Mengimpor
Rektor
Oleh:
Azyumardi Azra
Mengimpor
rektor? Itulah gagasan yang tiba-tiba mencuat dari Menristek dan Dikti Muhammad
Nasir seusai mengunjungi Universitas Negeri Surabaya, pekan lalu (2/6/2016).
Dia menyatakan, pemerintah mewacanakan merekrut orang asing menjadi rektor
perguruan tinggi negeri untuk mengikuti negara lain yang menerapkan kebijakan
itu sehingga menjadikan kampus perguruan tingginya berkelas dunia.
Lebih
jauh menurut Menristek-Dikti, Presiden Jokowi mengarahkan agar pendidikan
tinggi Indonesia mampu bersaing di tingkat dunia. Dia mengklaim, Tiongkok,
Singapura, dan Arab Saudi memakai orang asing menjadi rektor. ”Saudi dulu tidak
diperhitungkan. Ranking-nya di luar 500 besar dunia. Tapi sekarang sudah masuk
peringkat 200 dunia. Sebut saja King Saud University yang dulu tidak
diperhitungkan dunia,” ujarnya.
Gagasan
mengimpor rektor untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN)— selanjutnya juga
agaknya mencakup perguruan tinggi swasta (PTS)—jelas merupakan cara instan dan
menerabas untuk mengangkat perguruan tinggi (PT) Indonesia ke level
internasional. Padahal, jelas sebenarnya tidak ada cara instan untuk memajukan
lembaga apa pun, termasuk PT.
Impor
guru besar, bukan rektor
Kebijakan,
langkah, atau cara memajukan PT pada dasarnya bukan terletak terutama pada
rektor atau di negara lain bisa disebut presiden atau naib-chancellor (wakil
konselor, karena chancellor-nya adalah raja atau pejabat tinggi). Rektor atau
apa pun nama jabatan setara tak lain lebih sekadar pimpinan puncak
administratif dan keuangan. Oleh karena itu, di luar negeri, rektor atau
semacamnya tidak dikenal luas oleh para pengajar, apalagi oleh para mahasiswa.
Keadaan sama juga berlaku bagi dekan; tidak banyak pihak yang mengenal dekan
fakultas.
Para
mahasiswa lazimnya lebih mengenal ketua jurusan yang juga guru besar beserta
profesor lain. Keterkemukaan PT lebih terkait nama besar para profesor dalam
bidang tertentu. Mahasiswa memilih PT bukan karena rektornya, melainkan karena
nama besar profesornya. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan adalah memperbanyak
”impor” guru besar terkemuka dari mancanegara. Pada saat yang sama juga
memperbanyak impor mahasiswa asing. Langkah inilah yang mempercepat
internasionalisasi PT Indonesia sehingga diakui secara internasional.
Dalam
sistem PT di Amerika Serikat, presiden universitas lebih banyak berperan dalam
urusan luar, khususnya penggalangan endowment—dana abadi untuk kemajuan
pendidikan dan riset. Untuk urusan ke dalam terkait administrasi dan keuangan,
presiden universitas diwakili provost, administratur senior yang berperan
sebagai chief executive officer (CEO).
Berbeda
dengan Indonesia, rektor memiliki peran ke dalam dan ke luar. Dia bukan
naib-chancellor atau provost. Rektor adalah pejabat puncak kelembagaan,
khususnya administrasi dan keuangan. Rektor sekaligus bertanggung jawab dalam
hal urusan luar; penggalangan dana dan pengembangan jejaring kerja sama dengan
berbagai pihak, apakah kalangan pemerintah, swasta, atau PT lain.
Tak
kurang pentingnya, rektor di Indonesia juga memikul peran yang diharapkan (expected
role) dari masyarakat sebagai ”menara suar” (beacon) yang memberi pencerahan
masyarakat lingkungannya. Oleh karena itulah, rektor diharapkan tampil sebagai
intelektual publik yang berdiri di depan memperjuangkan kepentingan bangsa dan
negara.
Dilihat
dari konteks terakhir ini, menjadi tanda tanya besar, apakah rektor impor—jika
wacana rektor asing dilaksanakan—juga patut menjadi intelektual publik dalam
hal kebangsaan-keindonesiaan. Jelas tidak patut jika orang asing yang kebetulan
rektor PTN atau PTS Indonesia ”mengajari” bangsa kita dalam hal yang dia
sendiri boleh jadi tidak sepenuhnya pahami.
Lecehkan
anak bangsa
Bukan
rahasia lagi, banyak ”ahli impor” semacam konsultan tidak memahami Indonesia;
mereka lebih banyak memakai ahli kita sendiri, yang diatasnamakannya sendiri.
Di sini ahli kita hanya menjadi semacam ”kuli” oleh tenaga yang disebut sebagai
”ahli” asing.
Dengan
begitu, kunci memajukan PTN atau PTS atau bahkan bidang-bidang strategis lain
bukan dengan mengimpor ”ahli” asing semacam rektor. Mengimpor rektor dari
mancanegara malah bisa menjadi kontraproduktif karena merupakan pelecehan
terhadap kemampuan anak bangsa sendiri.
Jika
rektor (anak bangsa) PTN atau PTS diharapkan dapat membawa PT-nya ke tingkat
internasional, pemerintah semestinya memberikan iklim lebih kondusif. Dalam
beberapa tahun terakhir sampai sekarang, ada sejumlah masalah yang tidak
kondusif bagi munculnya rektor yang dapatmembawa PT-nya ke tingkat
internasional.
Penciptaan
iklim kondusif itu mesti dimulai dengan pemulihan kembali otonomi PT. Prinsip
dan semangat reformasi PT dengan otonomi dan demokratisasi lebih besar dalam
waktu sedikitnya sepuluh tahun terakhir justru kian menjauh. Kondisi otonomi PT
belakangan ini sering diungkapkan kalangan kampus ibarat ”ekor dilepas, tetapi
kepala tetap dipegang” (dulu oleh) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
(kini) Kemenristek-Dikti serta Kementerian Agama dalam hal perguruan tinggi
keagamaan negeri (PTKN, yang terdiri dari Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha).
Fenomena
ini terlihat jelas dalam hal rektor khususnya. Pemilihan dan pengangkatan
rektor hampir sepenuhnya ditentukan menteri (Menristek-Dikti dan Menteri
Agama), apakah melalui suara 35 persen yang dimiliki Menristek-Dikti atau
ditentukan Menteri Agama dari calon-calon yang diajukan Panitia Pemilihan dan
Komite Seleksi (bukan Senat PT).
Oleh
karena itulah, proses pemilihan dan pengangkatan rektor seperti ini hampir
tidak mampu menghasilkan rektor terbaik; yang memiliki kapasitas sebagai beacon
bagi masyarakat, memiliki rekam jejak baik dalam administrasi, serta mempunyai
kemampuan dan pengalaman membangun jejaring domestik dan internasional.
Pemberian
otonomi yang benar-benar, bukan sekadar retorik, mesti diikuti dengan pemberian
anggaran lebih memadai. Sampai sekarang ini, anggaran APBN untuk PT hanya
berkisar 40-60 persen dari kebutuhan PT. Untuk menutupi kekurangan, PT harus
mencarinya dari masyarakat (orangtua mahasiswa) dan pihak swasta lain. Keadaan
keuangan ini tidak memungkinkan PTN mengembangkan fasilitas pembelajaran
berlevel internasional, mendatangkan profesor berkelas dunia, dan merekrut
mahasiswa internasional.
Walhasil,
jika PTN dan PTS Indonesia dapat mencapai level internasional, tidak ada cara
lain bagi pemerintah kecuali memberikan otonomi dan pendanaan lebih besar.
Mengimpor rektor dari mancanegara jelas tidak bakal membantu sama sekali, ”jauh
panggang dari api”. []
KOMPAS,
11 Juni 2016
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar