Islam Mazhab Cinta
Judul Buku
: Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang
Dunia
Penulis
: Mukti Ali
Cetakan
: I, Desember,
2015
Penerbit
: Mizan
ISBN
: 978-979-433-891-9
Peresensi
: Munawari Azis, Dosen dan Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada (UGM)
Selama ini, wajah
Islam semakin keruh karena kasus-kasus kekerasan, peperangan dan beragam info
negatif yang menghilangkan citra Islam sebagai agama teduh. Padahal,
sebagaimana pesan Nabi Muhammad, Islam adalah agama yang mengajarkan kasih
sayang, welas asih dan cinta. Lalu, bagaimana Islam sebagai agama cinta dapat
dimanifestasikan dalam konteks saat ini?
Buku karya Mukti Ali,
Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia, menjadi referensi penting
menyelami khazanah kisah hikmah para sufi. Kisah-kisah sufi yang membentang
dalam sejarah peradaban Islam merupakan teladan penuh hikmah untuk mengabadikan
Islam sebagai agama cinta. Akan tetapi, dalam beberapa kurun sejarah, kaum sufi
dianggap sebagai penghalang bagi perkembangan pengetahuan dalam peradaban
Islam. Perdebatan kaum sufi dengan ahli filsafat, menjadi monumen wacana untuk
melihat bagaimana titik perdebatan ini masih menjadi kabut gelap hingga kini.
Padahal, sejatinya
kaum sufi justru mendorong hadirnya agama Islam yang akomodatif terhadap
pengetahuan, peradaban, tekhnologi dan modernisme. Kaum sufi bukanlah
penghalang bagi kemajuan Islam, namun sebagai pemantik spiritual yang
menguatkan peradaban Islam.
Ibn Khaldun dalam
kitab Al-Muqaddimah menjelaskan bahwa Ilmu tasawuf termasuk bagian
ilmu-ilmu syariat yang relatif masih baru dalam wawasan Islam. Asal muasal
kemunculan ilmu ini adalah gaya hidup umat muslim yang selalu meneladani gaya
hidup generasi Islam awal. Di antaranya, para sahabat, tabi'in, dan orang-orang
setelahnya. Gaya hidup mereka adalah gaya hidup yang benar dan selaras dengan
petunjuk (hidayah).
Lebih lanjut, Ibn
Khaldun menyatakan bahwa "Ilmu ini pada mulanya berdasar pada konsentrasi
diri terhadap ritual ibadah, dan hanya mengkhususkan diri untuk luruh dan
berserah diri terhadap ritual ibadah. Serta hanya mengkhususkan diri untuk
luruh-berserah diri kepada Allah. Dengan cara memalingkan diri dari kemewahan
dan kemegahan dunia. Berlaku zuhud dari kenikmatan, harta benda dan egoisme
kecongkakan yang norak, menyendiri dalam kesenyapan untuk menjalankan ritual
ibadah. Kehidupan ideal (saleh) seperti itu adalah sesuatu yang jamak dijadikan
prinsip hidup para sahabat dan kaum salaf. Kemudian, muncullah kebiasaan memuja
kemewahan dunia pada abad kedua dan setelahnya, lantaran orang-orang begitu
gampang terpukau dan terpana oleh harta benda, menggelutinya dengan tekun dan
total. Pada saat itulah, lahir segolongan orang yang menyatakan dirinya
berkonsentrasi beribadah dan dipakailah nama tasawuf, para pelakunya disebut
golongan sufi."
Dalam konteks ini,
Mukti Ali menyatakan bahwa Islam sufistik yang mengedepankan dinamika spiritual
dan akhlak al-karimah (perilaku luhur)—walaupun al-akhlak al-karimah sendiri
belum bisa dikatakan sebagai tasawuf. Akhlak hanyalah salah satu di antara
pernik-pernik tasawuf. Orang yang berakhlak luhur tidak berarti seorang sufi.
Sebab, definisi tasawuf ialah al-akhdz bi al-haqa'iq wa al-ya's mimma fi yad
al-khaliq (Menggapai hakikat dan berpaling dari apapun yang dimiliki para
makhluk).
Buku Mukti Ali ini
hendak menghidupkan kembali Islam sufistik yang dulu pernah berhasil
dipraktikkan oleh para Sufi Islam klasik dan para tokoh yang menyebarkan Islam
pertama kali ke Indonesia dengan damai, aman, tanpa kekerasan, dan diterima
tanpa paksaan. Buku ini, cukup relevan dengan menyuguhkan pandangan alternatif
Islam yang hendak menegaskan kembali nilai-nilai Islam universal, seperti
toleransi, cinta kasih, moderasi, keadilan dan egalitarianisme. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar