Grand Corruption di Negara Drakula
Oleh: Moh Mahfud MD
Pada umumnya kita baru mendengar istilah grand corruption setelah
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief melemparkannya
kepada publik. Ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap M Sanusi,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Laode menyebut bahwa
penangkaptanganan Sanusi adalah bagian awal dari tindakan dalam mengungkap
sebuah grand corruption. Tidak ada definisi atau arti stipulatif-yuridis
tentang istilah grand corruption itu di dalam ilmu hukum.
Tetapi ketika Laode memberikan ilustrasi atas kasus yang dikenal
sebagai kasus ”Raperda Reklamasi” tersebut, kita menjadi agak paham apa yang
dimaksudkannya. Laode mengatakan bahwa kasus reklamasi itu berkaitan dengan
upaya penyuapan pengusaha kepada anggota DPRD agar dibuat sebuah rancangan
peraturan daerah (raperda) yang isinya sesuai dengan kehendak pengusaha atau
perusahaan yang menyuap. Gambarannya begini.
Satu atau beberapa perusahaan ingin membuat proyek reklamasi dan
memerlukan peraturan daerah (perda) yang selain bisa meloloskan proyek, juga
bisa menetapkan biaya yang murah. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian
melakukan langkah-langkah dengan menyuap pejabat daerah atau anggota DPRD agar
perda segera dikeluarkan dengan isi agar kewajiban pembayaran kontribusi
ditekan sekecil mungkin sesuai dengan kehendak para pengusaha tersebut.
Kalau misalnya tawaran pertama kontribusi pengusaha adalah 15%,
para pengusaha itu berusaha menurunkannya menjadi hanya 5%. Penurunan menjadi
5% itu diminta agar, melalui anggotaanggota DPRD, dimasukkan ke dalam perda dan
anggota-anggota DPRD tersebut bisa menerima uang sampai miliaran rupiah sebagai
imbalan. Ini disebut grand corruption atau korupsi hebat, korupsi luar biasa
karena akibatnya bisa sangat jauh.
Grand corruption dalam konteks ini adalah korupsi dalam pembuatan
hukum, yakni pembuatan perda agar perusahaan bisa mengambil keuntungan secara
terus-menerus dan rakyat dirugikan secara terus-menerus. Dengan korupsi dalam
pembuatan hukum yang seperti itu, negara atau pemerintahan akan selamanya
tersandera oleh pengusaha-pengusaha yang menjalankan perusahaannya dengan
mengisap darah atau hak-hak rakyat.
Kalau sebuah raperda berhasil dilahirkan sesuai dengan pesanan
pengusaha alias cukong maka korupsinya bukan hanya terjadi sekali, melainkan
akan terjadi secara terus-menerus selama objek reklamasi masih ada. Jadi,
negara atau pemerintah dikangkangi dan dikendalikan oleh cukong.
Kelengkapan negara bukan digunakan sebagai alat untuk
menyejahterakan rakyat, melainkan dikangkangi untuk menyejahterakan pengusaha
melalui penyuapan terhadap pejabat dan anggota DPRD. Grand corruption dalam
pembentukan hukum bukan hanya terjadi dalam kasus Raperda Reklamasi di DKI
Jakarta. Dalam pembuatan UU di tingkat nasional pun banyak terjadi jual-beli
isi UU.
Banyak anggota DPR yang sekarang mendekam di penjara karena
melakukan transaksi atas isi UU tertentu. Caranya, para anggota DPR atau tokoh
parpol yang mempunyai kursi di DPR atau pejabat menawarkan masuknya anggaran
proyek tertentu di dalam UU APBN dengan syarat tertentu pula.
Syaratnya, anggota DPR atau pejabat tersebut mendapat fee sekian
persen atau meminta agar perusahaan yang ditentukan oleh sang anggota DPR atau
pejabat yang bersangkutan yang nantinya menggarap proyek tersebut. Ada juga
grand corruption yang berbentuk jual-beli kebijakan antara cukong dan
penyelenggara administrasi pemerintahan (eksekutif).
Ini sungguh sangat mengerikan bagi kehidupan bernegara kita.
Pejabat-pejabat yang sudah disuap seperti itu biasanya menjadi seperti kerbau
yang hidungnya dicucuki sehingga selalu patuh kepada para cukong yang
menyuapnya. Mereka tak lagi peduli pada tugas yang mewajibkannya untuk membangun
kesejahteraan rakyat sesuai perintah konstitusi.
Mereka menjadi pejabat negara pengisap darah rakyat sehingga
negara yang diurusnya bisa disebut sebagai negara drakula (vampire state).
Grand corruption banyak terjadi juga di lembaga yudikatif, terbukti dari
banyaknya hakim yang dijebloskan ke penjara karena penyuapan dalam menangani
perkara di pengadilan.
Yang lebih mengerikan, kalau ada hakim-hakim dipelihara dan
disandera oleh cukong seperti kambing congek sehingga dijadikan langganan untuk
memutus perkara berdasar pesanan. Jadi, grand corruption itu sangat mengerikan
karena ia punya multiplier effect yang tidak selesai hanya pada satu korupsi.
Kalau seorang melakukan korupsi dalam membangun gedung mewah, misalnya, maka
korupsi selesai dalam sekali perbuatan.
Tetapi kalau korupsi dalam pembuatan hukum atau kebijakan,
akibatnya akan berkelanjutan. Negara bisa menjadi negara drakula kalau sudah
begitu. Mengerikannya, grand corruption adalah munculnya rasa tidak aman bagi
semuanya. Rakyat pasti tidak aman karena haknya dirampas secara terus menerus.
Pejabat yang menerima suap pun merasa tidak aman dan harus
mengamankan diri kalau nanti habis masa jabatannya sehingga selalu berusaha
mencari penyelamatan diri dengan cara korupsi lagi. Penyuap pun bisa merasa
tidak aman karena bisa saja tiba-tiba ada penggantian pejabat yang berkolusi
dengan pengusaha lain.
Penyuap yang demikian merasa harus selalu berjagajaga dengan
cara-cara korup, misalnya, melalui ijon pejabat baru dengan suap juga. Jika
rangkaian grand corruption tidak diputus, jika produk hukum dalam bentuk UU,
perda, dan kebijakan selalu bisa dipesan dengan harga tertentu, jika putusan
pengadilan sudah bisa diatur melalui mafia maka yang terjadi adalah terjadinya
kezaliman yang berkepanjangan dan saling sandera di antara para koruptor.
Dan kalau itu yang terjadi maka negara hanya menunggu
kehancurannya. Tak ada hal lain yang menunggu di ujung sana kecuali kehancuran.
Maka itu, langkah-langkah serius harus dilakukan sejak sekarang. []
KORAN SINDO, 11 Juni 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTNHAN); Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar