Senin, 27 Juni 2016

Kang Komar: Rakus dan Tamak



Rakus dan Tamak
Oleh: Komaruddin Hidayat

Alquran menyinggung perilaku orang yang rakus. Uniknya, dalam bahasa Indonesia kata rakus jika diubah posisi hurufnya menjadi kuras dan rusak.

Mari kita simak terjemahan ayat Alquran berikut ini (2: 96); "Dan sungguh engkau Muhammad akan mendapati mereka yang sangat rakus terhadap kehidupan dunia, bahkan lebih tamak dari orang musyrik. Mereka pun berangan‑angan agar bisa hidup seribu tahun. Padahal umur panjang itu tak akan menjauhkan mereka dari azab Allah. Allah maha melihat apa yang mereka kerjakan."

Beberapa ulama tafsir menyebutkan bahwa yang dicontohkan dalam ayat ini adalah kaum Yahudi di Arab kala itu. Mereka tidak hanya pelit, melainkan juga rakus. Bahkan jika terdapat sistim riba yang menjerat pihak peminjam itu lalu dinisbatkan pada kaum Yahudi.

Meski begitu mengingat pesan Alquran ditujukan untuk semua manusia, sesungguhnya potensi bertindak rakus itu bisa terjadi pada siapa saja, melintasi zaman dan ruang geografis. Dalam surat 104, Alquran berbicara lebih tegas lagi mengenai perilaku rakus ini: "Celakalah bagi setiap orang yang senang mengumpat dan mencela. Mereka senang mengumpulkan harta dan menghitung‑hitungnya, mengira harta itu akan mengekalkan hidupnya."

Kutipan ayat‑ayat di atas menggambarkan orang yang rakus, cinta dunia secara berlebihan, memiliki keengganan untuk berpisah dari dunia. Maunya ingin hidup seribu tahun. Kata seribu sifatnya simbolik, ingin memeluk dunia ini selamanya. Mereka silau, lupa, dan tertipu oleh gemerlapnya dunia.
Padahal kenikmatan dunia itu teramat singkat dan pendek. Kata orang bijak, isi dunia ini kalau saja dibagi rata secara adil dan disikapi dengan rasa syukur dan saling menyayangi, sudah lebih dari cukup untuk menopang hidup mewah.

Tetapi karena muncul sikap rakus dan tamak oleh pribadi‑pribadi dan bangsa yang kuat, sehingga kemiskinan dan kekurangan muncul di mana‑mana. Sementara, sekelompok kecil penduduk bumi hidup amat sangat mewah yang didapat dari menindas.

Ketimpangan dan penindasan itu lalu melahirkan piramidal society. Sebuah masyarakat layaknya bangunan piramid, di mana sekelompok orang kaya berada di puncaknya sementara lapisan bawah bagian terbesar hidupnya menderita.

Ini akibat kerakusan pribadi‑pribadi, ditopang oleh sistem politik ekonomi yang menindas. Kerakusan struktural ini juga terjadi dan dilakukan oleh negara.

Negara yang kuat, pintar, dan maju mengeksploitasi negara lain, tak ubahnya sebuah imperialisme global yang terselubung. Kita lihat banyak negara‑negara yang berada di wilayah tropis ke selatan alamnya kaya raya, namun penduduknya miskin akibat dibodohi oleh negara maju di belahan utara.

Dalam Alquran (89: 17‑20) disinyalir terdapat sekelompok orang yang merampas harta anak‑anak yatim dan memakan harta pusaka (sebuah bangsa) dengan sangat tamaknya, nafsu cinta pada dunia berlebihan, hubban jamma. Allah mengancamnya dengan neraka jahanam.

Ini sebuah ungkapan yang sangat keras, menunjuklan kebencian Allah pada sikap rakus karena akan merusak harmoni sosial dan keseimbangan lingkungan hidup. Pesan agama selalu menekankan kasih sayang, hidup saling berbagi. Agama apapun memuji sikap filantropis.

Pribadi yang melimpah, bukannya yang selalu mengambil, menumpuk kekayaan yang akan mendatangkan kolestrol sosial. Kekayaan alam ini tidak boleh berputar hanya di antara sekelompok orang kaya. []

TRIBUNNEWS, 22 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar