Senin, 20 Juni 2016

(Buku of the Day) Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia



Islam Mazhab Cinta


Judul Buku        : Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia
Penulis             : Mukti Ali
Cetakan            : I, Desember, 2015
Penerbit            : Mizan
ISBN                 : 978-979-433-891-9
Peresensi          : Munawari Azis, Dosen dan Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)

Selama ini, wajah Islam semakin keruh karena kasus-kasus kekerasan, peperangan dan beragam info negatif yang menghilangkan citra Islam sebagai agama teduh. Padahal, sebagaimana pesan Nabi Muhammad, Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, welas asih dan cinta. Lalu, bagaimana Islam sebagai agama cinta dapat dimanifestasikan dalam konteks saat ini?

Buku karya Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia, menjadi referensi penting menyelami khazanah kisah hikmah para sufi. Kisah-kisah sufi yang membentang dalam sejarah peradaban Islam merupakan teladan penuh hikmah untuk mengabadikan Islam sebagai agama cinta. Akan tetapi, dalam beberapa kurun sejarah, kaum sufi dianggap sebagai penghalang bagi perkembangan pengetahuan dalam peradaban Islam. Perdebatan kaum sufi dengan ahli filsafat, menjadi monumen wacana untuk melihat bagaimana titik perdebatan ini masih menjadi kabut gelap hingga kini.

Padahal, sejatinya kaum sufi justru mendorong hadirnya agama Islam yang akomodatif terhadap pengetahuan, peradaban, tekhnologi dan modernisme. Kaum sufi bukanlah penghalang bagi kemajuan Islam, namun sebagai pemantik spiritual yang menguatkan peradaban Islam.

Ibn Khaldun dalam kitab Al-Muqaddimah menjelaskan bahwa Ilmu tasawuf termasuk bagian ilmu-ilmu syariat yang relatif masih baru dalam wawasan Islam. Asal muasal kemunculan ilmu ini adalah gaya hidup umat muslim yang selalu meneladani gaya hidup generasi Islam awal. Di antaranya, para sahabat, tabi'in, dan orang-orang setelahnya. Gaya hidup mereka adalah gaya hidup yang benar dan selaras dengan petunjuk (hidayah).

Lebih lanjut, Ibn Khaldun menyatakan bahwa "Ilmu ini pada mulanya berdasar pada konsentrasi diri terhadap ritual ibadah, dan hanya mengkhususkan diri untuk luruh dan berserah diri terhadap ritual ibadah. Serta hanya mengkhususkan diri untuk luruh-berserah diri kepada Allah. Dengan cara memalingkan diri dari kemewahan dan kemegahan dunia. Berlaku zuhud dari kenikmatan, harta benda dan egoisme kecongkakan yang norak, menyendiri dalam kesenyapan untuk menjalankan ritual ibadah. Kehidupan ideal (saleh) seperti itu adalah sesuatu yang jamak dijadikan prinsip hidup para sahabat dan kaum salaf. Kemudian, muncullah kebiasaan memuja kemewahan dunia pada abad kedua dan setelahnya, lantaran orang-orang begitu gampang terpukau dan terpana oleh harta benda, menggelutinya dengan tekun dan total. Pada saat itulah, lahir segolongan orang yang menyatakan dirinya berkonsentrasi beribadah dan dipakailah nama tasawuf, para pelakunya disebut golongan sufi."

Dalam konteks ini, Mukti Ali menyatakan bahwa Islam sufistik yang mengedepankan dinamika spiritual dan akhlak al-karimah (perilaku luhur)—walaupun al-akhlak al-karimah sendiri belum bisa dikatakan sebagai tasawuf. Akhlak hanyalah salah satu di antara pernik-pernik tasawuf. Orang yang berakhlak luhur tidak berarti seorang sufi. Sebab, definisi tasawuf ialah al-akhdz bi al-haqa'iq wa al-ya's mimma fi yad al-khaliq (Menggapai hakikat dan berpaling dari apapun yang dimiliki para makhluk).

Buku Mukti Ali ini hendak menghidupkan kembali Islam sufistik yang dulu pernah berhasil dipraktikkan oleh para Sufi Islam klasik dan para tokoh yang menyebarkan Islam pertama kali ke Indonesia dengan damai, aman, tanpa kekerasan, dan diterima tanpa paksaan. Buku ini, cukup relevan dengan menyuguhkan pandangan alternatif Islam yang hendak menegaskan kembali nilai-nilai Islam universal, seperti toleransi, cinta kasih, moderasi, keadilan dan egalitarianisme. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar