Selasa, 28 Juni 2016

(Hikmah of the Day) Harta Istri Bukan Milik Suami



Harta Istri Bukan Milik Suami

Suatu saat, Kiai Muhammadun Pondowan Tayu Pati bersama Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz berjalan kaki bersama seteleh menghadiri sebuah acara di satu tempat. Diantara ketiganya, Kiai Muhammadun yang paling dituakan. 

Dalam perjalanan, tiba-tiba Kiai Muhammadun mendapat tawaran tumpangan dari seorang anak muda pengendara sepeda motor. “Maaf Kiai, mari saya antarkan” kata pemuda menawari. “Oh, tidak, terima kasih,” tolak kiai dengan nada halus. 

Pengendara motor mengulangi tawaran sebagai tanda tulus ikhlas. Namun Kiai Muhammadun tetap tidak berkenan hingga mereka bertiga ditinggalkan pemuda tersebut. 

“Sampean tahu, mengapa saya menolak tawaran lelaki tadi?” tanya Kiai Muhammadun kepada Kiai Sahal. 

“Hm, itu kan karena kiai tidak enak hati sama kita berdua,” jawab Kiai Sahal. 

“Bukan,” sanggah Kiai Muhammadun. “Saya tolak karena saya tahu, dia adalah lelaki kurang mampu dan istrinya adalah orang kaya.” 

Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal mendengarkan secara seksama, sedangkan Kiai Muhammadun melanjutkan alasan penolakannya. 

“Adapun sepeda motor yang ia kendarai menurut dugaanku bukan miliknya sendiri, tetapi kepunyaan sang istri. Saya tidak berani menumpang karena ia belum meminta ijin istrinya sebagai pemilik kendaraan untuk mengantarkan saya,” jelas Kiai Muhammadun. 

Begitulah contoh kehati-hatian pribadi orang alim dan cerdas dalam beragama. Ia mengetahui hukum kemudian mengamalkan dengan jalan hati-hati, tidak serampangan. 

Banyak kiai yang dalam kesehariannya melaksanakan hukum Islam secara leterlek (sesuai teks ajaran ulama salaf). Dalam hal ini, Kiai Muhammadun dan kiai-kiai lain banyak yang memilah antara harta suami dan istri sesuai ajaran kitab. Urusan nafkah adalah kewajiban suami, sedangkan jika istri mempunyai harta sendiri, itu merupakan hak mereka pribadi tanpa menutup kemungkinan suami boleh memanfaatkan atas ijin istri. 

Yang paling menonjol tentang pijakan hukum kiai NU adalah keras untuk diri mereka sendiri dan lentur kepada masyarakat awam sepanjang tidak bertentangan secara tegas dengan syari’at. Di samping itu, Kiai Muhammadun merupakan sosok contoh nyata, betapa ia tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dengan menumpang orang lain dengan mengabaikan dua kawan lainnya berjalan sendiri. []

(HM Shofi Al Mubarok Baedlowie / Mundzir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar