjelasan
meyakinkan ke berbagai pihak skeptis tentang apa yang mereka maksud sebagai
Muslim demokrat atau Islam demokratis.
Perkembangan
terakhir partai Ennahda ini terjadi setelah partai tersebut mengadakan kongres
pada akhir Mei 2016. Ennahda menyatakan, kegiatan politiknya bakal dipisahkan
dengan kegiatan keagamaan, dakwah, dan sosial.
Kegiatan-kegiatan
terakhir ini, sepenuhnya dilaksanakan organisasi masyarakat sipil (civil society). Apakah
transisi Ennahda menuju partai Muslim demokrat bakal berhasil? Jelas, masih
harus ditunggu.
Namun,
sementara itu, wacana tentang Muslim demokrat dapat disimak lebih komprehensif.
Istilah Muslim demokrat sebenarnya telah menjadi wacana dan subyek penting Asia
Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.
Menjalin
kerja sama dengan Sasakawa Peace Foundation Jepang, tiga lembaga, yaitu The
Habibie Center (THC, Jakarta), Institut Kajian Dasar (IKD, Kuala Lumpur), dan
Foundation for Political and Social Research (SETA, Istanbul) membentuk World
Forum for Muslim Democrats (WFMD) pada 2014.
Inisiatif
pembentukan WFMD bertujuan membangun platform bersama bagi para pemimpin,
intelektual, dan profesional Muslim bersama mitra non-Muslim.
Dengan platform bersama,
mereka mengartikulasikan pandangan progresif tentang berbagai hal terkait
kebebasan, demokrasi, keadilan, dan pembangunan.
Forum ini
mendefinisikan Muslim demokrat, antara lain, sebagai Muslim yang menghargai
tinggi nilai perdamaian dan demokrasi; kebebasan dan kehormatan; toleransi dan
inklusivisme terlepas dari berbagai perbedaan kebangsaan, pandangan politik,
realitas social, dan budaya.
Peluncuran
forum ditandai dengan WFMD I di Selangor Malaysia pada 3-4 November 2014 dan
WFMD II di Jakarta pada 23-24 November 2015. Forum WFMD membahas; pertama,
peran Muslim demokrat; kedua, pandangan intelektual publik Muslim dan
non-Muslim tentang Muslim demokrat.
Akhirnya,
forum mengeluarkan deklarasi yang menegaskan komitmen lembaga-lembaga yang
bekerja sama untuk melakukan usaha jangka panjang mempromosikan dan memperkuat
prinsip-prinsip pokok Muslim demokrat.
Sekali
lagi, terjadi perdebatan panjang dalam WFMD tentang istilah Muslim demokrat.
Untuk kepentingan rujukan, forum merujuk pemikiran Seyyed Vali Nasr tentang
“Kebangkitan demokrasi Muslim”. Dari istilah inilah kemudian dikembangkan
istilah Muslim demokrat.
Menurut
Nasr, demokrasi Muslim yang diperjuangkan Muslim demokrat tidak bertujuan
merestorasi khilafah guna menegakkan syariah.
Namun,
sebaliknya, mewujudkan nilai Islam dalam proses politik demokrasi. Dalam
perspektif perbandingan, terdapat istilah Kristen demokrasi dan Kristen demokrat
dalam kancah politik di banyak negara Eropa.
Gerakan
Kristen demokrasi dan Kristen demokrat, sejak awal,kebangkitan pada abad 19,
terkait dengan ajaran sosial gereja Katolik. Dalam perkembangannya, hingga kini
dapat ditemukan partai demokratik Kristen sejak dari Jerman, Irlandia, Italia,
Belgia, sampai Swiss dan seterusnya.
Sedangkan,
di Amerika Serikat, dalam perkembangan terakhir terjadi penguatan gerakan
Christian Democrats of America (CDA) yang berusaha meng-counter gerakan dan
kampanye politik kanan yang antiimigran, seperti diwakili pemenang pemilihan
pendahuluan Partai Republik, Donald Trump.
Sebaliknya,
CDA menekankan inklusivisme, penegakan keadilan, dan pemberantasan kemiskinan
serta ketunawismaan. Dari perspektif perbandingan ini, istilah demokrasi Muslim
dan Muslim demokrat menemukan validitasnya. Namun, penting ditegaskan, meski
istilah demokrasi digunakan bersandingan dengan kata sifat keagamaan, prinsip
universal demokrasi niscaya tetap menjadi dasar.
Bahwa,
kemudian demokrasi mendapat nilai dan warna Islam dan Muslim terkait dengan
realitas pemilih tak lain merupakan indigenisasi yang tak bisa terelakkan. []
REPUBLIKA,
16 Juni 2016
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar